Soal bersuara, bangsa ini masih dianggap cuma bisa membebek. Lihat saja di TV. Banyak politisi yang menganggap suaranya mewakili suara rakyat. Sementara, tidak sedikit pengamat yang merasa mewakili kita yang disebutnya sebagai silent majority.
Jangankan bangsa ini secara keseluruhan, penulis blog Kompasiana saja masih kerap dipandang sebelah mata. Banyak ditemui netizen yang mengolok-ngolok tulisan Kompasiana yang di-share lewat FB atau Twitter.
Jangankan di media sosial. Di Kompasiana sendiri saja Kompasianer sering mendapat pelecehan. Ehtah itu cuma sekedar komentar yang melecehkan, atau bahkan menganggap tulisan di blog keroyokan ini sebagai sampah. Tulisan yang diposting di kanal fiksi dituding sebagai karya sampah. Begitu juga dengan artikel yang diunggah di kanal lainnya. Parahnya, orang yang menstempel artikel di Kompasiana sebagai sampah juga Kompasianer sendiri.
Padahal, penulis di Kompasiana ini datang dari banyak kalangan. Mulai dari Jusuf Kalla, Marzuki Alie, Anies Baswedan, Faisal Basri, Yusril Ihza Mahendra, Arswendo Atmowiloto, Cheppy Hakim, sampai Pebrianov. Mulai dari Wakil Presiden RI 2 periode sampai anggota PPS dua periode. Dari latar belakangnya saja sudah jelas kalau JK, Anies, Yusril, dll bukan termasuk kelompok yang disebut sebagai silent majority. Suara mereka didengar oleh media dan disampaikan kepada publik.
Tetapi, biarpun penulis Kompasiana datang dari kelompok bukan silent majority dan kelompok silent majority. Di Kompasiana ini semua setara. Yusril yang bergelar akademik Profesor Doktor Hukum Tata Negara, pernah menduduki berbagai jabatan di kementerian pada sejumlah kabinet, pesaing Abdurahman Wahid dan Megawati saat pemilihan calon presiden 1999-2004 dalam sidang umum MPR RI pada 1999, dan juga kerap hadir dalam berbagai talk show yang ditayangkan berbagai stasiun televisi. Toh, Yusril bukan termasuk silent majority tidak selalu lebih benar dari K-er lainnya.
Yusril mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait Yusril Izha Mahendra kembali mengajukan permohonan uji materi. Kali ini menguji materi Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 112 UU No 42/ 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Menurut pakar hukum tata negara ini, kedua pasal itu bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD yang berbunyi "PasanganCapres dan Cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu".
Presiden SBY pun mendengar bisik-bisik kalau MK bakal mengabulkan permohonan Yusril.
"Saya dengar, mudah-mudahan tidak benar dan tidak terjadi, konon katanya, Perppu tentang MK ini dikaitkan dengan apa yang ditangani MK. Yaitu persoalan UU Pemilihan Presiden, apakah berlaku sekarang ini ada perubahan, threshold, calon presiden. Saya dengar bisik-bisik politik itu bisa dikaitkan. Saya tidak percaya," ungkap SBY di Taman Mini Indonesia Indah, Jaktim pada 18 Desember 2013 (Sumber).
Tetapi, dengan argumentasi yang saya tulis di “Plus-minus Bila MK Kabulkan Permohonan Yusril Terkait Pencapresan”, saya yakin Yusril yang memegang rekor cemerlang di MK itu akan kalah. Lalu dipostinglah artikel ini “Hindari Chaos, MK Harus Tolak Permohonan "Pemilu Serentak".
Ternyata benar, MK menolak gugatan Yusri. Dengan begitu, informasi yang dibisikkan kepada SBY pun salah besar.
Sebagai silent majority, jelas tulisan saya tersebut tidak bakal dirujuk oleh para pembesar negeri ini. Ini mirip dengan artikel “Berbahasa Inggris Di Istana Jokowi Melanggar Sumpah” yang saya tayangkan hanya beberapa jam setelah Jokowi dilantik sebagai Presiden RI Ke-7. Saya berpikir, Jokowi telah melanggar UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Sebulan kemudian, isu ini baru meramaikan media setelah Ahli hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan Jokowi sudah melanggar sumpahnya sebagai Presiden RI jika berpidato menggunakan bahasa Inggris di salah satu sesi Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pacific Economic Cooperation di Beijing. Pernyataan Hikmahanto itu diberitakan sejumlah media, salah satunya Tempo.co yang menulis “Pidato Berbahasa Inggris, Jokowi Bisa Langgar Sumpah”.
