Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Benarkah Investigasi Allan Nairn Bersumber dari Informasi Intelijen?

4 Mei 2017   13:09 Diperbarui: 8 Mei 2017   14:23 2870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laporan investigasi Allan Nairn tentang adanya jenderal aktif yang merencanakan kudeta terhadap Presiden Jokowi sampai hari ini masih menimbulkan kontroversi. Nairn mengklaim investigasinya yang diberi judul Trump's Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President tersebut ditulisnya berdasarkan laporan intelijen.

I received detailed information from five Indonesian internal intelligence reports. The reports were assembled by three different Indonesian agencies. Each one was confirmed by at least two current army, intelligence, or palace officials,” begitu pengakuan Nairn dalam laporannya.

Laporan investigasi wartawan senior asal Amerika Serikat itu kemudian disadur oleh Tirto.id dengan judul Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar”  

Hanya saja, kalau dicermati, laporan Nairn tersebut bukan lagi barang baru. Sebab, kurang lebihnya 75 % dari isu seperti yang dilaporkan oleh Nairn sudah dituliskan dalam sejumlah artikel di Kompasiana sejak 2014 atau 2,5 tahun sebelum Nairn mem-publish laporannya pada 18 April 2017. Karenanya, muncul pertanyaan, apakah Kompasianer mendapat bocoran informasi dari “Indonesian internal intelligence”ataukah sebaliknya?

More broadly, Ponto said, “almost all the retired military” and “some current military back SBY” in supporting the FPI-led protests and the coup movement. He said he knows this because — in addition to his being an intelligence man — the pro-coup generals are his colleagues and friends, many of whom correspond on the WhatsApp group known as The Old Soldier. The admiral said that for the movement’s military sponsors, the Ahok issue is a mere entry point, a religious hook to draw in the masses, but “Jokowi is their final destination.”

As for the tactic of a straight army assault on the palace in a coup d’etat, Ponto said that would not happen. This one would be “a coup d’etat by law,” resembling in one sense the uprising that toppled Suharto in 1998, except that in this case the public would not be on the revolt’s side — and the army, rather than defending the president, would be working to bring him down. The FPI-led protestors, he said, would enter the palace and congress grounds, then try to get inside and set up camp until someone made them leave.

Ponto yang dimaksud Nairn dalam laporannya adalah Laksamana (Purn) Soleman B. Ponto, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) dan penasihat aktif Badan Intelijen Negara (BIN).

The admiral said that for the movement’s military sponsors, the Ahok issue is a mere entry point, a religious hook to draw in the masses, but “Jokowi is their final destination.” Menurut Ponto, sebagaimana yang ditulis Nairn dalam laporannya, isu Ahok dijadikan pintu masuk oleh kelompok militer pendukung makar untuk mengguingkan Jokowi. “Jokowi is their final destination.

Soal rencana makar dengan menggunakan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok sebagai pintu masuknya sudah dituliskan dalam sejumlah artikel, Salah satunya adalah "Penunggang Kuda" Aksi 212.

Dalam artikel yang ditayangkan pada 28 November 2016 itu tertulis, “...Isu kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok yang didwitunggalkan dengan Jokowi telah memosisikan kelompok kedua sebagai pusat gerakan. Tidak heran kalau GNPF-MUI diposisikan sebagai motor penggerak aksi. Sementara, faktor kedekatan Habib Riziek dengan ketiga kelompok tersebut membuat pemimpin FPI ini menjadi pemain jangkar.

Sebenarnya, sebelum kasus “Al Maidah 51”, ketiga kelompok tersebut sudah menjadikan Ahok sebagai pintu masuk. Pintu masuk ini terus menerus dihantam. Dan begitu Ahok dianggap melakukan penistaan agama, pintu tersebut terdobrak. Ketiga kelompok tersebut langsung menerobos masuk lewat Aksi 1410, Aksi 411, yang akan disusul dengan Aksi 212.”

Selain artikel di atas masih ada sejumlah artikel lainnya yang mirip-mirip dengan isi dari laporan Nairn, seperti “Soal Makar, Apakah DPR Belum Tahu Insiden "Bouazizi"? dan Soal Makar, Kapolri dan Menhan Sama-sama Benar”.

