Sebelum menyampaikan keterangan pressnya, Wiranto mengaku telah melakukan klarifikasi ke TNI, Polri, PT Pindad, Badan Intelijen Negara, dan pihak-pihak lainnya yang terkait.
Dan, sebagaimana yang diberitakan media, Wiranto turut menghadiri acara silahturahmi perwira tinggi TNI dan purnawirawan perwira tinggi TNI yang digelar di Mabes TNI pada 22 September 2017.
Namun tidak diberitakan, apakah Wiranto masih berada di lokasi saat Gatot Nurmantyo menyampaikan informasi soal kedatangan 5.000 senjata atau sudah meninggalkan lokasi.
Menariknya, dalam keterangan pressnya, Wiranto sama sekali tidak menyinggung soal rencana kedatangan persenjataan yang dibeli Polri dari Bulgaria.
Mungkinkah informasi tentang persenjataan buatan Bulgaria tersebut sengaja ditutupi kepada Wiranto? Ataukah "Soal 5000 Senjata, Apakah Gatot Nurmantyo dan Wiranto Bermain dalam Satu Orkestrasi?"
Meski sudah diselesaikan dengan keluarnya kesepakatan antara berbagai pihak, polemik tentang 5.000 pucuk senjata kembali mencuat setelah terjadinya peristiwa penyanderaan warga di Desa Kimberli dan Banti, Distrik Tembagapura, Mimika, Papua pada awal November 2017.
Atas peristiwa tersebut, ada pihak yang mencurigai jika aksi penyanderaan itu hanyalah rekayasa Polri untuk mendapatkan kembali kepemilikan atas persenjataan yang dibelinya dari Bulgaria.
Lantas, "Apa yang Janggal dari Penyanderaan Warga di Papua?"
Kecurigaan tersebut jelas mengada-ada alias tidak mendasar. Padahal dasar logikanya sangat sederhana. Dengan keluarnya kesepakatan ditahannya persenjataan milik Polri oleh TNI berarti Polri secara hukum tidak berhak memiliki dan menggunakan persenjataan yang dibelinya tersebut.
Artinya, kalau senjata itu dikeluarkan digunakan oleh Polri untuk mengatasi kasus penyanderaan di Papua, itu berarti Polri dan juga TNI sama-sama melanggar hukum. Dan, baik Polri maupun TNI pastinya tidak mungkin mau melakukannya.
Karenanya, tidak ada kaitan sama sekali antara penyanderaan di Papua dengan kasus 5.000 pucuk senjata.