Demo 4 November 2016 yang akan digelar Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) tidak mungkin bisa dicegah. Unjuk rasa yang dimotori oleh FPI ini rencananya akan dipusatkan di depan Istana. Kalau melihat jumlah pendemo pada 14 Oktober 2016 lalu, diperkirakan jumlah pengunjuk rasa yang akan “mengepung” istana akan mencapai ratusan ribu.
Selain di Jakarta, unjuk rasa juga akan dilangsungkan di sejumlah daerah, mulai dari Aceh sampai Maluku. Ketegangan di Jakarta dipasti akan meningkat sebab ribuan pengunjuk rasa rencananya akan mengepung propinsi ini dari segala arah, mulai dari Bogor, Tanggerang, Depok, dan Bekasi.
Bisa dibilang kalau demo 4 November 2016 nanti adalah demonstrasi terbesar dalam sejarah Indonesia. Lebih besar dari demo 2001 yang mendesak Presiden Gus Dur untuk turun. Bahkan lebih besar dari demo 1998.
Sebagaimana yang telah diedarkan, rencananya pengunjuk rasa akan menginap di depan Istana, mungkin juga dengan daerah lainnya. Sementara menurut aturannya, unjuk rasa hanya diperbolehkan sampai pukul 18.00. Lewat waktu itu, aparat keamanan akan membubarkannya.
Seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, sejak 1998, unjuk rasa yang mendekati petang mudah memicu kerusuhan. Saat itu baik pengunjuk rasa maupun petugas keamanan yang berjaga sudah dalam kondisi letih baik raga maupun jiwa. Di situlah aksi provokasi untuk berbuat anarkis mudah dilancarkan.
Masalahnya, aparat keamanan harus ekstra hati-hati dalam menyikapi unjuk rasa ini. Pembuaran paksa unjuk rasa tidak mungkin dilakukan sebab pengunjuk rasa sudah menyiapkan surat wasiat. Artinya pengunjuk rasa sudah siap untuk mati. Maka, kalau sampai terjadi chaos yang memakan korban jiwa, pemerintah Jokowi akan mengalami tekanan yang jauh lebih besar lagi. Bukan hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri.
Sasaran unjuk rasa jelas pemerintah Jokowi, bukan lagi Ahok. Pemerintah Jokowi disasar karena dianggap telah berlaku tidak adil. Dalam persepsi yang disebarkan oleh lawan politik Jokowi, hukum saat ini semakin tajam ke bawah dan semakin tumpul ke atas. Ahok hanya menjadi simbol dari tumpulnya hukum ke atas. Praktek ketidakadilan pun semakin jelas terlihat setelah penahanan Dahlan Iskan. Lewat kasus Dahlan, masyarakat kemudian membandingkannya dengan kasus Sumber Waras.
Sekilas demonstrasi 4 November 2016 akan mengarahkan Indonesia dari situasi tertib sipil menjadi darurat sipil. Jika chaos terjadi, kecil kemungkinan aparat keamanan mampu mengatasinya mengingat unjuk rasa ini berlangsung juga di berbagai daerah. Kekuatan aparat keamanan pun akan terbagi, bukan hanya di titik lokasi unjuk rasa, tetapi juga di titik-titik rawan lainnya.
Dalam situasi seperti itu, informasi intelijen seharusnya dapat menjadi pegangan. Sayangnya, dalam situasi seperti itu, informasi intelijen sulit dipercaya kebenarannya. Konon, peristwa Mei 1998 diawali oleh kesimpangsiuran informasi intelijen. Kesimpangsiuran itulah yang mengakibatkan kerusuhan meledak di Jakarta.
Unjuk rasa nanti tidak bisa dihentikan atau diurungkan sekalipun polisi sudah menahan Ahok. Sebab sasarannya bukan Ahok, tetapi Jokowi yang dianggap sebagai pelindung Ahok. Belum lagi isu komunisme yang kembali santer ditiupkan.
