Sejak awal pemerintahan Jokowi, entah sudah berapa banyak artikel yang diposting di Kompasiana tentang adanya upaya untuk me-Libya-kan atau men-Suriah-kan Indonesia. Upaya-upaya itu terlihat sangat jelas, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Sejak akhir 2014 sudah terlihat ada upaya untuk membenturkan kebhinekaan dengan cara mengadu domba antar etnis. Puncaknya terjadi jelang 20 Mei 2015 di mana ada sekelompok orang yang gencar menghasut lewat propaganda anti-asing, anti-aseng, dan anti-asong.
Kemudian propaganda tersebut bergeser menjadi konflik Sunni-Syiah. Pada 3 Desember 2015, menurut Luhut Panjaitan yang ketika itu menjabat sebagai Menkopolhukam, ada rencana penyeangan terhadap penganut Syiah di Indonesia. Upaya membenturkan Sunni-Syiah nampak jelas dari rencana mendatangkan Syeik Arifi yang dikenal sebagai provokator konflik Sunni-Syiah.
Sebagai “warga negara” dunia internasional, Indonesia tidak mungkin lepas dari konflik global antara Blok Barat dan Blok Timur. Terlebih Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan didukung oleh kekayaan alam yang melimpah. Dan, kebetulan juga wilayah Indonesia berhadapan langsung dengan Laut Tiongkok Selatan yang saat ini sedang memanas.
Akan tetapi, upaya untuk me-Libya-kan atau men-Suriah-kan Indonesia selalu mentok. Tidak ada puntu masuk untuk menciptakan proxy war lewat upaya tersebut. Persatuan rakyat Indonesia terlalu kuat untuk diruntuhkan. Personel TNI pun tidak mungkin melancarkan kudeta sebagaimana yang terjadi di Libya dan Suriah. Namun demikian upaya memecah belah anak bangsa ini tidak pernah surut.
Jokowi harus ditumbangkan. Kalau tidak tumbang di tengah jalan, kalahkan saat Pilpres 2019. Begitu target salah satu kelompok yang cenderung memihak salah satu blok. Tetapi, mengalahkan Jokowi dalam pemilihan langsung bukan pekerjaan mudah. Pada Pilpres 2019 yang rencananya digelar serentak dengan Pileg 2019 nanti, Jokowi akan maju sebagai capres petahana. Elektabilitas Jokowi pastinya lebih tinggi dari calon lainnya. Demikian juga dengan kepuasan atas kinerjanya.
Untuk merontokkan elektabilitas Jokowi tersebut dibangunlah persepsi buruk tentang Jokowi. Salah satunya adalah dengan cara melekateratkan Jokowi dengan sosok kontroversial. Maka, dipropagandakanlah dwitunggal Jokowi-Ahok. Bahkan kemudian disebarkanlah sebuah wacana kalau pada Pilpres 2019 nanti Jokowi akan maju berpasangan dengan Ahok sebagai cawapresnya.
Persepsi dwitunggal Jokowi-Ahok ini ternyata langsung dilahap oleh pendukung Jokowi tanpa menaruh kecurigaan sedikit pun. Dengan penuh kebanggaan yang dipenuhi nilai-nilai kepahlawanan, para pendukung Jokowi malah turut menguatkan persepsi ini.
Para pendukung Jokowi tidak sadar kalau melekateratkan Jokowi dengan Ahok yang kontroversial merupakan ancaman bagi elektabilitas Jokowi. Ahok adalah sosok kontroversial yang lebih kontroversial ketimbang Ruhut Sitompul. Fahri Hamzah, Fadli Zon, bahkan Nikita Mirzani.
Dengan melekateratkan Jokowi dengan Ahok yang penuh kontroversi, sama saja dengan memposisikan Jokowi dalam sasaran tembak. Serangan terhadap Ahok, merupakan serangan kepada Jokowi sebagai dwitunggalnya. Menariknya, serangan kepada Jokowi, bukan berarti menyerang Ahok.
Kemudian muncullah skandal Sumber Waras. Dalam menangani kasus ini KPK mendadak main sulap dengan memunculkan niat jahat sebagai acuan. Tentu saja dengan patokan niat jahat tersebut Ahok akan lolos dari jerat kasus Tipikor. Bagaimana pun korupsi adalah kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh orang-orang cerdas. Dengan adanya niat jahat, maka KPK makin kesulitan untuk membuktikan seseorang melakukan tindak pidana korupsi.
Menurut KPK, BPK menemukan 6 penyimpangan dalam transaksi lahan Sumber Waras. Tetapi, karena KPK tidak menemukan niat jahat dalam transaksi tersebut, maka kasus Sumber Waras tidak dapat dilanjutkan. Menariknya, kasus ini berakhir dengan kompromi di mana KPK dan BPK saling menghargai sikapnya masing-masing. Tetapi, yang menjadi pertanyaan, kenapa baru dalam kasus yang menjerat Ahok, KPK ujug-ujug menghadirkan niat jahat sebagai patokannya dalam menindaklanjuti kasus korupsi.
Selain kasus Sumber Waras, KPK pun kedodoran dalam menindaklanjuti kasus reklamasi. Setelah melakukan OTT terhadap Sanusi pada 31 Maret 2016, KPK mengatakan akan ada tersangka baru. Pernyataan itu dilontarkan KPK pada 5 April 2016 dan ditegaskan kembali pada 25 April 2016. Tetapi, faktanya sampai tujuh bulan berlalu belum ada satu pun nama tersangka baru yang diumumkan.
Kenapa KPK melepas Ahok dalam kasus Sumber Waras hanya dengan dalih tidak ditemukannya niat jahat? Dan, kenapa KPK melempem saat menangani kasus-kasus lainnya yang diduga menjerat Ahok? Apa kaitannya dengan Jokowi?
Dengan melepaskan Ahok, maka akan timbul persepsi kalau Jokowi sebagai Presiden melindungi Ahok. Persepsi inilah yang terus dikuatkan dan terus digoreng serta dihembuskan untuk merontokkan elektabilitas Jokowi. Dan saat ini, isu ketidakadilan yang disasarkan kepada Jokowi terbukti ampuh menimbulkan kemarahan rakyat.
Jangankan yang dilandasi oleh sebuah fakta, hanya dengan bisik-bisik hoax pun persepsi mudah dibangun. Buktinya persepsi tentang kecurangan Pilpres 2014. Sekalipun kecurangan itu tidak ada dan hanya tudingan yang berbau fitnah, tetapi sampai sekarang masih dipercaya kebenarannya. Memang benar, kebohongan yang dihembuskan secara terus menerus akan diterima sebagai sebuah kebenaran.
Jelang Pilkada DKI 2017 ini, isu kecurangan pun dihembuskan. Jokowi kembali disasar sebagai oknum yang ambil bagian dalam kecurangan yang diarahankan untuk memenangkan Ahok. Dan entah siapa yang mengatur, saat meninjau proyek, secara vulgar Jokowi berjalan berduaan dengan Ahok Tentu saja kejadian tersebut semakin menguatkan persepsi dwitunggal Jokowi-Ahok. Pastinya, kejadian jalan-jalan berduaannya Jokowi-Ahok bukan terjadi secara spontanitas, karena protokoler sudah mengetahuinya.
Para pendukung Jokowi dan para pendukung Ahok berdalih kejadian tersebut wajar karena Jokowi datang ke proyek sebagai Presiden RI, sementara Ahok sebagai Gubernur DKI di mana proyek itu dikalankan. Katanya, secara protokoler Presiden RI harus didampingi kepala daerah setiap meninjau proyek. Benar, kalau didampingi. Tetapi, apakah ada aturan yang menyebut Presiden RI jalan-jalan berduaan dengan kepala daerah di lokasi proyek yang ditinjaunya. Di tengah-tengah kontestasi Pilkada DKI, tentu saja jalan-jalan berdua Jokowi-Ahok menumbuhkan persepsi buruk terhadap Jokowi.
Kalau diperhatikan ada yang berbeda dengan Pilkada DKI 2017 dengan pilkada-pilkada lainnya. Pada pilkada lainnya, serangan hanya ditujukan kepada pasangan calo, timses, dan orang-orang di sekitarnya. Tetapi, dalam Pilgub DKI 2017 serangan juga ditujukan kepada calon pemilih. Calon pemilih yang tidak mendukung ahok dikata-katai sebagai pro-begal APBD, pro-koruptor, pro-kekumuhan, dan seterusnya. Belum lagi lewat kata-kata kasar yang disebar lewat sosial media. Inilah yang menimbulkan kemarahan rakyat kepada Ahok. Kemarahan juga ditujukan kepada Jokowi yang diketahui sebagai pendukung Ahok.
Upaya merontokan Jokowi tidak hanya dilancarkan lewat persepsi “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas”, tetapi juga dengan membentuk persepsi kalau Jokowi merupakan orang yang sangat ambisius. Caranya dengan memajang baliho-baliho “Jokowi Capres 2019”. Tentu saja kemunculan baliho-baliho tersebut mandatangkan cibiran bagi Jokowi. Bagaimana tidak, belum genap 2 tahun menduduki kursi kepresidenan, apalagi Pilpres 2019 masih sekitar 3 tahun lagi, Jokowi sudah mengkampanyekan dirinya.
