Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Di Tengah Angin Proxy War yang Kian Kencang, Sebaiknya Blogger GPR Menyatu dengan TNI

10 November 2016   20:01 Diperbarui: 10 November 2016   20:46 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerbong kereta api bertuliskan pesan perjuangan (Sumber: .zonasatu.co

“Perbanyak tulisan positif yang bikin rakyat semangat,“ himbau Presiden Republik Indonesia Joko Widodo kepada Kompasianer di sela-sela pergantian pose untuk foto bersama seusai santap siang di Istana Negara pada 19 Mei 2015.

Sebulan kemudian, tepatnya 25 Juni 2015, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik. Inpres ini diterbitkan untuk menunjang keberhasilan Kabinet Kerja, menyerap aspirasi publik, dan mempercepat penyampaian informasi tentang kebijakan dan program pemerintah.

Kemudian, berdasarkan Inpres tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia meluncurkan program Government Public Relations(GPR). Program yang termasuk prioritas kerja Kemkominfo ini diluncurkan untuk memastikan masyarakat mengetahui apa yang dilakukan pemerintah dan berpartisipasi dalam pembangunan.

Keterlibatan masyarakat dalam program GPR pastinya bukan sekadar menyampaikan keberhasilan-keberhasilan yag berhasil dicapai oleh pemerintah. Tetapi, lebih dari itu, partisipan GPR pun ditantang untuk mampu melawan isu-isu yang berpotensi merongrong kredibilitas pemerintah.

Mendukung Pemerintah Bukan Berarti Membigotkan Diri

GPR yang digadang oleh Kemkominfo pastinya tidak lepas dari hiruk-pikuk kehidupan dunia maya, khususnya media sosial. Di dunia inilah warga maya partisipan GPR bergelut dengan berbagai isu, baik itu isu positif maupun isu negatif.

Menariknya, sama seperti paradigma “bad news is good news” yang melekat pada media arus utama, media sosial pun menganut paradigma ini. Setiap kali muncul konten negatif, tanpa ragu lagi warga maya langsung menelannya mentah-mentah dan langsung men-share-nya.

Tidak masalah kalau konten yang di-postingitu bermuatan kritik atau masukan. Justru konten tersebut berdampak positif bagi pemerintah, bahkan sangat dibutuhkan. Artikel berjudul “Demo 4 November 2016: Kemampuan Komunikasi Jokowi Akan Diuji” yang ditayangkan di Kompasiana pada 29 Oktober 2016 ini misalnya. Dalam artikel tersebut berisikan prediksi terkait unjuk rasa 411 dan masukan bagi presiden.

Prediksi yang dituliskan dalam artikel tersebut akhirnya terbukti saat unjuk rasa besar-besaran digelar pada 4 November 2016. Bahkan, jumlah pendemo yang diprediksikan dalam artikel tersebut jauh lebih akurat dibanding informasi intelijen yang dipasok kepada Presiden. Dalam artikel tersebut diprediksikan jumlah pendemo mencapai ratusan ribu orang. Sementara informasi intelijen yang dterima Jokowi hanya sebanyak 18.000.

Demikian juga dengan artikel yang memberi masukan kepada Jokowi dan petinggi negara lainnya untuk tidak asal mengeluarkan pernyataan terkait aktor di balik aksi 411. Saran yang dituliskan dalam artikel yang ditayangkan 3 hari sebelum aksi unras berlangsung sama persis dengan kritik dan masukanKetua PBNU Said Aqil Siradj 3 hari setelah unras digelar.

Dua artikel yang ditayangkan di Kompasiana tersebut hanya yang terkait dengan aksi 411. Di samping dua artikel tersebut, masih banyak lagi artikel yang memberi masukan kepada pemerintah.  Informasi yang dijadikan bahan rujukan pun bukan hanya yang bersumber dari media, tetapi juga dari sejumlah pengamatan di lingkungan sekitar.

Misalnya tentang menguatnya ancaman terhadap penganut Syiah di Indonesia. Sebelum Luhut Panjaitan mengungkapkan adanya ancaman serangan fisik terhadap penganut Syiah di Indonesia pada 3 Desember 2015, sejumlah artikel terkait ancaman tersebut sudah ditayangkan di Kompasiana berbulan-bulan sebelumnya.

