Pada 29 Desember 2016 Presiden Jokowi mengintruksikan untuk menindak tegas pelaku penyebaran informasi hoax. Intruksi itu disampaikan Jokowi dalam rapat terbatas pasca beredarnya lagi isu 10 juta tenaga kerja asing (TKA) asal China.
Karuan saja, instruksi Jokowi tersebut mendapat berbagai respon. Ada yang mendukung tindakan keras terhadap penyebar hoax. Sebaliknya, tidak sedikit yang menolak, bahkan menentang keras instruksi presiden tersebut. Mereka yang menentang mengatakan penyebaran informasi hoax juga terjadi di negara lain.
Memang benar, informasi hoax juga marak beredar di negara lain. Masalahnya, penyebaran informasi hoax di negara lain tidak mengancam persatuan bangsa. Sementara, penyebaran informasi hoax di Indonesia berpotensi menimbulkan konflik SARA.
Hal ini serupa dengan isu TKA ilegal. Pemerintah tidak bisa membandingkan isu TKA ilegal asal China di Indonesia dengan masalah TKA Ilegal di negara lain. Di negara lain isu TKA ilegal hanya berkeliaran di sekitar masalah hukum. Sementara isu TKA ilegal, khususnya asal China, menjurus kepada kebencian berbau SARA.
Adanya muatan kebencian atas SARA yang berpotensi menimbulkan konflik horisontal inilah yang seharusnya menjadi landasan pemerintah dalam menindak tegas penyebar informasi hoax. Apalagi, dalam penyebarannya para pelaku juga melampirinya dengan ujaran-ujaran provokatif.
Sampai Desember 2016 tercatat sekitar 800 ribu situs bermasalah yang diblokir pemerintah, 90 % di antaranya situs pornografi dan judi sisanya penyebar hoax. Langkah pemerintah ini patut diapresiasi.
Persoalannya, pemerintah Jokowi dianggap melakukan tebang pilih dalam memblokir situs-situs bermasalah. Hanya situs-situs penentang pemerintah yang diblokir. Sebaliknya situs-situs pro-Jokowi dibiarkan. Padahal jelas ada sejumlah situs pro-Jokowi diketahui kerap menyebarluaskan konten hoax, fitnah, dan ujaran kebencian terhadap suatu kelompok.
Perbedaan perlakuan ini pastinya telah menimbulkan rasa ketidakadilan pada satu kelompok. Dan ini akan semakin menguatkan perlawanan terhadap pemerintah Jokowi. Bahkan lebih parah lagi, rasa ketidakadilan itu berpotensi membenturkan sesama anak bangsa.
Sebenarnya tidak begitu masalah jika situs bermasalah, baik itu yang pro maupun yang kontra Jokowi hanya menyebarkan informasi hoax. Persoalannya situs-situs bermasalah itu juga menyebarkan ujaran penuh kebencian yang sangat provokatif. Kalau hanya menyebarkan hoax, dapat dilawan dengan upaya pelurusan.
Tetapi, ujaran kebencian, apalagi yang begitu provokatif akan sangat sulit dilawan. Sebab setiap upaya perlawanan terhadap muatan kebencian justru meningkatkan ujaran kebencian itu sendiri. Karena itu satu-satunya mengatasi situs-situs penyebar kebencian adalah dengan memblokirnya. Dan bila perlu menangkap pengelolanya.
Contohnya, isu hoax 10 juta TKA ilegal asal China. Isu ini dapat dengan mudah diluruskan dengan menyampaikan fakta kalau yang dimaksud 10 juta adalah target wisatawan asal China. Tetapi, bagaimana dengan melawan kebencian terhadap etnis Tionghoa, Syiah, Sunni, Kristen, SBY, Prabowo, Ahok, Habib Rizieq, MUI, FPI, bahkan terhadap pribadi Jokowi sendiri?