Bebasnya Antasari Azhar membuahkan banyak spekulasi. Selain spekulasi tentang adanya konspirasi pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, bebasnya mantan ketua KPK ini juga disebut-sebut memiliki informasi terkait dugaan karupsi pengadaan IT KPU untuk Pemilu 2009.
Menariknya, informasi terkait dugaan korupsi pengadaan IT KPU ini dikaitkan dengan terjadinya kecurangan dalam Pemilu 2009, khususnya Pilpres 2009 yang dimenangkan oleh pasangan SBY-Boediono. Spekulasi akan dibongkarnya kecurangan Pemilu 2009 lebih kencang terdengar lagi setelah Antasari menemui Presiden Jokowi di Istana pada 26 Januari 2017. Sebelum pertemuan tersebut, Presiden mengabulkan permohonan grasi yang diajukan oleh Antasari.
Spekulasi akan dibongkarnya kecurangan Pemilu 2009 ini terus menguat pasca kehadiran Antasari pada debat Paslon Gubernur DKI ke pada 27 Januari 2007. Di mana dalam acara debat tersebut Antasari duduk di antara pendukung Ahok. Posisi duduknya Antasari ini bukan saja menunjukkan dukungan Antasari kepada Ahok, tetapi juga perlawanan terhadap mantan Presiden SBY.
Pertanyaannya, benarkah pengungkapan kasus dugaan korupsi pengadaan IT KPU akan berujung pada terbongkarnya kecurangan Pemilu 2009?
Jawabannya sangat sederhana. Korupsi pengadaan IT KPU untuk Pemilu 2009 tidak ada hubungannya dengan sistem elektronik Pemilu 2009. Korupsi pengadaan IT KPU hanyalah mark up atas pembelian perlengkapan IT yang digunakan dalam penyelenggaraan Pemilu 2009 dan tidak ada kaitannya dengan sistem IT pemilu. Karena korupsi pengadaan IT KPU dan sistem IT KPU adalah dua hal yang berbeda. Ibaratnya, korupsi pembelian motor. Apakah korupsi pembelian motor terkait mesin pada motor? Tentu tidak!
Dan, kalau pun korupsi pengadaan IT KPU 2009 terkait dengan sistem IT Pemilu 2009, dalam artian dapat mengubah angka-angka hasil perolehan suara pada Pemilu 2009, maka keterkaitan ini pun tidak bersinggungan dengan kecurangan Pemilu 2009. Dengan kata lain, dugaan korupsi pengadaan IT KPU 2009 tidak ada kaitannya dengan kecurangan Pemilu 2009.
Sejak pemilu pertama digelar sampai pemilu terakhir, perolehan suara para kontestan pemilu didapat secara manual, bukan secara elektronik. Perolehan angka manual tersebut bersumber dari Form C1 yang berasal dari setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) penyelenggara pemilu.
Dalam Form C1 terdapat beberapa kolom, antara lain, jumlah pemilih yang dibagi menjadi pemilih lelaki dan perempuan, jumlah pemilih berdasar Daftar Pemilih Tetap (DPT), pengguna hak suara dari DPT, pengguna hak suara non DPT, perolehan suara, suara tidak sah, dan lainnya. Setiap kolom dalam Form C1 saling kait dengan dengan yang lainnya. Karenanya salah mengisi satu kolom saja merupakan kesalahan total dari Form C1.
Form C1 yang merupakan hasil rekaman penyelenggaraan pemilu dalam bentuk angka-angka ini, bukan hanya ditandatangani oleh semua anggota KPPS, tetapi juga oleh semua saksi kontestan pemilu. Kemudian setiap saksi mendapat satu copy Form C1.
Rekaman manual hasil penyelenggaraan pemilu di setiap TPS dalam bentuk angka yang tercatat dalam Form C1 ini kemudian direkapitulasi di tingkat Kelurahan. Pada saat itu semua saksi menghadiri acara tersebut. Dari kelurahan catatan tersebut dibawa ke tingkat kecamatan dan demikian seterusnya sampai tingkat nasional yang diadakan oleh KPU pusat. Rekaman manual yang merupakan rekapitulasi dari Form C1 inilah yang ditetapkan oleh KPU sebagai hasil pemilu.
Jadi jelas, IT KPU tidak ada kaitannya dengan hasil rekapitulasi yang diperoleh oleh KPU secara manual. Tidak ada hubungannya antara perolehan suara yang diambil secara elektronik dengan perolehan suara yang dicatat ke dalam selembar kertas.