“Kalau Form C6 bisa digandakan dengan cara difotocopy, berarti ini salah satu cara untuk menggandakan pemilih,” kata seorang teman lewat WA.
Dijawab, “Kalau hanya mengisi C6 dengan identitas fiktif sih boleh-bolah saja. Tidak ada yang melarang. Tetapi, begitu penggunanya mendaftar di TPS, petugas TPS akan mencocokkan C6 dengan DPT. Kalau C6 yang dibawa tersebut ditemukan, petugas TPS akan melanjutkan ke tahap selanjutnya dengan memberi surat suara.
Dan, DPT bukan hanya dicocokan oleh petugas TPS, tetapi juga oleh saksi. Karena masing-masing saksi juga mencocokan C6 dengan DPT yang dipegangnya.”
“Bagaimana kalau C6 milik saya dipakai orang lain, apa itu bukan bentuk kecurangan?”
Soal C6 pernah ditulis waktu masa Pileg 2014. Dalam artikel itu, diungkapkan kalau C6 yang tidak dapat disampaikan ke pemiliknya bisa dijual oleh petugas KPPS kepada kontestas pemilu. Di TPS tempat saya, ada 6 lembar C6 yang tidak bisa diserahkan ke pemiliknya.
2 lembar C6 karena alamat pemilih berada jauh dari TPS, masih satu kelurahan tetapi beda RW. 4 lembar C6 tidak diserahkan karena pemiliknya tidak ditemukan dan nama pemiliknya tidak dikenal oleh warga yang tinggal di sekitarnya.
Bagaimana kalau pemilik C6 itu ada, dalam artian terdaftar dalam DPT, tetapi C6 miliknya digunakan oleh orang lain? Semua pemegang C6 bisa mencoblos tanpa perlu meninjukkan KTP-nya. Jadi, C6 milik Si A bisa digunakan oleh Si B untuk mencoblos.
Tetapi, modus seperti ini mudah terungkap. Sebab, kalau Si A melapor adanya dugaan penyalahgunaan C6 miliknya, petugas akan mudah memeriksanya pada lembar-lembar C6 yang sudah dibundel dan dimasukkan ke dalam kotak suara. Kalau kemudian petuga menemukan C6 milik Si A, berarti memang benar terjadi penyalahgunaan C6.
Pertanyaannya, apa sudah ada yang melaporkan penyalahgunaan C6?
Dalam pemilu, segala bentuk kecurangan pasti ada. Hanya saja, apakah kecurangan tersebut logis atau tidak? Mudah terungkap atau tidak? Kecurangan itu sohib dari bohong atau hoax.
Untuk bisa bohong, curang, atau nge-hoax harus benar-benar dipikirkan secara matang agar kecurangannya, kebohongannya, dan ke-hoax-annya tidak mudah terungkap. Semakin seseorang itu pakar soal bohong, curang, atau ngehoak, semakin jarang orang tersebut melakukannya. Tukang bohong atau ngehoax berbeda jauh dengan pakarnya.