Kemudian Nairn melanjutkan laporannya, “It would look like People Power” — the people gathered by FPI and their allies, but in this case, “with everything paid. The military would just do nothing. They only have to go to sleep” and let the president fall.

The admiral’s description of the movement’s strategy matched that of a dozen top officials I spoke to, some of them still active in the aparat — some for the coup, some against it.

Another possible scenario was described by another large group of officials: that the FPI-led rallies would get out of hand, with Jakarta and other cities tumbling into chaos, and the army stepping in and assuming control to save the state.”

Laporan yang diterima Nairn ini pun sama persis alias sebelas-dua belas dengan sejumlah artikel yang ditayangkan di Kompasiana.

Di antaranya Soal Makar, Kapolri dan Menhan Sama-sama Benar” yang ditayangkan pada 26 November 2016. Dalam artikel tersebut dituliskan, “Di mana-mana dan dari waktu ke waktu makar itu tidak gampang. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Tanpa dipenuhinya syarat-syarat itu kedeta atau makar hanyalah omong kosong belaka.

Syarat pertama, adanya momentum. Kalau pada isu-isu kudeta sebelumnya momentum itu tidak ada, kali ini momentumnya sudah ada. Bukan hanya sudah ada, tetapi juga sudah matang. Kalau disamakan dengan masa 1965-an, bisa dibilang “Ibu Pertiwi sudah hamil tua”.

Momentum itu berawal dari kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Sebenarnya kasus ini tidak beda dengan kasus-kasus penistaan agama sebelumnya. Persoalannya, Ahok berbeda dengan pelaku penista agama lainnya. Kalau pelaku lainnya tidak berpredikat sebagai pejabat publik, sebaliknya Ahok adalah Gubernur DKI Jakarta, gubernur ibu kota negara.

Selain itu, kalau peristiwa penistaan agama lainnya tidak terkait dengan kepentingan politik, kasus Ahok sarat akan kepentingan politik. Saat Ahok diduga melakukan penistaan agama, ia berstatus sebagai calon petahana Pilgub DKI 2017 yang diusung oleh 4 parpol penguasa.

Dan, karena momennya bertepatan dengan masa pemilu, maka mau tidak mau kasus ini pun melibatkan masa pendukung masing-masing pasangan calon. Artinya sudah terjadi benturan di tingkat akar rumput.

Benturan di tingkat akar rumput ini bukan saja melibatkan warga Jakarta, tetapi juga warga negara Indonesia lainnya yang tinggal di segala penjuru tanah air. Akibatnya, terjadilah benturan dengan skala besar dan masiv. Benturan antar akar rumput dengan skala besar inilah yang menjadi syarat kedua terjadinya makar.

Setelah “bahan baku” kudeta sudah ada, tinggal bagaimana mengeksekusinya. Bisa lewat jalan konstitusional yang diawali dengan keluarnya mosi tidak percaya dan diakhri dengan pemilu atau, pengambilalihan paksa oleh militer.”

Sementara, skenario serangan makar terhadap Jokowi juga sudah ditulisakan dalam "Potong Sumbu", Kapolri Hindarkan Jokowi dari Upaya Di-Soeharto-kan yang diposting pada 05 Desember 2016 dituliskan,

“Jadi, sangat jelas kalau pada 2 Desember 2016 sedikitnya ada 2 potensi bentrokan massal. Inilah yang harus dicegah oleh Polri dengan “momotong sumbu” sebelum terjadi “ledakan” kecil yang berpotensi membakar ke segala arah. Polisi memotongnya dengan menangkapi aktivis terduga makar yang pada hari itu menyebar, sebagian di Monas dengan mengikuti Aksi 212 dan sebagian lagi di Gedung DPR/MPR. Sumbu yang mengaitkan Monas dengan Gedung DPR/MPR inilah yang dipotong oleh Polri.

Perlu juga dicermati, sehari sebelum Aksi 212 dilangsungkan beredar himbauan dari sejumlah tokoh kepada peserta aksi untuk membawa berbagai perlengkapan pribadi, di antaranya, odol, masker, dan kacamata renang. Apa manfaat dari odol, masker, dan kacamata renang bagi massa Aksi 212 yang ingin mengikuti kegiatan ibadah? Maka perlu dipertanyakan, apakah himbauan itu disebarluaskan untuk mengantisipasi terjadinya kerusuhan, atau persiapan untuk membenturkan peserta aksi dengan aparat keamanan?

