Sosok Yusril pastinya tidak bisa dianggap remeh. Yusril mendapat dukungan penuh dari kelompok-kelompok yang pada saat Pilpres 2014 mendukung Prabowo-Hatta. Secara otomatis, “konstituen” Prabowo tersebut akan memberikan suaranya bulat-bulat kepada Yusril. Suara “asal bukan Ahok” akan mengarah seutuhnya kepada Yusril. Kalau menggunakan simulasi raihan angka-angka pada Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014, bisa dipastikan Yusrillah yang akan keluar sebagai pemenang Pilgub DKI 2017.
Karena itulah di last minute itu Pratikno diutus oleh Istana untuk “berkomunikasi” dengan Prabowo. Hasilnya, Prabowo memutuskan mencalonkan Anies. Entah ada deal apa antara Jokowi dan Prabowo.
Dengan munculnya rumor dukungan Jokowi kepada Anies, mau tidak mau merugikan Jokowi sendiri. Setidaknya kalau dukungan itu dikaitkan dengan program tax amnesty, Jokowi harus menunjukkan dukungannya kepada Ahok. Bagaimana pun sosok Ahok menjadi magnet kuat bagi para orang kaya untuk mengalihkan dananya ke Indonesia.
Dan, kalau mengaitkan antara tax amnesty dengan kemenangan Ahok, maka makin terlihat benang merah dari mulai bebasnya Ahok dari kasus Sumber Waras, pencopotan Rizal Ramli yang menghentikan proyek reklamasi, dilanjutkannya lagi proyek reklamasi oleh Luhut Panjaitan yang menggantikan Rizal,
Dan, pada 5 Oktober 2016 nanti genap 6 bulan KPK menyatakan ada tersangka baru dalam kasus reklamasi. Pernyataan itu kembali ditegaskan oleh KPK pada 25 April 2016. Toh, sampai hari ini belum ada tersangka baru yang diumumkan namanya. Malah masa cegah Aguan tidak lagi diperpanjang.
Seperti yang banyak dibertitakan, Ahok dan kolega-koleganya, termasuk Sunny Tanuwidjaja, banyak membantu kesuksesan pragram tax amnesty. Tidak heran kalau Jokowi masih membutuhkan sosok Ahok. Itulah kenapa Jokowi harus bervulgar-vulgar ria berjalan berduaan dengan Ahok. Komunikasi jalan-jalan mesra itu digunakan Jokowi untuk menangkis rumor soal dukungannya kepada Anies. Setidaknya, dengan jalan-jalan mesra itu Jokowi ingin menunjukkan kalau dirinya tetap mendukung Ahok sekalipun untuk itu pemerintah harus mengorbankan netralitasnya.
Apakah Jokowi salah? Tentu tidak. Bagi Jokowi goal-nya jelas: kesuksesan tax amnesty. Kalau pun kesuksesan itu harus ditukargulingkan dengan netralitas istana, kasus Sumber Waras, dan kelanjutan proyek reklamasi, itu hanya strategi. Dan itu semua hanya persoalan politik.
Itulah kacamata lain untuk menangkap arti jalan-jalan mesra Jokowi-Ahok yang sengaja dipertontonkan secara vulgar kepada seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, daru Ujung Kulon sampai Ujung Berung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H