Yang terjadi sebenarnya adalah dimanfaatkannya (belum tentu berarti disalahgunakan) data kuis kepribadian oleh lembaga konsultan politik Cambridge Analytica.
Berapa kuis kepribadian sendiri memang kerap kali melintasi linimasa media sosial atau dikirim langsung lewat email.
Dan, sama sekali tidak ada paksaan pada pemilik akun untuk mengisi kolom-kolom pertanyaan yang diajukan. Jadi, sifatnya suka rela.
Nah, jawaban penguna Facebook inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Cambridge Analytics untuk menargetkan iklan dan pesan politik, selama Pilpres AS tahun 2016.
Dalam survei pemasaran, biasanya salah satu kebiasaan responden yang ditanyai adalah yang terkait dengan iklan. Seperti apa iklan yang disukai responden, dari media apa responden mendapati iklan, serta kapan.
Jawabannya sederhana, sebab kuis kepribadian jauh lebih menarik dari survei politik atau survei-survei lainnya. Singkatmya, data yang dimanfaatkan oleh Cambridge Analytic bukan diambil dengan cara mencuri atau meretas seperti yang terjadi pada BlackBerry Obama. Selain itu, data kepribadian yang dimanfaatkan tidak terkait dengan kepentingan nasional. Atau, belum bisa dikaitkan.
Buktinya, dari 87 juta, hanya 1 juta pengguna Facebook dari Indonesia yang dimanfaatkan. Dan, pastinya ke-1 juta pengguna Facebook di Indonesia itu mengisi kuis kepribadian.
Sementara, karena yang disasar, tercatat 70,6 juta data dari akun Facebook asal AS yang dimanfaatkan. Dari jumlah data yang dimanfaatkan, semakin menguatkan bila pengguna Facebook asal Indonesia bukanlah yang diincar.
Tetapi, dari polemik soal kebocoran data Facebook ini, terbukti jika tidak ada peretasan terhadap jejaring sosial buah karya Mark Elliot Zuckerberg ini  Artinya, Facebook masih tetap aman. Dengan demikian isu kebocoran data Facebook bisa dibilang fiktif semata. Bukan fakta seperti yang diributkan.
Sementara, Program PRISM seperti yang diungkap Snowden masih berstatus Fiksi yang belum merealita.