Saat meninjau proyek LTR dan MTR pada 30 September 2016 lalu, Jokowi mengajak jalan Ahok. Hanya Jokowi dan Ahok. Keduanya jalan berduaan setelah sebelumnya Rini Soemarmo memisahkan diri. Banyak yang bilang kalau Jokowi sedang menunjukkan dukungannya kepada Ahok. Dan, nyaris tidak seorang pun yang menyangkalnya. Adakah kacamata lain untuk menangkap pemandangan berbeda dari komunikasi jalan berduaan ala Jokowi itu?
Jawabannya pastilah ada. Sebelumnya, beredar rumor tentang kedatangan Mesesneg Pratikno ke Hambalang untuk menemui Prabowo Subianto sebelum pencalonan Anies Baswedan. Konon, menurut sejumlah media, kedatangan Pratikno itu untuk menghalangi pencalonan Anies yang saat itu mulai santer akan diusung oleh Gerindra-PKS.
Karuan saja istana langsung bereaksi atas pemberitaan tersebut. Lewat Staf Khusus Presiden Johan Budi, istana membantah keras. Katanya, pemerintah tidak menghalang-halangi pencalonan Anies. Johan pun menegaskan sikap netral pemerintah dalam pilkada.
Selang sehari kemudian, Waketum Gerindra Arief Puyuono membenarkan adanya pertemuan antara Pratikno dengan Prabowo. Hanya saja, menurut Puyuono, Pratino justru menyampaikan dukungan Jokowi kepada Anies. Kata Puyuono, Jokowi berutang budi kepada Anies yang telah membantunya saat Pilpres 2014 lalu. Selain itu, baik Jokowi dan Anies berasal dari satu almamater yang sama: UGM.
Pernyataan Puyuono ini kemudian dipelintir. Sejumlah media menyebut Jokowi mengutus Pratikno untuk menitipkan Anies lewat Prabowo. Karuan saja, Anies pun mendapat “stempel” baru sebagai “barang titipan”. “Anies Baswedan cagub titipan Jokowi”, begitu kata sejumlah media.
Tak ayal lagi, “stempel” baru yang dicapkan kepada Anies itu pastinya membebani upaya kemenangan cagub yang diajukan oleh Gerindra-PKS ini. Sehari kemudian, lewat menyangkal adanya pertemuan antara Pratikno dengan Prabowo. Katanya, ia tidak melihat kedatangan Pratikno ke Hambalang. Sementara, Anies sendiri mengatakan kalau dirinya tidak tahu soal pertemuan tersebut.
Soal adanya pertemuan Pratikno dan Prabowo sendiri sulit dibuktikan kebearannya. Muzani bilang tidak melihat. Sementara Anies mengaku tidak tahu. Kalau pertemuannya saja sulit dipercaya, apalagi soal usulan Jokowi kepada Prabowo untuk mencalonkan Anies. Demikian juga dengan alasan Jokowi menyodorkan nama Anies kepada Prabowo, tidak mungkin hanya karena hutang budi Jokowi kepada Anies serta adanya ikatan almamater.
Masalahnya, sulit mempercayai bukan berarti tidak mempercayainya sama sekali. Tidak ada asap kalau tidak ada api. Masih ada yang mengganjal. Kenapa Anies yang dipilih Prabowo? Bukankah Anies termasuk pendukung Jokowi yang telah menyakiti hati pendukung Prabowo. Apakah tidak ada figur lainnya yang lebih cocok di mata Prabowo selain Anies? Dan, menariknya lagi, Anies tidak tercantum dalam daftar cagub yang disodorkan kelompok tertentu kepada Gerindra maupun kepada PKS. Lebih menarik lagi, masuknya Anies membuat Sandiaga Uno harus rela di-DKI 2-kan.
Kalau Jokowi punya kepentingan dengan Pilgub DKI, itu sudah pasti. Bagaimanapun Jokowi tahu kalau Gubernur DKI harus bisa seiring sejalan dengannya. Jokowi tidak mau mengulangi silang sengketanya antara Gubernur DKI dengan Presiden RI seperti yang terjadi pada saat ia menjabat sebagai Gubernur DKI.
