Tidak ada alasan bagi pemerintah Jokowi untuk tidak membeberkan dokumen TPF terkait kasus kematian Munir. Celakanya dokumen itu sekarang hilang tidak jelas rimbanya. Tapi, karena sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk membeberkan isi dari dokumen itu, karenanya, mau tidak mau, dokumen TPF yang hilang itu harus dicari dan ditemukan.
Munir meninggal dalam perjalanannya dari Indonesia menuju Belanda pada 7 September 2004 itu pasti. Menurut hasil otopsi Tim Forensik Belanda (NFI), Munir tewas akibat keracunan arsenik. Hasil otopsi NFI inilah yang kemudian dijadikan landasan untuk menyelidiki kematian Munir.
Bagaimana kalau jenazah Munir diotopsi ulang, lalu hasilnya berbada 180 derajat dengan hasil otopsi NFI? Bisa diperkirakan akan banyak yang menuding dokter forensik Indonesia melakukan kebohongan publik. Media pun pastinya akan lebih memihak temuan NFI ketimbang hasil otopsi dokter forensik Indonesia.
Karena mengacu pada temuan NFI yang menyatakan Munir diracun dalam perjalanan dari Indonesia menuju Belanda -sebuah modus pembunuhan yang terbilang sulit- mau tidak mau otak pembunuhan harus diarahkan kepada Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai institusi yang memiliki kemampuan membunuh dengan tingkat kesulitan yang tinggi serta memiliki akses dan aset pada Garuda Indonesia dan Angkasapura sebagai pengelola Bandara Soekarno-Hatta.
Untuk mengarahkan pelaku pembunuhan Munir kepada BIN perlu dibangun sebuah skenario. Harus diciptakan sebuah kondisi agar skenario itu bisa dipercaya. Tetapi, sebagaimana kejahatan yang tidak pernah sempurna, demikian juga dengan skenario BIN sebagai dalang pembunuhan Munir. Setidaknya, banyak kelemahan dari pengkondisian Munir dibunuh oleh BIN.
Apa sih motif BIN dan Deputi V BIN Muchdi PR untuk menghabisi Munir? Mari kita simak berita Tempo.co yang posting pada Kamis, 11 Desember 2014 bisa dibaca serentetan motif pembunuhan Munir.
Katanya, Munir dibunuh karena memegang data penting seputar pelanggaran hak asasi manusia seperti pembantaian di Talang Sari, Lampung, pada 1989, penculikan aktivis 1998, referendum Timor Timur, hingga kampanye hitam pemilihan presiden 2004. Pertanyaannya, apakah hanya Munir yang memegang data penting tersebut. Bukankah dalam aktivitasnya Munir pun bekerja sama dengan banyak aktivis HAM lainnya dan tentunya juga pihak-pihak terkait.
Jadi, kalau pun data itu berbahaya, bukan hanya Munir yang memegangnya. Lantas, kenapa hanya Munir yang dibunuh? Dan, bukankah setelah kematian Munir, data itu tidak ikut terkubur. Soal kepemilikan data ini sudah dibantah oleh Suciwati, istri Munir. Katanya Munir tidak menyimpan dokumen-dokumen penting soal pelanggaran HAM. Lagipula, informasi tentang kasus Talang Sari dan Timtim sudah bukan lagi jadi barang rahasia.
Motif pembunuhan juga dikaitkan dengan pemberantasan terorisme yang pada 2004 menjadi agenda nasional. Indonesia menjadi bagian “War on Terror” yang dicetuskan Amerika Serikat setelah serangan 11 September 2001. Munir kerap mempertanyakan metode Detasemen Antiteror dan BIN menangkap para pelaku teror tanpa mempertimbangkan hak asasi. Motif ini juga sama lemahnya. Karena bukan hanya Munir yang mempertanyakan soal metode Densus 88 dan BIN, malah dalam persoalan ini Munir kalah lantang dari aktivis Islam. Kok, hanya Munir yang dibunuh?
Ada lagi yang mengatakan kalau pembunuhan itu dilakukan BIN karena Munir kerap kali menghalang-halangi operasi intelijen. Pertanyaannya, bagaimana cara Munir menghalangi operasi intelijen? Kalau pun memang benar, pernyataan ini justru menjadi bumerang bagi Munir. BIN adalah institusi yang bertugas menjaga keamanan negara. BIN bukan organisasi kejahatan layaknya mafia. Kalau Munir menghambat operasi BIN, itu sama saja dengan mengancam keamanan negara. Dengan kata lain, Munir adalah pengkhianat negara.
Lantas, apa motif BIN membunuh Munir? Tidak ada motif sama sekali. Munir bukan orang yang dianggap berbahaya, apalagi sampai mengancam BIN. Justru, BIN sangat dirugikan dengan modus pembunuhan Munir ini.
Bagaimana dengan Deputi V Muchdi PR? Menurut Tim JPU yang diketuai Cyrus Sinaga, Munchdi memiliki rasa sakit hati dan ingin membalaskannya dengan menghabisi nyawa Munir (Kompas.com). Munir adalah orang yang mengungkap bahwa pelaku penculikan terhadap para aktivis adalah oknum anggota Kopassus. Sebagaimana yang banyak dipercaya, Muchdi menyimpan dendam karena hasil investigasi Munir membuat dirinya dipecat dari TNI.
Faktanya, pada saat peristiwa penculikan aktivis terjadi, Muchdi masih menjabat sebagai Pangdam Tanjungpura di Kalimantan. Muchdi baru menjabat sebagai Danjen Kopassus pada Maret 1998, menggantikan Prabowo Subianto. Jabatan itu tidak lama dipegang Muchdi. Pada Mei 1998, Muchdi melepas tongkat komando Komandan Kopassus.
Jadi, sulit mengaitkan Muchdi dengan Tim Mawar. Karenanya, Muchdi pun tidak pernah diperiksa soal penculikan aktivis. Dan, Muchdi tidak pernah dipecat dari ketentaraan. Karir Muchdi berlanjut sampai akhirnya dia pensiun. Kalau Muchdi tidak ada kaitannya dengan Tim Mawar, lantas, apa yang membuat Muchdi mendendam kepada Munir sampai ia membunuhnya?
Kengototan skenario “Munis Dibunuh BIN” terbaca jelas dari kesaksian anggota TPF Usman Hamid dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan terdakwa Muchdi PR pada 23 September 2008 (Kompas.com.) Usman menyodorkan dokumen yang didapatkan TPF. Dalam dokumen itu tertulis rencana pembunuhan Munir. Nama Kepala BIN Hendropriyono dan Muchdi disebut dalam dokumen tersebut. Menariknya, dokumen yang disebut oleh Usman tersebut tidak ada nomor, tanggal, dan tandatangannnya. Kok, bisa-bisanya TPF menganggap temuannya itu sebagai dukumen. Padahal ABG alay saja menuliskan tanggal pada buku harian yang dicurhatinya.
Ada lagi informasi yang sangat dipercayai kebenarannya. Informasi itu didapat dari bocoran Wikileaks Kontras.org. Kata Usman, dokumen yang dibocorkan WikiLeaks itu bukan hal baru. Namun, dokumen itu bisa memperkuat hasil temuan TPF yang sempat ditutup-tutupi.
Sebelumnya, The Sydney Morning Herald mengungkapkan bocoran dari WikiLeaks mengenai kawat Kedubes AS di Jakarta yang dikirim ke Departemen Luar Negeri AS. Dalam laporan itu disebutkan bahwa diplomat AS percaya bahwa BIN menyiapkan banyak skenario untuk membunuh Munir. Disebutkan, diplomat AS di Jakarta itu mendapatkan informasi dari sejumlah pejabat tinggi Polri. Menurut informasi yang dikirim lewat kawat tersebut, BIN memiliki berbagai skenario pembunuhan, termasuk menggunakan penembak jitu, peledakan mobil, bahkan ilmu hitam.
Usman yang juga anggota TPF Munir itu sepertinya menutup mata atau tidak tahu kalau kawat yang dikirim oleh Kedubes AS di Jakarta itu hanya informasi yang didapat dari obrolan “warung kopi”. Jadi, masih bersifat rumor, bahkan gosip yang belum diklarifikasi kebenarannya.
Menariknya, dari skenario-skenario BIN untuk membunuh Munir terkesan disusun oleh penulis skenario sinetron. Apa perlu membunuh Munir dengan menugasi penembak jitu atau dengan meledakan mobil? Dan, sejak kapan BIN menggunakan jasa dukun santet untuk menghabisi targetnya?
