Sejak 2016, baliho-baliho yang memampang foto Dedi Mulyadi sudah bermunculan di sejumlah titik di Jawa Barat. Sekitar setahun sebelumnya, sejumlah akun media sosial getol mensosialisasikan sepak terjang dan prestasi sosok Bupati Purwakarta tersebut.
Kemunculan Dedi Mulyadi yang lebih nyaman jika diketik "Demul" ini sedkit banyak mengingatkan warga Jabar pada sosialisasi yang dilancarkan oleh Ketua DPD Golkar Jabar, Irianto MS Syafiuddin alias Yance beberapa tahun jelang Plgub Jabar 2013.
Seperti Demul yang saat ini menjabat Ketua DPD Golkar Jabar, Yance pun dinilai berhasil membangun Kabupaten Indramayu selama dua periode pemerintahannya. Atas keberhasilannya, Yance dianugrahi sejumlah penghargaan oleh sejumlah lembaga.
Di wilayah Indramayu dan sekitarnya, seperti Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Majalengka, nama Yance begitu populer.
Yance yang juga mantan Ketua PWI Indramayu ini dikenal dekat dengan wartawan. Berita-berita positif terkait Yance nyaris tidak pernah surut dari halaman depan surat kabar lokal.
Jelang Pilgub Jabar 2013, nama Yance kian populer berkat sejumlah aktivitasnya yang mendapat liputan media lokal. Dari mulai gerak jalan santai, pengajian, kontes dai cilik, sampai dangdutan, Yance manjadi sponsor utamanya. Belum lagi media luar ruangan, seperti baliho dan spanduk, yang dijejerkan di hampir setiap sudut kota.
Daya jelajah Yance pun semakin meluas berkat dukungan penuh Aburizal Bakrie yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Umum Golkar. Berbagai daerah disambanginya. Panggung-panggung dangdutan dinaiknya bersama pedangdut Agung Hercules.
Tapi, semua prestasi, penghargaan, dan aktivitas kampanyenya tidak dapat menolongnya saat berebut suara dalam Pilgub Jabar 2013. Bersama calon wakilnya, Tatang Fahranul Hakil, Yance hanya menduduki posisi keempat dari lima pasangan cagub-cawagub Jabar.
Menurut hasil perhitungan resmi KPUD Jabar, Yance hanya berhasil meraup 12,17% suara. Kalau jauh dari perolehan pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana yang menempati juara ketiga dengan meraih 25,24% suara.
Saat turun dalam Pilgub Jabar 2013, Yance telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pembebasan tanah untuk pembangungan Proyek PLTU 1 Indramayu Jawa Barat Tahun Anggaran 2006.
Namun demikian, isu ini kurang membahana. Hampir tidak satu pun media yang memberitakannya. Bahkan, sekalipun bisa dimanfaatkan sebagai kampanye negatif untuk menyerang Yance, isu ini nyaris tidak terdengar. Di Kompasiana pun hanya satu artikel postingan Kompasianer asal Cirebon yang menuliskannya.
Melihat dari pergerakannya, Demul hampir mirip dengan Yance. Malah, lebih terkesan kalah agresif. Di media sosial, nampak serentetan sosialisasi yang digeber sejumlah akun pendukung Bupati Purwakarta ini.
Namun demikian, dari sejumlah rilis survei, dapat disimpulkan jika sosialisasi akun-akun pendukung Demul lewat medsos ini belum menampakkan hasilnya. Demikian juga di dunia nyata, geliat pendukung Demul belum mampu mengangkat popularitas, apalagi elektabilitasnya.
Demul dan Golkar sebagai parpol pendukungnya pastinya sudah menyadari jika popularitas yang kemudian berdampak pada elektabilitas tidak mungkin didapat tanpa bantuan media, baik itu media arus utama maupun media sosial. Untuk mendongkrak popularitas membutuhkan kerja keras dan biaya yang luar biasa besar.
Di Indonesia, hanya Jokowi dengan efeknya yang mampu menarik sorot perhatian media dan pengguna media sosial untuk mendukungnya. Dengan efek yang dimilikinya itu, Jokowi bukan saja menjadikannya sebagai Gubernur DKI 2012-2017 dan Presiden RI 2014-2019, tetapi juga berhasil mendongkrak elektabilitas kader-kader PDIP yang terjun di sejumlah pilkada pada 2013.
Menariknya, jika memperhatikan medsos, ada sejumlah akun yang diduga sebagai pendukung Demul yang melakukan kampanye negatif dengan menyerang Deddy Mizwar (Demiz) maupun Ridwan Kamil aka Kang Emil. Entah siapa yang memberikan strategi ini?
Strategi ini jelas salah besar karena yang dibutuhkan Demul bukan rontoknya elektabilitas Demiz dan Emil, tetapi popularitasnya. Maka, lebih baik jika pendukung Demul lebih mengutamakan kampanye positif ketimbang kampanye negatif, apalagi kampanye hitam.