Pilkada DKI merupakan momen yang tepat untuk menghajar Jokowi. Itulah kenapa baliho “Jokowi Capres 2019” disebar saat perhatian publik tertuju ke ibu kota. Itu juga momen yang tepat untuk lebih melekateratkan Jokowi dengan Ahok, sosok kontroversial.
Tiba-tiba, jelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Ahok sang tokoh kontroversial itu secara tidak sengaja mengucapkan kalimat yang memancing kemarahan. Bukan saja warga Ibu Kota Jakarta, tapi di berbagai daerah di seluruh tanah air. Kesalahan Ahok adalah kesalahan Jokowi. Nama Jokowi pun ikut terseret dalam kasus ini. Bukan hanya sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai dwitunggal bagi Ahok.
Entah siapa yang mengatur Ahok untuk sowan ke Jokowi sebelum mendatangi Polisi. Tentu saja hal itu semakin menguatkan persepsi kalau Jokowi memang benar-benar melindungi Ahok. Persepsi dwitunggal Jokowi-Ahok berhasil semakin mendapat pembenaran. Kejadian itu juga sekaligus menguatkan berlangsungnya ketidakadilan di bawah pemerintahan Jokowi.
Upaya me-Libya-kan dan men-Suriah-kan Indonesia yang awalnya sulit diciptakan kini mendadak mendapat angin segar. Ratusan demonstran dari berbagai daerah berdatangan di Jakarta. Mereka bergabung dengan ratusan ribu domontran asal Jakarta. Apakah mereka jauh-jauh menempuh perjalanan berhari-hari dengan bus hanya untuk mengikuti aksi demo yang hanya berlangsung kurang dari 5 jam? Jawabannya bisa “ya” bisa juga “tidak”. Tetapi, ternyata ada pihak-pihak yang akan mendorong demo 4 November ke arah memakzulkan Jokowi lewat Sidang Istemewa. Artinya, Jokowi akan di-Gus Dur-kan.
Selain itu, konsentrasi aparat keamanan pun terpecah dengan ditenggarainya anggota kelompok teroris, seperti ISIS, Nusra, Al Qaeda, dll yang akan ambil bagian. Tidak masuk akal kalau kelompok teroris itu ambil bagian dengan menjadi pendemo.
Tidak ada seorang pun yang dapat memprediksikan akhir dari unjuk rasa 4 November 2016. Tidak seorang tokoh pun yang mampu menghentikan pendemo, termasuk Habib Rizieq sendiri.
Publikasi pemberitaan yang mempertontonkan barisan tentara dan polisi tidak menyurutkan pendemo untuk menghadiri unjuk rasa. Bahkan, komentar-komentar netizen yang mengatakan kalau pendemo akan disikat habis TNI dan Polri justru menambah semangat pengunjuk rasa. Karena persoalan ini sudah membakar akar rumput. Suasana kebatinan inilah yang tidak disadari oleh media, pemerintah, dan pendukung Ahok. Maka tidak mengherankan kalau selama sebulan ini media dan pendukung Ahok terus menerus melancarkan hujatan yang nyaris tanpa kendali.
Kemarin, dengan dimotori oleh Guntur Romli, buzzer-buzzer pendukung Ahok mem-bully SBY lewat tagar #LebaranKuda. Suatu perbuatan yang benar-benar kekanak-kanakan yang dilakukan di saat negara mengarah dalam situasi genting. Wajar saja kalau pendukung SBY meluapkan kemarahannya dan akan menghadiri demo 4 November 2016.
Kemarahan kepada Ahok, juga kemarahan kepada Jokowi. Unjuk rasa atas kesalahan Ahok, juga unjuk rasa kepada Jokowi. Pengadilan terhadap Ahok, juga pengadilan terhadap Jokowi. Itu semua karena keberhasilan propaganda dwitunggal Jokowi-Ahok yang dimakan mentah-mentah oleh pendukung Jokowi.
Beruntung, upaya untuk menggerakkan demo tandingan seperti yang digelar di Bandung pada 30 Oktober 2016 lalu gagal. Kalau demo tandingan itu berhasil, maka dengan mudah Indonesia akan di-Mesir-kan. Begitu juga dengan adanya usulan untuk menurunkan Banser NU. NU tidak bodoh. NU tahu kalau Banser diturunkan maka akan mudah memancing konflik horisontal yang sulit dipadamkan. Dan NU tidak mau diadu domba dengan sesama rakyat Indonesia.
Saat ini Jokowi sudah terpojok di sudut ring. Pukulan demi pukulan menghantam. Ada 3 kemungkinan, Jokowi di –KO lewat Sidang Istimewa, saved by the bell, atau kalah angka pada Pilpres 2019. Itulah buah dari keberhasilan operasi senyap “Dwitunggal Jokowi-Ahok” yang mempersepsikan Jokowi melekat erat pada Ahok sang tokoh kontroversial dengan segudang masalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H