Terlepas apakah benar Prabowo Subianto tersandera oleh video “Antek Asing” yang disebarluaskan lewat akun-akun medsos milik Sandiaga Uno. Tetapi, ngototnya Prabowo dalam soal pencalonan Sandi patut diacungi jempol.
Dalam video “Antek Asing”, Prabowo menyerukan, “Yang tidak dukung Sandiaga Uno antek asing”. Jelas saja, ucapan Prabowo itu akan memangsa dirinya sendiri kalau Ketua Umum Gerindra itu tidak mencalonkan Sandi. Sialnya lagi, Sandi bukahlah sosok yang pantas untuk diterjunkan dalam kontestasi sekeras Pilgub DKI. Terlalu banyak borok-borok yang melekat pada diri Sandi yang berpotensi membebani kampanye pemenangannya. Beruntung, pada akhirnya Gerindra dan PKS mendapatkan tanda tangan Anies Baswedan yang mau di-DKI 1-kan. Selanjutnya, Sandi hanya di-DKI 2-kan.
Tetapi, sekalipun bukan sosok terbaik, Sandi tetaplah kader Gerindra. Kengototan Prabowo pun bukannya tanpa landasan yang jelas. Sebab dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik disebutkan “...memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia...” Jelas menurut “kodratnya”, salah satu fungsi parpol adalah memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggotanya.
Okelah, sesuai dengan ajaran yang telah disampaikan sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, kepentingan umum atau yang lebih luas harus ditempatkan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Tetapi, sekalipun demikian, tetap saja ada mekanisme yang harus dijalani parpol. Ini tertuang dalam Penjelasan Umum UU No 2/2011. Di situ tertulis, “Membentuk sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi....” Kemudian dilanjutkan dengan, “ ...mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat...”
Bukankah PDIP juga berhasil men-DKI 2-kan kadernya? Benar. Tetapi, bukankah PDIP memiliki 28 biji kursi di DPRD DKI. Dan, karena menurut aturan hanya parpol atau gabungan parpol yang memiliki jumlah minimal 22 kursi yang bisa didaftarkan jagoannya, maka PDIP berhak mencalonkan jagoannya tanpa perlu berkoalisi dengan parpol lainnya. Maka, sangat ironis kalau dengan nilai tawarnya yang tinggi itu, PDIP hanya sanggup mencalonwakilgubernurkan kadernya.
Malah, pencalonan Ahok oleh PDIP ini bisa dibilang tidak menunjukkan karakter banteng yang selama ini melekat pada partai besutan Megawati Soekarnoputri tersebut. Dari sejumlah pilkada yang digelar sebelumnya, PDIP lebih mendahulukan pencalonan kadernya ketimbang non-kader, apalagi kader parpol lain. Tidak hanya itu, PDIP pun dikenal sebagai parpol yang tidak silau oleh status petahana. Apalagi kalau sang petahana hanya memiliki tingkat elektabilitas rendah.
Bukahlah Google. Carilah elektabilitas Rieke Dyah Pitaloka, Ganjar Pranowo, Bambang DH, Effendi Simbolon, dan AAGN Puspayoga sebelum nama kelima kader PDIP itu diumumkan sebagai cagub untuk daerahnya masing-masing. Dari mesin pencari itu diketahui tingkat keterpilihan kelima kader PDIP itu jauh di bawah calon petahana.
Elektabilitas Rieke yang dimajukan untuk Pilgub Jawa Barat 2013 tertinggal jauh di bawah calon petahana Ahmad Heryawan. Demikian juga dengan elektabilitas Bambang pada Pilgub Jawa Timur 2013 dan Effendi untuk Pilgub Sumatera Utara 2013. Elektabilitas kedua jago PDIP itu tidak ada seujung kuku dibanding elektabilitas calon petahana Soekarwo dan Gatot Pujo Nugroho. Bahkan nama Ganjar yang diturunkan untuk melawan calon petahana Bibit Waluyo dalam :Pilgub Jawa Tengah 2013 nyaris tidak terdata oleh sejumlah rilis survei. Toh, meski demikian, PDIP tetap mengusung kadernya sendiri.
Apakah pilihan PDIP kepada Ahok karena faktor kedekatan emosional? Kalau melihat Pilwalkot Bandung 2013, jawabannya, “Tidak”. Kalau soal kedekatan, PDIP cukup dekat dengan Ridwan Kamil alias Emil. Meski Ridwan bukan calon petahana, tetapi pria berkacamata yang aktif bercicicuit lewat akun Twitter-nya itu dekat dengan PDIP. Dus, Emil pun memiliki tingkat elektabilitas di atas kader PDIP Ayi Vivananda. Toh, pada akhirnya PDIP memilih Avi ketimbang Emil.
Jadi jelas, dalam Pilgub DKI 2017 ini mental banteng PDIP sudah luntur. Nyali PDIP terkesan ciut untuk menghadapi Ahok, sang petahana yang memiliki tingkat elektabilitas tertinggi. Akibatnya, saat ini PDIP mau tidak mau harus berhadapan dengan opini “Ahok vs Wong Cilik”. Ironisnya, PDIP yang acap kali mengklaim dirinya sebagai partai wong cilik pada Pilgub DKI 2017 ini menjatuhkan dukungannya pada Ahok yang diopinikan sebagai penguasa yang menindas wong cilik.
Kekeuhnya Prabowo dalam soal pencalonan kadernya ini, terungkap dari hengkangnya Gerindra dari koalisi yang digalang kubu Cikeas. Bagi Prabowo, Sandi harus dicalokan, apakah itu calon DKI 1 atau pun calon DKI 2. Karena sikap kerasnya itu Prabowo kembali bertaruh dengan PKS. Beruntung PKS mau menyepakati nama kader yang disodorkan oleh Prabowo. Kalau saja PKS tidak mau mendukung Sandi, tamat sudahlah perjuangan Prabowo untuk menggolkan kadernya itu.
Entah karena nekad atau dengan pertimbangan masak, pencalonan Sandi oleh Gerindra telah menunjukkan mental Prabowo yang lebih banteng ketimbang Megawati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H