Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Kalau Polri Sudah Menyatakan e-KTP Ganda Valid, Kenapa Pendukung Ahok Masih Ngotot Bilang Hoax?

8 Februari 2017   17:29 Diperbarui: 8 Februari 2017   17:49 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapolres Metro Jakarta Utara , Kombes Pol Awal Chairuddin memastikan dua dari tiga identitas e-KTP ganda valid. Bahkan, nama yang tertera di e-KTP dimiliki dua orang yang dipastikan ada. Dan, keduanya sudah membuat laporan pada 6 Februari 2017.

Dari tiga e-KTP tersebut baru dua yang telah ditelusuri Polres Jakarta Utara, sementara satu e-KTP lagi tidak mungkin ditelusurinya karena beralamat di Jakarta Barat. (Sayangnya sampai hari ini belum satu pun media yang memberitakan hasil penelusuran Polres Jakarta Barat).

Pada hari yang sama, KOMPAS.com mempublikasikan tentang Sukarno yang mengeluhkan namanya muncul pada tiga e-KTP ganda. Pada e-KTP ganda tersebut hanya NIK yang sama. Sedangkan, baik nama, alamat, pekerjaan, foto, tanda tangan dan data lainnya berbeda.

Dalam kasus Sukarno bisa dilihat pemalsu e-KPT menggunakan NIK yang secara sistem mengacu pada identitas asli Sukarno. Oleh pemalsu, kemudian dicantumkan nama, alamat, pekerjaan, tanda tangan, dan foto yang berbeda dari data pemilik asli, yaitu Sukarno, yang tercantum dalam sistem kependudukan.

Jadi, informasi tentang penggandaan e-KTP itu dipastikan valid, dan bukan hoax. Dan penggandaan e-KPT ini berpotensi melahirkan kecurangan dalam pelaksanaan pemilu, khususnya Pilkada DKI Jakarta 2017 yang akan digelar pada 15 Februari 2017.

Anehnya, hanya kubu Paslon Nomor 1 dan Paslon Nomor 3 yang keras menyuarakan adanya potensi kecurangan pemilu lewat penggandaan e-KTP. Sebaliknya, kubu Paslon Nomor 2 mati-matian membantah adanya penggandaan e-KTP. Bahkan, Kubu Paslon Nomor 2 menyebut informasi itu sebagai hoax. Tidak hanya itu, propaganda bahwa penggandaan e-KTP sebagai informasi hoax juga dilancarkan oleh sejumlah situs yang dikenal sebagai corong kampanye pasangan Ahok-Djarot.

Memang benar, sejak isu penggandaan e-KTP bergilir, hanya kubu Paslon Nomor 1 dan Paslon Nomor 2 yang berteriak lantang lewat media sosial. Tetapi, bukan hanya kerena diposisikan sebagai lawan, lantas segala macam suara dari kubu seberang harus dilawan mati-matian. Apalagi kalau informasi itu mengandung kebenaran. Dari situlah muncul anggapan kalau pendukung Paslon Nomor 2 kurang peka dalam merespon persoalan terkait Pilgub DKI Jakarta 2017.

Kalau saja para pendukung Paslon Ahok-Djarot membaca dengan cermat klarifikasi Kemendagri lewat akun @Kemendargi_Ri pada Sabtu 4 Februari 2017 yang merencanakan akan menempatkan petugas Dukcapil untuk berkoordinasi dengan petugas di TPS, pastinya tidak akan mati-matian melawan informasi penyebaran e-KTP ganda.

Dari sisi waktu, klarifikasi Kemendagri itu dikeluarkan setelah hampir 48 jam isu e-KTP ganda beredar. Artinya, cukup waktu bagi Kemendagri untuk mengecek kebenaran informasi tentang penggandaan e-KTP. Bukankah, petugas Kemendagri tinggal mendatangi alamat yang tertera pada e-KTP, sama seperti yang dilakukan wartawan KOMPAS.com.

Selain itu, dalam klarifikasinya, Kemendagri juga merencanakan penempatan petugas Dukcapil dalam perhelatan Pilgub DKI 2017 padahal pada hari H pemilu PNS, termasuk karyawan Kemendagri diliburkan. Artinya, Kemendargri menilai penyebaran e-KTP ganda ini sebagai persoalan yang sangat serius. Maka, sangat membingungkan, ketika sejumlah media masih mengatakan bahya penggandaan e-KTP sebagai informasi hoax.   

Sebenarnya, kalau Paslon Nomor 2 peka, informasi tentang berdar luasnya  e-KTP ganda atau palsu atau aspal ini merugikan pencalonan Ahok-Djarot. Pasangan petahana ini dituding sebagai pelakunya. Apalagi foto pada e-KTP aspal itu berasal dari satu etnis tertentu. Penyebaran e-KTP aspal dengan foto wajah etnis tertentu juga merugikan Paslon Nomor 1 dan Paslon Nomor 2, sebab akan mengurangi kewaspadaan saksi kedua paslon tersebut terhadap pemilik e-KTP aspal dari etnis lainnya.

Siapa penyebar e-KTP? Sampai sekarang belum jelas. Bisa dari ketiga Paslon, atau dari pihak di luar konstituen Pilkada DKI 2017. Tetapi, siapa pun penyebar penggandaan e-KTP, Pilgub DKI 2017 sudah dalam ancaman kerusakan. Inilah yang harus dipikirkan oleh pemerintah, Kemendagri, dan pihak-pihak terkait lainnya.

Banyak pihak yang mengatakan keresahan adanya penggandaan e-KTP terlalu dibesar-besarkan. Katanya dengan gadget-gadget tertentu sudah diketahui keaslian atau kepalsuan sebuah e-KTP. Ada lagi yang mengatakan penggandaan e-KTP bisa dicegah dengan mendownload aplikasi tertentu lewat Android.

Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 ada lebih dari 12 ribu TPS. Artinya, ada 4 X 12 ribu gadget untuk setiap TPS-nya, 1 untuk petugas KPPS dan 3 untuk para saksi dari setiap Paslon. Dari besaran jumlahnya saja sudah jelas setiap timsen tidak akan sanggup memenuhi pengadaan gadget, apalagi KPUD DKI Jakarta dengan anggarannya yang terbatas.

Demikian juga dengan mendowload aplikasi tertentu pada Adroid. Solusi ini tidak mungkin dilakukan oleh petugas KPPS dan ketiga saksi dari Paslon. Kalau aplikasi ini digunakan maka harus terhubung dengan data kependudukan pada sistem IT. Pertanyaannya, apakah Kemendagri bersedia memberikan akses pada sistem kependudukannya kepada publik?

Jelas, kedua solusi yang disarankan para pakar itu tidak mungkin dijalankan. Satu-satunya solusi yang benar hanyalah yang direncanakan oleh Kemendagri, yaitu menempatkan petugas Dukcapil untuk berkoordinasi dengan petigas KPPS. Hanya dengan solusi itu kecurangan pemilu lewat penggandaan e-KTP dapat ditekan. Karena hanya ini yang bisa dilakukan untuk mencegah kecurangan pelilu lewat penggandaan e-KTP.

Muncul satu pertanyaan penting. Apakah e-KTP palsu lolos dalam tahap Pencocokan dan Penelitian (Coklit)? Karenanya patut ditanyakan kepada KPUD apakah saat Coklit petugasnya melakukan pencocokan NIK pada e-KTP dengan NIK yang yang ada pada sistem elektronik Kemendagri? Kalau itu tidak dilakukan, artinya pemilik e-KTP palsu masuk dalam Daftar Pemilu Tetap (DPT).

Dalam pelaksanaan pemilu, setiap pemilih yang menggunakan Form C6 atau yang disebut Model C6 mendapat hak pilih antara pukul 07.00-13.00 atau sejak TPS dibuka sampai TPS ditutup. Pemilih dengan menggunakan Form C6 akan dicatat oleh putugas KPPS pada Form C1 pada kolom “Pemilih Terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)”.

Sementara, pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak suaranya dengan menunjukkan bukti KTP atau identitas lainnya kepada petugas KPPS antara pukul 12.00-13.00. Pemilih ini akan dicatat dalam Form C1 pada kolom “Pemilih Khusus Tambahan (DPKtb)/ Pengguna KTP atau Identitas Lain atau Paspor."

Seorang calon pemilih yang terdaftar dalam DPT akan mendapat undangan memilih menurut TPS-nya atau mendapat Form C6. Selanjutnya, pemilih dengan menggunakan Form C6 yang otomatis sudah terdaftar dalam DPT tidak perlu lagi menunjukkan KTP atau identitas lainnya. Jadi, siapa pun pemilik C6 dapat menggunakan hak pilihnya, termasuk pemilik C6 dengan e-KTP palsu. Dengan demikian, pemeriksaan e-KTP oleh Dukcapil hanya dapat dilakukan pada pemilih tambahan yang menggunakan hak suaranya antara pukul 12.00-13.00.

Dalam kisruh penggandaan e-KTP ini banyak pengamat, politisi, blogger, para pendukung calon *khususnya Paslon Nomor 2) yang tidak tahu tentang petunjuk teksis (Juknis) pemilu di TPS. Karenanya, banyak dari opini yang mereka kembangkan hanyalah penyesatan atau pembodohan publik.

Katanya, setiap pemilih, termasuk pengguna C6 harus diperiksa keaslian KTP-nya. Pertanyaannya, ada berapa jumlah TPS di seluruh DKI Jakarta? Ada lebih dari 12 ribu TPS. Mampukan Dukcapil mengutus lebih dari 12 ribu pegawainya ke lebih dari 12 ribu TPS? Pertanyaannya kemudian, berapa banyak waktu bagi petugas Dukcapil yang ditempatkan di TPS untuk mengecek seluruh KTP, dengan asumsi 1 KTP membutuhkan waktu 2 menit? Menutut UU Pemilu, untuk setiap TPS pada saat Pilpres, Pilgub, Pilwalkot, atau Pilbub maksimal berjumlah 800 DPT. Dalam pelaksanaannya, ada TPS yang berjumlah lebih dari 500 DPT.   

Mereka yang ngototkalau e-KTP palsu hanya hoax juga tidak tahu kalau pengguna C6 tidak perlu menunjukkan KTP-nya. Bahkan ada yang mengatakan untuk mengatasi e KTP ganda ini, surat suara pemilih yang masuk dalam DPT dipisahkan dengan surat suara pemilih pengguna KTP. Kalau keputusan ini yang diambil, pertanyaannya, di mana letak kerahasiaan pemilu.

Dengan adanya klarifikasi Kemendagri lewat akun @Kemendagri_RI yang akan menurunkan petugas Dukcapil-nya dan pernyataan Polri yang menyebut informasi tentang penggandaan e-KTP valid, seharusnya seluruh Paslon Pilgub DKI 2014 semakin menguatkan meningkatkan “radar” kecurangan pemilu-nya. Bukannya malah berkoar-koar menyebut penggandaan e-KTP hoax.

Dan, kalau masih ada pendukung Paslon yang terus mempropagandakan e-KTP hoax lewat medsos-nya dan situs-situs yang condong mendukung pasangan yang didukungnya, maka sudah barang tentu kelompok inilah yang tengah berupaya merusak jalannya pesta demokrasi di negara ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun