Sebab, dalam berbagai pertaruangan pemilu yang ketat, raihan suara calon petahana berada di bawah tingkat elektabilitas hasil survei.
Dalam Pilpres 2009, SBY-Boediono meraup 60,8% suara. Raihan ini jauh di bawah hasil survei yang menempatan SBY-Boediono sebagai pemenang pemilu dengan tingkat elektabilitas 71%.
Demikian juga dengan Pilgub DKI 2017. Ahok-Djarot yang menurut sejumlah rilis survei mengantongi tingkat elektabilitas hingga 56% hanya mampu meraih 42,99% suara dalam putaran pertama dan 42,04% suara pada putaran kedua.
Tren elektabilitas Jokowi ini kemungkinan besar akan menurun dan  menjauhi zona aman (60%). Dengan demikian, sulit bagi Jokowi untuk membalikkan keadaan dan memenang Pilpres 2019.
Faktor ketiga adalah polarisasi antara pendukung dan anti-Jokowi. Polarisasi ini sudah terbentuk sejak Pilgub DKI 2012 memasuki putaran kedua. Kondisi ini semakin menguat pada Pilpres 2014 yang dilanjutkan pada Pilgub DKI 2017.
Dalam Pilpres 2014, Jokowi kalau kuat dengan Prabowo dalam menarik dukungan dari undecided voter. Bahkan, Jokowi nyaris dikalahkan oleh Prabowo meski memiliki tingkat elektabilitas nyaris dua kali dari yang dimiliki oleh pesaingnya..
Sementara, dalam Pilgub DKI 2017, suara yang diperoleh Ahok-Djarot pada putaran kedua nyaris sama dengan suara yang diraupnya pada putaran pertama. Hal ini kuatnya polarisasi yang terbentuk pada Pilgub DKI Jakarta begitu kuat sehingga kubu Jokowi gagal menarik suara dari swing voter..
Ada fenomena menarik yang terjadi di Jawa Barat. Di provinsi yang disebut sebagai penyangga ibu kota itu, Ridwan Kamil yang pada mulanya memuncaki klasemen dengan begitu kokoh nyaris tak tergoyangkan saat ini mulai kelimpungan.
Banyak yang mengaitkan goyahnya Ridwan sebagai akibat dari deklarasi pencagubannya oleh Nasdem yang dikenal sebagai parpol pendukung Jokowi-Ahok. Apalagi deklarasi tersebut digelar di saat Pilgub DKI tengah memanas.
Keempat, Pilkada Serentak 2018. Sekalipun dalam pilkada pengkubuan parpol sangat cair, namun serangan yang ditujukan kearah calon dukungan PDIP akan berimbas pada meningkatnya sentimen negatif pada Jokowi.
Tetapi, faktor keempat ini pun akan berdampak pada Prabowo dan bakal capres lainya yang terlibat dalam dalam kampanye Pilkada Serentak 2018. Pidato Victor Laiskodat di dapil-nya menjadi contohnya.