Gedung Bumi Patra Ayu, Indramayu, 9 Desember 2016 pukul 13.25 WIB
“Bapak VVIP atau undangan?” tanya mbak pager ayu.
Saya yang saat itu sedang mengisi buku tamu langsung terdiam. Terhenyak mendengar pertanyaan yang dirasa teramat sangat tendensius itu. Saya mendongak menatap pagar ayu yang berdiri di seberang meja. Wajahnya cantik dengan tahu lalat kecil di pipi kirinya.
Dalam hati saya membatin, “Apa karena rambur gondrong dan penampilan buluk ini si mbak tanya seperti itu?”
Mungkin kalau ada pilihan ketiga, si mbak pagar ayu pasti akan menyampaikannya juga. “Bapak VVIP, undangan, atau ....?”
Halah, nulisnya saja nggak sanggup. Baru membayangkan saja sudah merasa dihina dina dengan sebegitu nistanya.
Setelah kelar mengisi buku tamu dan menerima kantong berisi dua buku tentang Pertamina dan Karangsong, saya masuk ke dalam ruangan. Saya pilih kursi di pojok belakang.
Beberapa lama kemudian, kursi VVIP yang dideretkan di depan sudah diisi. Rerata berpakaian batik. Saya lihat bapak-bapak yang duduk di kursi VVIP rerata berambut botak. Beda banget dengan saya yang berambut gondrong. Mungkin itu yang membuat mbak pagar ayu curiga.
Acara bedah buku dan talkshow yang dijadwalkan pukul 13.00 WIB ngaret. Penyebabnya Bu Menteri LHK Siti Nurabaya Bakar belum datang. Menurut informasi, Bu Menteri masih diperjalanan dari Pekalongan untuk menghadiri acara bersih sungai.
Saya perhatikan teman-teman dari Pertamina yang tadi bareng makan sate kambing. Semuanya terlihat bete. Menunggu dengan wajah tertekuk. Saking nekuknya, bibir sama jidat bisa cipokan.
Masalahnya bukan soal menunggunya, tapi susunan acaranya yang terbolak balik. Masa, pagi harinya ikut acara Cooking Class Chef Aiko yang cantik semiohai, eh siangnya bedah buku. Jomplang banget kan antara wajah Aiko dengan buku.
Aiko memang cantik. Sejauh mata memandang dari atas sampai bawah nggak ada yang dibuang. Hari itu dia masak kakap sambal dabu-dabu. Sekalian promosikan kecap mangrove merek Jackie Gold buatan ibu-ibu UKM binaan Pertamina.
Kata Aiko, kakap putih dipilihnya karena dagingnya yang empuk dibanding ikan mayung. Lantas, Aiko melumuri kakap putih itu dengan bumbu. Cara dia melumuri ikan bikin saya yang nangkring di atas panggung jadi deg-degan. Eh, pas ikan yang katanya berdaging emouk itu diangkat, ternyata terlihat sudah kaku.
Busyet. Itu ikan sudah mati. Sudah tinggal badan dan ekornya saja. Tapi kok kelakuannya masih ngeres begitu. Bagaimana waktu masih hidup utuh.Jangan-jangan kakap yang dimasak Aiko itu termasuk kucing garongnya kakap. Pantes saja perkembangbiakan kakap di Indramayu terbilang cepat. Lha kelakuan penjantannya kayak gitu.
Sambil nunggu kedatangan Ibu Menteri, wajah Aiko masih kebayang-bayang. Saya mah nggak peduli Aiko bayangin wajah saya apa nggak. Lha kenal aja nggak. Kadang mata dilayangkan ke arah tampilan video yang ada di dua sisi panggung. “Berlabuh di Pantai Karangsong” begitu salah satu tulisan pada tampilan.
Saya membayangkan kalau sepanjang pantai Indramayu sudah jadi hutan mangrove. Dulu tentara Jepang pertama kali mendarat di Pantai Eretan, Indramayu. Nah, kalau sepanjang pantai dikelilingi mangrove, nggak bakal tuh tentara Jepang menjajah Indonesia. Paling setelah mendarat lansung bantu ibu-ibu PKK bikin dodol mangrove.
Ini yang belum banyak diketahui. Sebelum mendaratkan pasukannya di Eretan. Tentara Jepang diduga akan diterjunkan di atas Eretan. Mendengan informasi itu, langsung saja para pejuang dan masyarakat Indramayu memotong bambu dan meruncingkan salah satu ujungnya. Bambu –bambu itu kemudian ditancapkan di sepanjang pantai Eretan.
Kebayang kan, bagaimana jadinya kalau Jepang jadi menerjunkan pasukannya. Pas diterjunkan, di bawah sudah menunggu bambu runcing. Nanti kalau LSI merilis survei. Hasilnya, dari 1.000 serdadu, 53,48 % tewas, 21,75 % hilang bidjinya. Sisanya dtangkap pejuang dan dijadikan romusha pembuat dodol mangrove.
Ternyata, itulah awal mula pejuang menggunakan bambu runcing untuk mengusir penjajah. Itu artinya, bambu runcing yang diciptakan tahun 1942 lebih mutakhir dari granat, tank, kapal perang, bahkan pesawat tempur yang sudah lebih dulu diciptakan. Bangga juga saya jadi orang Indonesia.
Pas lagi senyum-senyum dalam hati karena bangga jadi orang Indonesia, saya lihat ada bapak berbatik yang rambutnya lebih gondrong dari saya sampai rambutnya itu bisa diikat. Saya lihat banyak bapak-bapak yang rambutnya sudah botak menyambut bapak yang gondrong itu.Bapak-bapak botak itu menyalami dengan punggung sedikit dibungkukkan tanda hormat. Lalu mereka berbincang hangat.
Penasaran dengan bapak gondrong itu, saya berpindah tempat duduk. Saya nguping. Ternyata, bapak yang gondrong itu dosen dari bapak-bapak yang sudah botak.
Ternyata benar kata orang, dunia sudah terbolak-balik. Zaman sekarang dosennya yang gondrong, mahasiswanya yang botak plontos.
Ah, ternyata gondrong tak berarti hujan.
#YangPentingHatinya.
Artikel terkait HUT 59 PT Pertamina lainnya:
Melalui Sekolah Mangrove, PT Pertamina Ajak Siswa Jaga Senandung Riang Karangsong
Usai Mimpi Buruk "140908", Warga Indramayu dan PT Pertamina "Buktikan" Ramalan Wiralodra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H