Bayangkan kalau 0,1 % saja dari peserta Aksi 212 yang terpancing oleh provokasi? Apa jadinya? Dan perlu diperhatikan juga, Aksi 212 direncanakan berakhir pada pukul 13.00 WIB atau siang hari, bukan seperti Aksi 411 yang berakhir lepas pukul 18.00 WIB.

Karenanya cukup dengan menyulut terjadinya bentrokan di Monas, kerusuhan dengan skala besar diperkirakan akan terjadi. Bukan hanya di Jakarta, tetapi juga menjalar ke sejumlah daerah”

Dalam sejumlah artikel dituliskan tentang skenario menjatuhkan Jokowi dengan model Mesir. Model Mesir ini mirip-mirip dengan peristiwa 1998 yang berujung pada lengsernya Soeharto.

Dan mirip dengan yang dituliskan dalam artikel “Soal Makar, Kapolri dan Menhan Sama-sama Benar TNI tidak mungkin melancarkan kudeta secara langsung. Dalam artikel sebelum Aksi 212 yang digelar pada 2 Desember 2016 itu dituliskan, “Sekarang, apa mungkin TNI melancarkan kudeta? Untuk melancarkan aksi kudeta, militer harus solid dalam satu komando. Bukan hanya pada saat aksi dilancarkan, tetapi juga setelahnya. Tanpa komando di satu tangan, kudeta militer akan mendapat perlawanan dari kubu militer lainnya. Ini yang terjadi di Libya dan Suriah.

TNI di bawah komando Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pastinya tidak akan gegabah melancarkan aksi kudeta sebagaimana Jenderal As Sisi di Mesir. Gatot pastinya akan menghitung dukungan yang diberikan kepadanya, termasuk dukungan dari kalangan sipil, dan memastikan dukungan itu tetap solid pascakudeta berhasil dilancarkan.

Itulah yang menjadi pertanyaan, apakah tentara solid di bawah komando Gatot, ataukah terpecah ke dalam beberapa faksi? Sepertinya, Gatot tidak akan mengambil resiko besar untuk melancarkan kudeta militer. Gatot akan menempatkan TNI di atas relnya.

Dalam peristiwa 1998, Panglima ABRI Jenderal Wiranto tidak berani memanfaatkan “Supersemar” yang dimandatkan kepadanya. Artinya, Wiranto menghindari ABRI (TNI + Polri) dari benturan. Jadi, sangat tidak mungkin kalau Gatot melancarkan kudeta militer yang berpotensi saling berbenturnya TNI.”

Sebenarya , tidak ada yang salah kalau militer lebih memilih untuk mengikuti “arah angin”. Seperti dalam “Mungkinkah Militer Indonesia Kudeta? “Dari berbagai pengalaman yang terjadi, termasuk Arab Spring, militer selalu memihak kepada “arah angin”. Ketika Hosni Mubarak masih kuat, militer Mesin berbaris rapat di belakangnya, tetapi begitu gelombang masa membesar, militer Mesir berbalik dan mendukung penurunan Mubarak.

Demikian pula dengan yang terjadi di Indonesia pada 1998. Militer yang awalnya kompak mendukung Soeharto mulai memihak gerakan reformasi ketika gerakan tersebut membesar. Hal ini terbukti dengan dukungan TNI AL dan TNI AU kepada gerakan reformasi sehari sebelum Soeharto menyatakan lengser.

Sikap militer yang mengikuti arah angin itu sama sekali tidak salah. Sebab kalau militer mencoba melawan arah angin, maka dapat menimbulkan perang saudara yang tentu saja mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar. Militer akan saling berhadapan seperti yang terjadi di Libya dan Suriah,

Militer tidak seperti yang disebut Nairn dalam laporannya “.. And the army stepping in and assuming control to save the state”. TNI memang tidak boleh (terang-terangan) terlibat dalam politik praktis. Dan, jika situasi keamanan sudah tidak lagi sanggup dikendalikan oleh Polri, TNI pastnya akan mengambil alih “komando”. Jika tidak, situasi pasti akan terus memburuk. Jadi, langkah TNI tidaj bisa dikatakan TNI seolah-olah menganbil alih kendali untuk menyelamatkan negara.

