Salah besar jika mengatakan terlalu dini untuk memperkirakan tumbangnya Jokowi pada Pilpres 2019. Sebab, gelagat dari kekalahan bakal capres petahana itu sudah terbaca dengan begitu jelas.
Jika melihat ke tahun 2012. Saat itu nama Jokowi belum diucapkan oleh opinion leader yang menjadi narasumber LSI pada survei bertemalan  mencari capres alternatif.
Nama Jokowi baru meramaikan sejumlah rilis survei sejak April 2013. Saat itu pun elektabilitas Jokowi masih di bawah Prabowo dan sejumlah tokoh lainnya.
Merangkaknya tingkat elektabilitas Jokowi tersebut tidak lepas dari pengaruh efek Jokowi yang mulai terbentuk saat mantan Walikota Surakarta itu memasuki gelanggang Pilgub DKI 2012.
Fenomena efek Jokowi semakin menguat saat berlangsung Pilkada di sejumlah daerah. Ketika itu, fenomena Jokowi mampu meroketkan tingkat elektabilitas sejumlah kader PDIP dalam berbagai pemilu guberbur.
Jelang Pemilu 2014, fenomena efek Jokowi semakin menguat dan menggerus elektabilitas tokoh-tokoh lainnya. Ketika itu, hanya Prabowo yang masih mampu mengimbangi Jokowi. Sementara, tokoh-tokoh lainnya, seperti Surya Paloh. hanya menjadi penggembira dengan tingkat elektabilitas di bawah 10%.
Dari fenomena yang terbentuk dalam Pilgub DKI 2012 itulah pencapresan Jokowi sudah bisa diperkirakan sejak November 2012. Demikian juga dengan kemenangannya pada Pilpres 2014.
Sebaliknya, kekalahan Jokowi dalam Pilpres 2019 pun sudah bisa diperkirakan sejak saat ini. Ada beberapa faktor yang menguatkan perkiraan itu.
Pertama, hilangnya efek Jokowi yang menjadi modal besar dalam memenangkan Pilpres 2014.
Kedua, tingkat elekrabilitas Jokowi yang jauh di bawah 50%. Â Hasil survei Litbang Kompas pada April 2017 elektabilitas Jokowi hanya 41,6%. Sedangkan, menurut survei SMRC, elektabilitas Jokowi pada Juni 2017 adalah 34%.
Dengan mekanisme 50% plus 1, sebagai capres petahana pada Pilpres 2019, Jokowi harus memiliki tingkat elektabilitas di atas 60%.