Namun demikian, setidaknya ada dua upaya provokasi terhadap massa Aksi 212. Pertama, serangan dari seseorang dengan goloknya. Kedua, diracuninya sejumlah air kemasan yang membuat peserta aksi yang meminumnya merasa pusing-pusing. Untungnya massa tidak terpengaruh. Massa tetap melangsungkan aksinya dengan damai.
Tetapi, damainya Aksi 212 tidak lepas dari peran Polri. Salah satunya dengan menangkapi kesepuluh terduga pelaku makar. Karena, sudah ada rencana, bahkan ajakan kepada GNPF MUI, untuk mengerakkan massa menuju Senayan.
Saat menggelar pertemuan dengan Kapolri pada 5 Desember 2016, sejumlah anggota Komisi III DPR menyangsikan kemampuan nini-nini dan aki-aki dalam melancarkan makar. Kalau makar yang dilancarkan dengan bedil tentu saja tidak mungkin. Lagi pula di Indonesia yang memiliki senjata hanya TNI dan Polri. Dan seumur-umur negara ini, paling banter militer hanya mengarahkan moncong meriamnya ke arah Istana. Itu pun terjadi pada 17 Oktober 1952, ketika negara ini masih balita. Jadi tidak mungkin nini-nini dan aki-aki memanggul senjata untuk menggulingkan Jokowi.
Menggulingkan presiden tidak harus dilakukan dengan senjata. Presiden Tunisia mundur bukan karena todongan senjata. Demikian juga dengan Presiden Mesir Hosni Mubarak. Keduanya mengundurkan diri setelah tidak sanggup lagi menguasai situasi negaranya yang terus memburuk. Demikian juga dengan yang pernah terjadi di Indonesia.
Tidak seorang pun dari Presiden RI yang mundur karena todongan moncong senjata. Soekarno dimundurkan oleh MPRS. Soeharto melengserkan dirinya sendiri. Gus Dur dimakzulkan oleh MPR. Namun demikian, sebelum ketiganya terguling, ada satu peristiwa yang sama, yaitu memburuknya situasi negara. Memburuknya situasi negara ini ditandai dengan turunnya rakyat ke jalan-jalan.
Sebagaimana yang terjadi di Tunisa, Mesir, dan Indonesia, gelombang protes yang terjadi di sejumlah daerah dan berlangsung selama berhari-hari, pastinya baru bisa mereda setelah presiden mengundurkan diri. Dalam situasi seperti itu, presiden tidak mungkin dimundurkan lewat parlemen. Sebab menurut konstitusi, pemakzulan presiden harus melewati 3 lembaga, DPR, MK, dan MPR. Jadi, akan memakan waktu yang lama. Sementara situasi tidak memungkinkan untuk menunggu lamanya proses tahapan pemakzulan.
Ben Ali, Mubarak, dan Soeharto mengundurkan dirinya tanpa lewat mekanisme konstitusi. Ketiganya mundur setelah tidak sanggup lagi mengatasi situasi negara yang terus memburuk.
Aksi yang digelar pada 2 Desember lalu berpotensi menimbulkan bentrokan. Memang Kapolda Metro Jaya sudah menegaskan kalau pasukan yang ditugasi menjaga Aksi 212 di Monas tidak dipersenjatai. Tetapi, Kapolda pun menyatakan kalau pasukan yang ditempatkan di lokasi lainnya dipersenjatai. Maka, kalau terjadi bentrokan di luar area Aksi 212, ada kemungkinan aparat keamanan melepaskan tembakan.
Satu saja peserta aksi yang ditembak, apalagi sampai diberitakan tewas, pastinya akan memicu kerusuhan yang lebih besar. Kerusuhan ini akan menimbulkan gelombang unjuk rasa, bukan saja di ibu kota tetapi juga di sejumlah daerah. Hal ini dikarenakan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok telah mengusik rakyat Indonesia dari Aceh sampai Maluku. Bukannya ini mirip dengan yang terjadi di Tunisia pada Desember 2010.
Jadi, kalau anggota Komisi III DPR RI menyangsikan kemampuan nini-nini dan aki-aki dalam merancang rencana penggulingan Presiden Jokowi, mungkin mereka belum mengetahui insiden Bouazizi. Sebuah insiden kecil yang bisa terjadi di mana saja dan dilakukan oleh siapa saja. Tetapi, dari foto insiden Bouazizi yang menyebar lewat Twitter ini meletuslah Arab Spring yang menewaskan jutaan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H