Jokowi tidak mau seperti SBY yang hanya menaruh “telur di keranjang” Foke. Untuk itu ia harus menempatkan kakinya di semua pasangan cagub-cawagub. Di kubu Cikeas, Jokowi sudah nyaman dengan bergabungnya PKB, PPP, dan PAN. Ketiga parpol itu sudah merapat ke istana. Agus pun bukan sosok yang frontal sebagaimana Yusril Ihza Mahendra atau Rizal Ramli. Karenanya ia harus mendakati satu kubu lainnya: Gerindra-PKS.
Di hari-hari yang menentukan itu, Gerindra-PKS sudah hampir final mengusung Yusril. Saat itu Anies yang diberitakan datang menemui Prabowo pulang dengan wajah kuyu. Pencalonan Yusril pastinya tidak membuat Jokowi merasa nyaman. Yusril dikenal kerap menyerang Jokowi dengan melempar isu-isu yang tidak jelas juntrungannya. Jokowi tidak mau Yusril akan melakukan seperti yang pernah dilakukannya kepada SBY. Untuk itu disodorkanlah nama Anies kepada Prabowo.
Sosok Yusril pastinya tidak bisa dianggap remeh. Yusril mendapat dukungan penuh dari kelompok-kelompok yang pada saat Pilpres 2014 mendukung Prabowo-Hatta. Secara otomatis, “konstituen” Prabowo tersebut akan memberikan suaranya bulat-bulat kepada Yusril. Suara “asal bukan Ahok” akan mengarah seutuhnya kepada Yusril. Kalau menggunakan simulasi raihan angka-angka pada Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014, bisa dipastikan Yusrillah yang akan keluar sebagai pemenang Pilgub DKI 2017.
Karena itulah di last minute itu Pratikno diutus oleh Istana untuk “berkomunikasi” dengan Prabowo. Hasilnya, Prabowo memutuskan mencalonkan Anies. Entah ada deal apa antara Jokowi dan Prabowo.
Dengan munculnya rumor dukungan Jokowi kepada Anies, mau tidak mau merugikan Jokowi sendiri. Setidaknya kalau dukungan itu dikaitkan dengan program tax amnesty, Jokowi harus menunjukkan dukungannya kepada Ahok. Bagaimana pun sosok Ahok menjadi magnet kuat bagi para orang kaya untuk mengalihkan dananya ke Indonesia.
Dan, kalau mengaitkan antara tax amnesty dengan kemenangan Ahok, maka makin terlihat benang merah dari mulai bebasnya Ahok dari kasus Sumber Waras, pencopotan Rizal Ramli yang menghentikan proyek reklamasi, dilanjutkannya lagi proyek reklamasi oleh Luhut Panjaitan yang menggantikan Rizal,
Dan, pada 5 Oktober 2016 nanti genap 6 bulan KPK menyatakan ada tersangka baru dalam kasus reklamasi. Pernyataan itu kembali ditegaskan oleh KPK pada 25 April 2016. Toh, sampai hari ini belum ada tersangka baru yang diumumkan namanya. Malah masa cegah Aguan tidak lagi diperpanjang.
Seperti yang banyak dibertitakan, Ahok dan kolega-koleganya, termasuk Sunny Tanuwidjaja, banyak membantu kesuksesan pragram tax amnesty. Tidak heran kalau Jokowi masih membutuhkan sosok Ahok. Itulah kenapa Jokowi harus bervulgar-vulgar ria berjalan berduaan dengan Ahok. Komunikasi jalan-jalan mesra itu digunakan Jokowi untuk menangkis rumor soal dukungannya kepada Anies. Setidaknya, dengan jalan-jalan mesra itu Jokowi ingin menunjukkan kalau dirinya tetap mendukung Ahok sekalipun untuk itu pemerintah harus mengorbankan netralitasnya.
Apakah Jokowi salah? Tentu tidak. Bagi Jokowi goal-nya jelas: kesuksesan tax amnesty. Kalau pun kesuksesan itu harus ditukargulingkan dengan netralitas istana, kasus Sumber Waras, dan kelanjutan proyek reklamasi, itu hanya strategi. Dan itu semua hanya persoalan politik.
Itulah kacamata lain untuk menangkap arti jalan-jalan mesra Jokowi-Ahok yang sengaja dipertontonkan secara vulgar kepada seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, daru Ujung Kulon sampai Ujung Berung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H