Anehnya, dalam situasi seperti ini, negara masih terlihat bungkam. Bahkan, pemerintah memilih diam ketika diserang fitnah sana-sini. Tidak ada tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah sehingga penyebar ujaran kebencian makin mengganas. Bukan hanya itu, para penyebar kebencian malah menantang negara untuk melakukan tindakan hukum. Toh, negara tetap diam saja.
Dalam situasi seperti ini seharusnya negara harus bertindak tegas. Bahkan, negara berwenang melakukan tindakan represif. Jangan takut dituding otoriter, diktator, fasis, atau lainnya. Bukankah tudingan itu hanya opini. Lawan opini dengan opini sebelum Indonesia berubah menjadi Afganistan, Suriah, Libya, dan lainnya.
Dalam perang opini di media sosial, pemerintah nampak kedodoran. Lihat saja klarifikasi Kemenakertrans soal jumlah tenaga kerja asing yang diunggah lewat akun Twitter Setneg hanya di retwit kurang dari 1.000. Jadi, ada masalah dengan penyebaran arus informasi dari pemerintah. Kegagalan pemerintah dalam medan tempur opini ini terlihat jelas dengan ditutupnya sejumlah situs di akhir November 2016 lalu. Â
Negara seharusnya menyadari, tanpa kehadiran negara, rakyat akan bertindak sendiri-sendiri. Dan itu justru lebih membahayskan. Karenanya, jika negara belum juga menunjukkan sikap tegasnya atau belum juga mengubah strategi komunikasinya, cepat atau lambar bentrok fisik akan terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H