Ada keresahan pada personel TNI atas situasi yang terjadi di tanah air memang benar.  Panglima TNI sendiri sempat mengungkapkannya di sela Seminar Nasional Bela Negara yang digelar di Hotel Sheraton Makassar pada 12 Desember 2015.

"Masyarakat Indonesia saat ini memiliki budaya yang berbeda, mereka lebih suka marah-marah, parahnya itu semua dipelopori oleh politikus yang dikendalikan dari luar oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab ,” ujar Gatot seperti dikutip Tribunnews.

Tidak jelas, siapakah politisi yang dimaksud oleh Gatot. Pastinya, Gatot tidak mungkin sevulgar Kolonel (AU) Adjie Suradjie saat mengritik pola kepemimpinnya Presiden SBY lewat artikelnya yang diberi judul “ “Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan”.Kerasahan Gatot sangat wajar mengingat situasi saat ini yang begitu mencemaskan dan rentan akan terjadinya konflik horisontal.

Kalau diperhatikan, dalam laporan nya Nairn berupaya membangun opini jika gerakan makar terkait dengan kepentingan PT Freeport Indonesia. Opini yang dicoba dibangun oleh Nairn ini tidak salah kalau melihat rumor tumbangnya Presiden Libya Moamar Khadafi yang disebabkan oleh konsesi ladang minyak. Mungkin saja opini Nairn tersebut ada benarnya. Tetapi, seberapa kental kepentingan Freeport dalam rencana makar? Dan pertanyaan terpentingnya, apakah tanpa adanya kepentingan Freeport isu makar tidak akan berhembus?

Dengan demikian, laporan investigasi Nairn bisa dibilang sudah jadi barang rongsok yang seharusnya tidak perlu lagi diperdebatkan. Bukan hanya isu adanya keterlibatan militer aktif dalam rencana makar, tetapi juga keterkaitan antara Presiden AS Donald Trump dengan sejumlah tokoh di tanah air. Bukahkah kedekatan Trump dengan Hary Tanoesoedibyo sudah menjadi konsumsi publik. Pertanyaannya, apakah kedekatan orang nomor satu di AS dengan sejumlah tokoh tanah air itu merugikan bangsa Indonesia atau tidak?

Laporan investigasi Nairn bukan hanya sudah basi, tetapi juga kurang lengkap. Karena faktanya seruan gerakan people power yang terkait dengan isu Ahok sudah berhembus sejak Juni 2016. Ketika itu dunia maya, khususnya Twitter, diramaikan oleh #PeoplePower.

Tagar ini muncul sebagai ungkapan kekecewaan atas sikap KPK yang menyatakan tidak menemukan adanya tipikor dalam jual-beli lahan RS Sumber Waras (SW). Tetapi, ketika itu tidak mungkin terjadi gerakan people power seperti yang ditulis di "People Power" untuk Gulingkan Jokowi, Memangnya Bisa?

Kebenaran akan rencana makar yang melibatkan sejumlah jenderal TNI aktif tersebut tidak ada yang tahu pasti. Karena tidak menutup kemungkinan laporan intelijen yang diterima oleh Nairn tidak akurat atau memiliki motif lain yang tidak jelas tujuannya. Hanya saja, militer pastinya akan lebih memilih untuk tetap mempertahankan Jokowi hingga masa kepemimpinannya berakhir pada 2019. Toh, dengan kondisi babak belur yang dialaminya, Jokowi akan sulit memenangi Pilpres 2019.   

Bagi Jokowi, sebenarnya bukan benar-tidaknya investigasi yang dilaporkan oleh Nairn tersebut. Isu adanya rencana makar hanyalah kepulan asap dari api yang sedang berkobar. Dan, selama api itu terus berkobar, asap akan terus membumbung. Masalahnya, beranikah Jokowi memadamkan api yang tengah membakar ini.

Terakhir, kembali pertanyaan itu muncul, apakah Kompasianer yang mendapat bocoran informasi dari “Indonesian internal intelligence”ataukah sebaliknya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun