Ketimbang ribut-ribut di Facebook, saya tuliskan saja dalam satu artikel lantas ditayangkan pada jam itu juga. Karuan saja, saya kena risik teman-teman pendukung Jokowi. Ada yang bilang saya sok pintar, penghianat, culun, dan masih banyak lagi. Wajar saja kalau banyak teman yang kesal, bagaimana pun juga tulisan itu di-copas oleh pendukung Prabowo-Hatta. Malah, PKSpiyungan.org pun ikut menuliskannya.
Bukannya malah bagus kalau ke-hoax-an itu dibeberkan oleh pendukung Jokowi sendiri. Apalagi, setelah tulisan saya itu tersebar, banyak media, termasuk media arus utama, yang merubah judul dan isi beritanya ada juga yang menghapus. Terus, sorry to say di mana kesalahan yang saya buat?
Soal di risik atau di-bully, sorry to say, buat saya bukan masalah lagi. Memang kadang suka jengkel juga. Tapi, justru dari situ saya jadi merasa seperti selebritis. Kan, banyak seleb yang malah bangga kalau dirisik. Katanya, hater-hater yang membuli itu malah bikin para selebritis kian tersohor. Malah ada seleb yang bilang kalau ulah hater itu sebenarnya wujud dari rasa sayang.
Sejak aktif di Kompasiana pada 2013 (terdaftar sejak 23 Oktober 2009) saya punya banyak hater dari beragam kelompok, mulai kader PKS, kader HTI, pendukung Prabowo-Hatta, malah sekarang bertambah dengan masuknya pendukung Ahok. Jadi, kalau Kompasiana menggelar lomba banyak-banyakan hater, saya yakin bakal menang. Hater Kompasianer lainkan paling banyak lima biji. Malah ada yang tidak punya sama sekali. Jadi, sorry to say kalau di Kompasiana ini cuma saya yang pantas ngaku-ngaku selebritis.
Ada yang tanya, “Kok masih kalem balas komen-komen yang nge-bully?”
Saya jawab singkat-singkat saja, “Yang penting hatinya.”
Bully, kalau kata Barbara Coloroso, “Bullying is not about anger, it is about contempt. It is an excuse to put someonedown so the bully can feel up”. Jadi, bully tidak cuma sebuah agresi. Bully atau risik harus memenuhi unsur-unsur pengulangan, ketidakseimbangan kekuatan (imbalance power), dan timbulnya rasa takut, khawatir, ataupun cemas bagi korbannya,
Poin pertama terpenuhi, karena dilakukan berulang-ulang.. Poin kedua juga terpenuhi karena saya sendirian dan yang merisik jumlahnya lebih banyak. Tapi, poin ketiga tidak terpenuhi karena saya tidak merasa takut, khawatir, dan cemas. Kalau begitu saya belum jadi korban bully. Kan, #YangPentingHatinya.
Itulah alasan pasti kenapa sampai saat ini saya masih tetap eksis di Kompasiana. Kalau dipikir-pikir, saya ini memang bermental selebritis. Mungkin, selevel dengan selebritis papan atas seperti Syarini, Julia Perez alias Jupe, Dewi Persik atau Depe, Nikita Mirzani aka NM, dan tentu saja Ahmad Dani yang sekarang sedang berkampanye untuk pencalonannya sebagai Bupati Bekasi. Mereka itu, biarpun dirisik, tetap saja eksis. Malah sering nongol di acara-acara gosip dari pagi sampai pagi lagi. Dani malah rajin bercicicuit di dahan Twitter.
Kalau membaca tulisan-tulisan teman yang ikut “festifal”8 tahun Kompasiana, rerata isinya tentang tulisan yang berkesan bagi penulisnya. Ada juga yang menuliskan kesannya tentang pertemanan di antara Kompasianer. Sorry to say ... sorry to say ... sorry to say, saya mah beda atuh. Kalau saya mah,momen terbaik ngompasianaitu ya pas dibuli. Karena dari situ saya tahu kalau tulisan saya bukan hanya sekadar dibaca, tapi juga dipahami, dan juga berhasil mengobok-obok emosi pembacanya.
Perkara kena risik itu urusan belakangan. Buat saya, menulis ya menulis saja. Saya tidak mau terkrangkeng dalam situasi dukung-mendukung atau mihak-memihak. Sewaktu Hidayat Nur Wahid dibuli gegara bilang kalau dirinya capres terkuat 2014 versi Pemira (Pemilu Raya), saya bela dengan menulis “Sekalipun Benar, HNW Tetap Dicibir”