Politik Adu Domba: Warga Maya Pilih yang Mana?

Hampir bertepatan dengan kunjungan Presiden Jokowi ke kantor PBNU, sebuah situs online menayangkan “berita” dengan judul “Hot!! Mendadak Panglima TNI Membuat Pernyataan Mengagetkan, "Tidak Takut Dipecat", Ada Apa?”. Sehari kemudian “berita” itu menyebar di media sosial, melintasi lini masa penggunanya. Sebaliknya, tidak satu pun media arus utama yang memberitakan isu ini.

Isu mengenai pencopotan Panglima TNI Jenderal  Gatot Nurmantyo dari jabatannyasebenarnya sudah mulai berhembus sejak 3 November 2016 atau sehari jelang unras 411. Pada Hari itu Gatot memerintahkan kepada prajurit TNI yang dikomandoinya untuk tidak menembak pendemo.

Disebarluaskannya isu soal pencopotan Gatot dari jabatannya selaku Panglima TNI tentu saja bertujuan untuk membangun opini atau persepsi tentang adanya perpecahan antara Presiden Jokowi dengan Panglima TNI.

Mendengar beredarnya isu pencopotan Panglima TNI, Jokowi pun membantahnya. Jokowi menegaskan bahwa isu yang berkembang di media sosial maupun whatsapptersebut tidak benar.

"Ini saya mengajak Panglima karena itu. Berseliweran informasi-informasi seperti itu, isu berseliweran kanan-kiri seperti itu sehingga saya tadi mengajak Panglima, untuk menyampaikan, menegaskan, tidak ada yang namanya penggantian Panglima TNI. Tidak ada," kata Jokowi di Istana Negara pada 9 November 2016 sebagaimana yang dikutip KOMPAS.COM.

Mungkin Gatot tidak pernah menyangka kalau dirinya bakal dijadikan alat untuk memecah belah. Padahal, sejak masih memegang komando tertinggi di Angkatan Darat  sampai menjabat sebagai Panglima TNI, Gatot kerap mengungkapkan keresahannya tentang ancaman proxy war yang tengah mengintai Indonesia.

Gatot bukan satu-satunya pejabat negara yang pernah dijadikan alat untuk menciptakan proxy war.  Setahun sebelumnya, himbauan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang dikicaukan lewat akun Twitter @lukmansaifuddin pada 5 Juni 2015 diedit dan digunakan sebagai alat pemecah belah bangsa. Cicicuit Lukman yang aslinya “Warung-warung tidak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang puasa,” diedit denganmenghilangkan kata “juga”.

Hampir dua tahun sebelumnya, Menteri BUMN Rini Sumarmo menjadi sasaran kemarahan lewat penyebarluasan sebuah foto hoax. Dalam foto yang mem-viral lewat media, termasuk media sosial, tersebut ditampilkan persyaratan penerimaan pegawai BUMN yang diskriminatif terhadap umat Islam, misalnya larangan berjanggut bagi lelaki dan berjilbab syar’i bagi perempuan.

Tentang editan kicauan Lukman dan foto hoax yang menyasar Rini ditulis dalam artikel “Kalau Tidak Mau Jadi Uka-Uka, Ikuti Ritual Ini Saat Bermedsos”. Dan, masih banyak lagi artikel yang menuliskan tentang upaya adu domba sesama anak bangsa, khususnya umat Islam dengan pemerintahnya, salah satunya artikel “Menghasut, Media PKS Piyungan Gunakan Nama Nabi”.

Lewat media sosial, netizen bisa memperoleh banyak informasi. Tetapi, di antara bermilyar informasi yang bertebaran itu tidak sedikit informasi sesat yang menyisip. Ada dialog menarik antara agenFBI Fox Mulder dengan mitranya Dana Scully yang terkenal dalam serial The X File.

Mulder, the truth is out there,” ucap Scully, “but so are lies.”

Ketika Warga Maya dan TNI Bersatu, Kekuatan Dahsyat Masa Perjuangan Kemerdekaan pun Bangkit

Dalam Inpres No. 9/2015, Presiden juga mengintruksikan kepada Kapolri, Panglima TNI, dan Kepala Badan Intelijen Negara menyerap aspirasi publik, dan mempercepat penyampaian informasi. Dengan begitu, jelas kalau GPR pun berkaitan dengan isu-isu yang menyangkit masalah keamanan nasional.