Sekilas, unjuk rasa 4 November 2016 akan berujung pada kejatuhan Jokowi. Setidaknya kalau demo berlangsung damai, Jokowi akan di-Gus Dur-kan. Kalau berlangsung brutal maka Jokowi akan di-Soeharto-kan.
Tetapi sesungguhnya tidak demikian. Ada 10 komitmen yang disampaikan Riziek kepada Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya yang menemuinya. Salah satunya adalah meminta kepada Presiden Jokowi untuk menerima delegasi GNPF MUI di Istana. Artinya, ada peluang untuk menyelesaikan kemelut ini dengan dialog.
Pada saat itulah kemampuan komunikasi Jokowi benar-benar akan diuji. Jokowi adalah figur yang mudah membaur dan mencair dengan siapa pun tanpa pandang status sosial, latar belakang, atau lainnya. Gestur Jokowi yang tidak memancarkan pamor kekuasaan pun akan mempengaruhi situasi. Bisa dikatakan, justru Jokowi dapat memanfaatkan kesempatan dialog itu untuk menyampaikan sejumlah persoalan kepada delegasi yang menemuinya. Ini merupakan kesempatan emas bagi Jokowi untuk merangkul lawan-lawannya.
Sayangnya, upaya untuk memprovokasi terjadinya chaos tetap berlangsung. Contohnya, dihembuskannya rumor oleh kader PPP versi Dzan Faridz tentang adanya pembagian dana Rp 10 M yang tidak merata. Secara logika, dana Rp 10 M tidak mungkin mencukupi untuk menggelar unjuk rasa secara maraton di berbagai daerah. Toh, rumor ini sudah menyebar.
Upaya memanas-manasi situasi pun dilakukan dengan melaporkan Riziek oleh Sukmawati. Riziek dilaporkan karena dianggap telah melakukan penistaan terhadap lambang negara, yaitu Pancasila. Barang bukti yang dilaporkan oelh Sukma adalah rekaman video yang katanya baru ditontonnya.
Mungkin Sukma tidak tahu kalau video itu sudah 2 kali beredar. Pertama di tahun 2013 dan beredar lagi di tahun 2014. Kenapa tidak seorang pun yang melaporkan penistaan yang dilakukan oleh Riziek? Pancasila versi Soekarno atau Pancasila-nya Soekarno bukan lambang negara. Pancasila versi Soekarno hanyalah usulan. Dan dalam Pancasila versi Soekarno, memang Ketuhanan ditempatkan pada Sila Kelima, jadi ada di bawah, ada di buntut. Itulah kenapa tidak seorang pun yang melaporkan Riziek atas penodaan terhadap lambang negara.
Tidak hanya itu, dalam tiga hari ini beradar berita tentang masuknya tentara “sipit” di Jakarta. Berita ini disebarkan oleh sejumlah situs, termasuk Portal Piyungan d/h PKSpiyungan. Untuk menguatkan isi beritanya, disertakan juga seorang bermata sipit yang tengah selfi dengan latar belakang seregu tentara yang berada di sekitar truk tentara. Meski dalam foto itu tidak jelas bentuk wajah para tentara. Plat nomor truk pun tidak terlihat. Tetapi, isu kedatangan tentara “sipit” sudah beredar luas. Di mana logika isu tentang masuknya tentara “sipit” di Indonesia? Tidak ada logikanya sama sekali.
Karenanya, provokasi lewat media sosial akan menjadi ancaman, jelang, saat, dan pasca-demo. Tidak menutup kemungkinan foto-foto hoax akan disebarkan untuk memancing situasi rusuh. Jangankan foto, satu kicauan hoax lewat twitter saja bisa memancing kerusuhan.
Kalau Jokowi menerima delegasi GNPF MUI, sebaiknya pertemuan tersebut ditayangkan secara langsung oleh stasiun televisi. Memang ada seribu satu kemungkinan yang terjadi saat pertemuan tersebut. Tetapi, setidaknya dapat membatasi penyebaran informasi hoax. Bagaimana pun waktu selama pertemuan itu berlangsung juga merupakan saat-saat genting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H