K-er memang tidak kalau dengan yang bergelar profesor. Dua contoh itu kebetulan diambil dari tulisan saya sendiri. Karena masih banyak tulisan teman-teman lainnya yang juga menembus batas silent majority. Dan, itu baru dua contoh.
Contoh lain, misalnya, Profesor Hamdi Muluk yang mengatakan kalau PDIP tidak mendukung Ahok, partai moncong putih itu bakal hancur di Pemilu 2019. Malamnya dipostinglah tulisan ini “Tidak Dukung Ahok, PDIP Habis?”. Benar saja, belum juga sampai 2019, PDIP sudah keok di mana-mana. Okelah, kasus penistaan agama bisa dijadikan alasan keoknya PDIP. Tapi, apakah tanpa kasus itu PDIP tidak mengalami nasib sialnya di 2017? Buktinya, kasus ini tidak mempengaruhi pemilih Ahok di Jakarta.
Sewaktu banyak orang penting yang mengatakan kalau kecurangan lewat e KTP palsu itu tidak mungkin. Kata mereka tidak ada celah untuk melakukannya. Katanya, Kemendagri akan menurunkan petugas Dukcapil-nya, dll. Faktanya, sampai pemilu digelar tidak satu pun media yang memberitakan tentang diturunkannya petugas Dukcapil.
Kemudian, untuk mengatasi kecurangan, Ketua KPU meminta warga untuk mengawasi Pilgub DKI 2017. Faktanya, ada celah kecurangan dengan memanfaatkan Keputusan MK seperti yang ditulis di sini “Inilah Kerancuan Keputusan MK yang Berpotensi Timbulkan Rusuh pada Pilgub DKI 2017”. Dan, menurut Profesor Romli Atmasasmita, seperti yang di-retweet-kan kepada saya, tulisan itu masuk akal.
Dan, kalau melihat video yang memperlihatkan seorang pemilih yang kebingungan saat ditanyai posisi rumah tinggalnya, sepertinya adanya celah dalam Keputusan MK tersebut benar-benar telah dimanfaatkan.
Itu baru membandingkan opini yang tertuang dalam tulisan di Kompasiana ini dengan pendapat para profesor. Makanya, saya menuliskan “Beyond Blogging Kompasiana, Jadi Lebih dari Sekadar Mesin "Pembunuh" Silent Majority”
Kompasiana ini sudah dilecehkan di mana-mana. Di sisi lain, sekalipun masih dalam bentuk dugaan, Kompasiana ini juga diawasi. Tetapi, motif mengawasi Kompasiana berbeda dengan motif mengawasi situs-situs sejenis. Kompasiana diawasi karena gagasan penulis yang dituangkan dalam artikelnya, bukan karena muatan hoax yang disertai dengan ujuran-ujaran kebencian yang berpotensi merusak persatuan bangsa.
Kalau penulis Kompasiana mau, pasti akan menayangkan informasi yang didapatkannya. Lantas menuliskan informasi itu dengan disertai “menurut sumber yang bisa dipercaya”. Tetapi, banyak teman penulis yang memilih untuk tidak menuliskannya dengan alasan tidak mau dijebak oleh sumber yang belum jelas identitasnya.
Malah, sekalipun pemberi informasi itu sudah jelas, tetap saja ogah menayangkannya. Alasannya, mengindari dari ancaman pidana. Karena, kalau tulisa itu sudah ditayangkan dan akan melahirkan gugatan, K-er lah yang akan tertimpa musibah. Sementara, si pemberi informasi bersembunyi entah di mana.
Jangankan informasi yang belum jelas identitas pemberinya, informasi yang disampaikan oleh Antazari Azhar saja masih belum bisa diterima sebagai kebenaran. Bukahkah informasi itu masih selevel dengan bocoran Wikileaks yang bersifat unconfirmed rumor.
Mungkin di Kompasiana ini ada tulisan yang membandingkan status informasi Antasari dengan bocoran Wikileaks. Dan, mungkin juga di Kompasiana ini ada penulis yang sudah berani menayangkan artikel kalau pada Pilgub DKI 2017 ini tidak ditemukan bukti kecurangan. Karenanya, tidak ada satu pun paslon yang akan menggugat kecurangan Pilgub DKI ke MK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H