Di dunia maya, pemerintah lewat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah membentuk komunitas Duta Damai. Sayangnya, komunitas ini belum maksimal. Artikel-artikel yang ditayangkan oleh anggota komunitas Duta Damai kurang mem-viral. Akibatnya, jumlah klik setiap artikel rerata di bawah 100. Di sinilah seharusnya Kemkominfo bisa bersinergi dengan BNPT lewat pembentukan lembaga jejaring komunikasi sebagaimana yang terdapat dalam Program Kerja GPR.

Sudah banyak yang mengungkapkan bila sejak beberapa tahun terakhir ini muncul kelompok-kelompok yang memanfaatkan internet, khususnya medsos, sebagai sarana untuk menyebarluaskan propagandanya. Dari sekian banyak konten yang membanjiri internet, tidak jarang netizen mendapatkan konten yang berisi hasutan yang bertujuan untuk merontokkan kredibilitas pemerintah, bahkan NKRI. Terlihat jelas ada kelompok-kelompok yang ingin me-Libya-kan atau men-Suriah-kan Indonesia, setidaknya, me-Mesir-kan negara ini.

Kelompok-kelompok ini bukanlah kelompok radikal yang berbasiskan paham keagamaan, tetapi ada juga kelompok yang mewakili kepentingan global. Sedangkan kelompok radikal hanya dijadikan sebagai kuda tunggangannya. Situasi ini mirip dengan yang terjadi di Suriah dan Libya. Ada kemiripan kedua negara tersebut dengan Indonesia. Pertama, potensi sumber daya alam yang dimilikinya. Kedua, posisi georafis Suriah dan Indonesia yang sangat strategis dari kacamata pertahanan kawasan.

Saat menyampaikan pandangannya tentang aksi 411, Panglima TNI tidak hanya menyoroti kerusuhan kecil yang terjadi usai aksi unras.,tetapi juga memaparkan tentang ancaman besar yang sedang mengintai bangsa ini. Dalam Program Indonesia Lawyer Club (ILC) yang ditayangkan oleh TV One pada 8 November 2016, Gatot menguraikan tentang posisi geografis Indonesia di tengah konflik Laut Tiongkok Selatan. Selain itu luasnya wilayah yang dimiliki Indonesia merupakan potensi besar dalam pengembangan sumber energi nabati di masa depan. yang menjadi incaran dunia. Seperti yang ditulis artikel ini, kalau dimanfaatkan, dari sela-sela tanah kuburan yang ada di Indonesia bisa “menyemburkan” minyak berkilo-kilo liter banyaknya.

Kemudian pada keesokan harinya video berisi pemaparan Gatot tersebar lewat medsos. Dan, secara efektif dan efisien, Panglima TNI bersama netizen (baca: rakyat) telah mengingatkan bangsa ini atas situasi dan kondisi yang tengah dihadapinya.

Melihat ancaman besar terhadap negara ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Panglima TNI, ada baiknya bagi Kemkominfo untuk membentuk jejaring komunikasi yang memfokuskan diri pada masalah keamanan negara. Untuk merealisasikannya, Kemkominfo dapat menjalin kerja sama dengan Kementerian Pertahanan yang telah mewujudkan Program Bela Negara sejak setahun terakhir. 

Bagaimana pun pengguna internet dan jejaring sosial merupakan anak bangsa yang juga memiliki kewajiban dalam membela NKRI. Dan, dari penyebarluasan penyebarluasan rekaman video pemaparan Panglima TNI telah membuktikan kalau warga maya pun memiliki konstribusi terhadap keutuhan kedaulatan NKRI. Menariknya, peristiwa itu terjadi hanya dua hari sebelum bangsa ini memperingati Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November.

Bersatunya warga maya (baca: rakyat) dengan TNI pada peringatan Hari Pahlawan 2016 ini mengingatkan pada kecerdasan rakyat dan TNI yang mencoreti gerbong kereta api dengan tulisan “Merdeka”, “Merdeka ataoe Mati”. Lewat tulisan pada gerbong kereta api itu, rakyat bersama TNI menularkan semangat kepahlawanannya kepada rakyat yang tinggal di sepanjang lintasan rel kereta.

Selamat Hari Pahlawan.

Merdeka!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun