Ada tiga pertanyaan, cukup tiga tidak lebih, tentang informasi penggandaan e-KTP yang sampai detik ini masih menyebutkannya sebagai “hoax”.
Pertama, apakah penggandaan uang itu ada? Kedua, apakah uang hasi dari penggandaan itu hoax? Ketiga, apakah uang hasil dari penggandaan uang tersebut itu dapat dibelanjakan?
Begitu juga dengan penggandaan e-KTP. Apakah penggandaan e-KTP itu ada? Apakah hasil dari e-KTP hasil dari penggandaan itu hoax? Dan, apakah e-KTP hasil dari penggandaan itu bisa dimanfaatkan untuk mencurangi pemilu?
Jawaban dari ketiga pertanyaan di atas adalah “Ya”, “ya”, dan “ya”.
Penggandaan e-KTP akan menghasilkan e-KTP palsu. Kalau ada 1 e-KTP yang digandakan menjadi 10, maka penggandaan ini menghasilkan 9 e-KTP palsu. Dan, setiap e-KTP palsu disebut dengan hoax.
Namun demikian, sebagaimana uang palsu hasil penggandaan yang bisa dimanfaatkan untuk berbelanja, e-KTP palsu pun bisa dimanfaatkan memilih pada pemilu. Sederhanya, setiap yang palsu atau hasil manipulasi disebut hoax, tetapi bukan berarti tidak bisa dipakai sesuai peruntukannya.
Karena, penggandaan e-KTP yang menghasilkan e-KTP palsu tersebut dapat digunakan untuk memilih, Kemendagri dan sejumlah penyelenggara pemilu lainnya sudah menyiapkan berbagai langkah pencegahannya.
Cara mendeteksi e-KTP palsu tidak bisa sama dengan cara mendeteksi uang palsu yang hanya dilakukan dengan 3D, Dilihat, Diraba, dan Diterawang. Satu-satunya cara mendeteksi keaslian atau kepalsuan dari e-KTP adalah dengan mencocokkannya dengan NIK. Dan, NIK pada e-KTP hanya bisa dilihat melalui data elektronik yang ada pada Depdagri.
Untuk melihat data elektronik diperlukan peralatan elektronik. Karenanya KPU membutuhkan card reader. Tetapi, pengadaan card reader ini terkendala oleh masalah dana, karena pengadaan card reader tersebut disesuaikan dengan jumlah di DKI jakarta yang berjumlah lebih dari 13 ribu TPS.
Dan, satu-satunya cara yang paling realistis untuk mencegah pemanfaatan e-KTP palsu ini adalah dengan cara menempatkan petugas Dukcapil untuk berkoordinasi dengan petugas KPPS. Cara ini sudah dikemukakan oleh Kemendagri lewat akun Twitter-nya.
Masalahnya, sampai tulisan ini ditayangkan belum ada penjelasan dari Kemendagri tentang mekanisme penempatan petugas Dukcapil-nya pada Hari-H pemilu. Di mana saja petugas Dukcapil itu ditempatkan? Penempatan petugas Dukcapil ini pastinya dengan menyesuaikan jumlah petugas Dukcapil yang akan diturunkan dengan jumlah 13 ribu lebih TPS di DKI Jakarta. Kemudian, dengan cara apa dan bagaimana petugas KPPS yang ada di TPS berkoordinasi dengan petugas Dukcapil.
Secara logika, Kemendagri tidak mungkin menempatkan 13 ribu lebih petugas Dukcapilnya di 13 ribu lebih TPS yang ada di DKI Jakarta. Dengan logika tersebut, kemungkinan paling mungkin adalah menempatkan petugas Dukcapil di kelurahan di DKI Jakarta. Dengan demikian, Kemendagri hanya membutuhkan 265 petugas Dukcapil.
Namun demikian, bagi Kemendagri penggandaan e-KTP belum selesai hanya dengan mencocokkan data pada KTP dengan data elektronik pada sistem kependudukan Indonesia. Masalah lain yang harus diselesaikan Kemendagri adalah keberadaan saksi setiap paslon.
Dalam pelaksanaan pemilu, terutama yang terkait dengan perolehan suara, wajib dihadiri oleh seluruh saksi dari setiap Paslon. Jadi semenjak TPS dibuka pada pukul 07.00 sampai penetapan pemenang pemilu, harus dihadiri oleh setiap saksi.
Sejak pemilu berlangsung di TPS, para saksi memberikan kesaksiannya dengan menandatangani sejumlah Form yang terkait hasil perolehan suara di TPS. Kemudian pada saat rekapitulasi suara di kelurahan, para saksi pun dihadirkan dan memberikan tanda tangannya pada sejumlah form. Dan, demikian juga dengan rekapitulasi di kecamatan, di kotamadya/kabupaten, di propinsi, sampai tingkat pusat.
Dan, kalau ada saksi dari salah satu paslon tidak mau membubuhkan tanda tangannya, berarti ada masalah pada tahapan pemilu.
Terobosan Kemendagri tersebut patut diacungi jempol. Tetapi, karena terobosan ini tidak diatur dalam Juknis Pemilu dan aturan lainnya, maka Kemendagri harus menyesuaikan terobosannya tersebut dengan “adat istiadat” pemilu. Salah satunya dengan mengakomodasi keberadaan saksi.
Karenanya, di mana pun petugas Dukcapil ditempatkan, entah itu di tingkat Kelurahan, Kecamatan, atau seterusnya, keberadaan saksi harus juga diakomodasikan.
Sementara, bagi tim paslon, menyediakan saksi bukanlah hal yang mudah. Selain harus mengumpulkan personel saksi, tim paslon juga perlu mengedukasi saksi tentang tugas dan kewajibannya.
Kalau terobosan Kemendagri ini yang pada akhirnya diputuskan sebagai cara untuk mengatasi beredarnya e-KTP palsu, maka masih ada waktu kurang dari 72 jam bagi setiap tim paslom untuk menyiapkan saksi-saksinya. Tetapi, waktu bagi Kemendagri untuk mensosialisasikan terobosannya pastinya kurang dari 72 jam.
Kalau terobosan Kemendagri ini gagal, demikian juga dengan terobosan-terobosan lainnya, maka sudah barang tentu pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta 2017 akan berakhir di ketok palu MK. Karena, kalau penggandaan E-KTP ini dibiarkan oleh pemerintah dan penyelenggaraan pemilu tanpa melakukan tindakan apapun, maka unsur sistematis dan terstruktur dalam Pilgub DKI Jakarta sudah terpenuhi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H