Tetapi, jatuhnya pilihan Prabowo pada Anies bukanlah tanpa dasar. Setidaknya, nama Anies muncul dalam survei yang dirilis oleh Poltracking pada 16 September 2016 atau kurang lebih seminggu sebelum pencalonan Anies-Sandi dideklarasikan. Dan, menurut Poltracking elektabilitas Anies-Sandi (36,4 %) hanya kalah tipis dari Ahok-Djarot 37,9 %)
Dalam Pilgub DKI 2017, Prabowo tinggal menghitung kekuatan pasangan calon yang dimajukan poros Cikeas. Sebab dengan sistem 50 % plus 1, siapa pun lawannya dan bagaimana pun hitung-hitungannya, Ahok dan pasangannya dipastikan kalah.
Dengan Hitung-hitungan Ini, Sjafrie Sjamsoeddin Bakal Menangi Pilgub DKI 2017
Bisa dikatakan, Mayjen Sudrajat merupakan manuver radikal yang dilakukan  Prabowo untuk memenangi peperangan Pemilu 2019.
Lantas bagaimana peluang Sudrajat di Pilgub Jabar 2018 dengan sistem dan peta yang sangat berbeda dengan Pilgub DKI 2017?
Karena dalam pilgub di Jabar tidak mengenal 50 % plus 1, maka peraih suara terbanyak akan langsung ditetapkan sebagai pemenag. Artinya, tidak ada putaran kedua yang mendorong lahirnya koalisi baru.
Di Jawa Barat, peta persaingan nyaris serupa dengan Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2014, di mana terjadi polarisasi antara pendukung Jokowi dengan pendukung Prabowo-SBY.
Dengan adanya polarisasi tersebut, Sudrajat dan pasangannya akan berebut suara dengan Demiz-Dedi Mulyadi. Sementara Emil akan bersaing dengan TB Hasanudin-Anton Charliyan yang rencananya bakal dimajukan oleh PDIP.
Sekalipun didukung oleh PDIP, di mana Jokowi dosebut-sebut sebagai petugas partanya, TB dan Anton tidak akan mendapat banyak suara pendukung Jokowi yang lebih cenderung memilih Emil.
Pertanyaannya, berapa banyak suara pemilih Emil yang bisa direbut oleh TB-Anton?
Sementara, Sudrajat dengan membawa panji-panji Prabowo akan ber-head to head melawan pasangan 2D (bukan duet Dedi Dhukung dan Dian Pramana Putra yang populer di era 90-an) yang menjadi bayang-bayang SBY.