Bukankah membunuh Munir bisa dilakukan dengan cara yang sangat sesederhana mungkin, contohnya dengan modus perampokan yang bisa dilakukan oleh banyak orang ketimbang meledakkan mobil atau mengirim penembak jitu. Perampokan bisa dilakukan oleh siapa saja dan korbannya pun bisa siapa saja. Kalau dengan menembak atau meledakkan mobil pasti harus melibatkan orang dengan kemampuan khusus yang jumlahnya sangat terbatas.
Dari dipercayainya bocoran Wikileaks dan dokumen abal-abal itu, publik sudah bisa mengukur kualitas TPF dan dokumen yang dihasilkannya. Bayangkan, bagaimana kalau rencana penyantetan Munir itu berhasil. Apakah TPF merekomendasikan kepada polisi untuk segera menahan jin Ifrit?
Sebenarnya, selain tingkat kesulitannya yang tinggi, kejanggalan dari kematian Munir ada pada kekolosalannya. Pembunuhan ini melibatkan banyak orang dari banyak tingkatan, baik itu anggota BIN maupun pegawai Garuda Indonesia. Padahal, cukup dengan membentuk satu regu yang berjumlah paling banyak 5 personel, pembunuhan Munir sudah bisa dilaksanakan.
Uniknya, kapan dan di mana Munir diracun berubah-ubah. Awalnya, jaksa mengungkapkan Pollycarpus meracun Munir dengan menaburkan arsenik ke dalam jus jeruk saat dalam perjalanan Jakarta-Singapura. Kemudian berubah. Kata hakim, bukan jus jeruk, tapi mie goreng.
Tapi, karena menurut hitungan Mun’im Idris, racun arsenik terasa setelah 30 menit masuk ke tubuh dan sesuai pengakuan pramugari Garuda, Munir mengeluh sakit perut dan meminta obat maag pada saat pesawat akan terbang menuju Belanda. Maka lokasi dan waktu dirubah. Munir tidak lagi diracun dalam perjalanan Soeta-Changi, tetapi saat transit di Changi. Menurut kesaksian, Munir duduk-duduk bersama Ongen Latuihamalo dan Pollycarpus di Caffee Bean, Kesaksian lain mengatakan kalau ketiganya hanya ngobrol sambil berdiri di boks telepon yang dekat dengan Caffee Bean.
Menariknya, apakah pembunuhan itu dilakukan saat Munir dalam penerbangan Soeta-Changi atau saat transit di Changi, pembunuhnya tetap sama: Pollycarpus. Dan, apakah pembunuhan itu dilakukan dengan menaburkan arsenik ke dalam jus jeruk, mie goreng, atau pun makanan/minuman yang dibeli di Caffee Bean, pembunuhnya tetap sama: Pollycarpus. Jadi, dalam kasus kematian Munir, Pollycarpus layak dijuluki Pembunuh “Teh Botol Sosro”
Sosok Pollycarpus yang sudah digambarkan sedemikian rupa sehingga publik mempercayai kalau ia adalah agen BIN memang tidak boleh digantikan dalam skenario “Munir Dibunuh BIN”. Jadi mau bagaimana, di mana, dan kapan pembunuhan itu terjadi, pelakunya harus Pollycarpus. Ini adalah konsekuensi dari pembunuhan Munir yang dilakukan dengan tingkat kesulitan tinggi. Sebab kalau nama Pollycarpus dicoret, Kepolisian dan juga TPF harus mencari sosok lain yang bersentuhan dengan BIN.
Semoga saja dalam waktu dekat ini pemerintah Jokowi bisa menemukan dokumen TPF yang hilang atau dihilangkan. Sebab dari dokumen itu, publik bisa mencermati kekuatan dan kelemahan dari skenario “Munir Dibunuh oleh BIN. Boleh saja para pegiat HAM mengatakan penghilangan dokumen itu untuk menghalangi proses penyelidikan.
Tetapi, bisa juga penghilangan itu bertujuan untuk melindungi skenario “Munir Dibunuh BIN” agar tidak dirontokkan oleh masyarakat yang semakin kritis. Pertanyaannya sederhana, apa jadinya kalau skenario “Munir Dibunuh oleh BIN” itu rontok?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H