Sebab, percuma saja menjatuhkan elektabilitas lawan jika popularitas sendiri masih jauh dari harapan. Dengan berkampanye positif, sentimen positif pun akan didapat. Selanjutnya, strategi ini akan menaikkan elektabilitas. Begitu rumus sederhanya.
Jika sampai jelang batas akhir pendaftaran bakal calon Gubernur-Wakil Gubernur Jabar, popularitas dan elektabilitas Demul belum juga terdongkrak, tidak menutup kemungkinan pencalonan Demul akan dibatalkan.
Kemungkinan tersebut sangat beralasan meningat Golkar tidak bisa sendirian mencalonkan Demul. Untuk mendaftarkan Demul, Golkar yang mengantongi 17 kursi DPRD Jabar membutuhkan koalisi parpol lainnya untuk memenuhi syarat minimal 20 kursi.
Jika melihat peta politik nasional, arah dukungan dalam Pilgub DKI 2017, dan pergerakan parpol jelang Pilgub Jabar 2018, kemungkinan besar Golkar akan menggaet PDIP yang memiliki 20 kursi DPRD Jabar,
Dengan demikian, nasib pencalonan Demul ada pada keputusan PDIP. Celakanya, PDIP dikenal sebagai parpol yang kerap mengambil keputusan jelang menit-menit terakhir.
Jantung Demul lebih berdebar-debar lagi mengingat PDIP cenderung untuk lebih mendukung kadernya sendiri ketimbang non-kader. Dalam Pilwalkot Bandung 2013, misalnya, meski dekat dengan Emil, PDIP memilih untuk mencalonkan Viva Yoga yang berelektabilitas jauh di bawah Emil.
Demikian juga saat Pilgub DKI 2012, PDIP dengan berani menarik dukungan dari Fauzi Bowo (Foke) dan menurunkan Jokowi meski elektabilitas Jokowi kalah dibanding Foke. Karenanya, jika melihat rekam jejak PDIP dalam sejumlah pilkada, dukungan PDIP kepada Ahok yang notebane bukan kadernya saat Pilgub DKI 2017 terbilang sangat mengejutkan.
Masalahnya lagi, bagi Demul, PDIP tidak memiliki jagoan internal yang layak dihadapkan melawan Demiz ataupun Emil. Di sisi lain, PDIP, khusunya Megawati dan Jokowi, memiliki kedekatan dengan Emil yang menurut sejumlah survei dapat mengimbangi elektabilitas Demiz.
Belum cukup sampai di situ, PDIP saat ini tengah haus kemenangan pasca rontoknya jagoan-jagoan PDIP di sejumlah Pilkada 2017. Karenanya, peluang Emil untuk mendapat dkungan PDIP lebih besar ketimbang Demul. Belum lagi, Nasdem yang dikenal sebagai parpol terdekat PDIP sudah mendeklarasikan pencalonan Emil pada Maret 2017 lalu.
Masalah berat lainnya adalah status tersangka yang melekat pada Ketua Umum Golkar Setya Novanto. Dengan statusnya itu, Setnov bakal jadi pintu masuk untuk menghabisi Demul.
Status Setnov ini juga yang dapat membuat PDIP menjaga jarak dari Golkar. Sebab, bagaimana mungkin dalam ajang yang bakal menarik perhatian media, elit-elit PDIP terekam bergandean tangan dengan Setnov.
Di sisi lain, Golkar tidak memiliki kader karismatik yang dapat membantu kampanye Demul. Kondisi ini berbeda dengan parpol-parpol besar lainnya seperti Demokrat yang memiliki SBY dan AHY, Gerindra dengan Prabowo-nya, PDIP dengan Megawati-nya.
Turunnya Setnov justru berpotensi menjadi racun bagi Demul. Ini mirip dengan Yance yang terbebani dengan isu semburan lumpur Lapindo yang menyangkut nama ARB.
Harus diakui, Demul memiliki segudang prestasi dan kemampuan yang mempuni untuk memimpin Jabar. Warga Jabar pastinya membutuhkan sosok pemimpin sekaliber Demul yang juga dikenal sebagai pemimpin yang menaruh perhatian pada budaya Sunda.
Sayangnya, Pilgub Jabar bukan ajang "Cerdas Cermat" yang mengadu kemampuan pesertanya. Pilgub Jabar adalah panggung glamor politik nasional.
Maka, tanpa perlu lagi mendalami informasi in-itu. Apalagi sampai minta ramalan dukun beranak. Dedi Mulyadi sudah bisa dipastikan bakal kalah dalam Pilgub Jabar 2018. Bahkan, pencalonannya pun masih belum jelas.
---
Artikel lain:
Seperti Dewi Sinta, Ridwan Kamil Harus Menyucikan Dirinya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H