Selama hayat masih dikandung badan, saya belum pernah mendapati masalah serius dengan kesehatan. Selama itu pula tidak ada tuntutan dari kesehatan yang membuat saya pusing tujuh keliling. Tidak pernah sekalipun saya ribut-ribut soal kesehatan. Bisa dibilang, saya lebih akur dengan kesehatan ketimbang pacar yang baru jadian kemarin sore. Jangan heran kalau saya lebih sayang kesehatan ketimbang pacar.
Lha, bagaimana tidak lebih sayang, dari dulu sampai sekarang, gangguan kesehatan hanya itu-itu saja yang paling sering mampir. Paling penyakitnya cuma pilek sampai bersin-bersin, mules sampai mencret-mencret, dan kepala pusing muter-muter gliyengan. Bandingkan dengan pacar. Pacar mintanya macam-macam. Mulai dari minta dianter sampai minta dijemput. Dari minta dibawakan baso sampai minta dikirimi pulsa. Kalau penyakit datang, terus kita diamkan saja, kadang pergi sendiri. Memang kadang penyakit itu seperti demit Jailangkung, datang tidak dijemput, pulang tidak diantar. Tapi, kalau pacar datang, terus kita diamkan, takutnya dia malah pergi dengan lelaki lain. Satu lagi, kalau penyakit datang, bisa dibawa tidur, lha kalau pacar ....
Ketiga penyakit yang sering mampir itu pun tidak banyak rewelnya. Kalau pilek bersin-bersin yang datang, biasanya saya minum teh tubruk panas. Kalau masih saja rewel, baru saya pergi ke warung untuk membeli obat. Kalau mules-mules dan mencret-mencret pun sama, cukup jalan kaki beberapa puluh meter ke warung dan membeli obat mules-mencret yang dijual di sana. Minum obat memang bukan prioritas pertama, tapi ketimbang wara-wiri ke kamar mandi, ya mending ngobat.
Nah, yang sedikit beda kalau kepala gliyenganyang datang. Kalau kepala pusing muter-muter, pertama-tama saya didiamkan saja. Nanti juga pergi sendiri. Ada banyak cara mendiamkan penyakit ini. Kadang dibawa nongkrong. Kadang ditinggal tidur. Atau, main game yang seru-seru.
Kalau belum juga pergi, biasanya minum teh tubruk panas. Tidak jarang, sakit kepala itu hilang dengan makan baso yang padas. Kalau sudah makan baso yang pedas, sakit kepala berangsur hilang. Seolah rasa sakit itu mengalir bersama keringat segede jagung yang merembes keluar lewat pori-pori kepala. Tapi, sehabis makan pedes, besoknya langsung mules-mules. Jadi tetap saja minum obat sakit perut.
Sakit kepala memang lebih resekketimbang dua penyakit yang sering mampir lainnya. Kadang sudah dikasih baso, sakit kepala belum juga mau pergi. Kalau sudah begitu, mau tidak mau, saya minum obat sakit kepala. Tentu saja ditambah obat sakit perut gegara perut mules-mules. Padahal, kalau dihitung, kepala saya ini cuma ada satu. Tapi, kok lebih rewel ketimbang hidung yang punya dua lubang.Aneh juga kan.
Belum lagi nih, di waktu-waktu tertentu semua jurus sudah dicoba, mulai dari didiamkan, makan baso, sampai ngobat, tapi sakit kepala belum juga hilang. Nah, kalau sudah begini langsung saya buka kalender. Cari tanda centang yang menandai terakhir kali saya donor darah. Kalau sudah lebih dari tiga bulan berarti saya kudu donor darah. Dan, kalau sudah donor, sakit kepala yang menghari (bukan menahun) langsung sirna bagai rinduku padamu.
Sampai sekarang saya tidak tahu kok bisa sakit kepala gliyeng-gliyengyang menghari bisa disembuhkan hanya dengan mengeluarkan darah segar. Saya juga lupa kapan pertama kali mengobati sakit kepala dengan cara itu. Seingat saya, sekitar empat atau tiga tahun yang lalu, pas sedang istirahat setelah jalan-jalan untuk menghilangkan sakit kepala, pas ada acara donor darah di salah satu perguruan tinggi di Kota Cireon. Karena sudah beberapa kali donor darah, saya ikut mendonorkan darah saya. Eh, pas bagun tidur sekitar jam sepuluh malam, sakit kepala saya hilang.
Gegara kejadian itu, kalau sakit kepala sudah menghari, saya langsung donor darah.Tentu saja setelah berhenti mengonsumsi obat selama 3 hari. Kadang terpikir juga, saya ini menyumbangkan darah atau malah menyumbangkan penyakit.
Kalau mengobati penyakit yang hinggap tidak membutuhkan banyak uang, begitu juga dengan menikmati kesehatan. Kebetulan saya punya kebiasaan jalan kaki. Kalau sudah jalan kaki, saya bisa menempuh jarak berkilo-kilo meter jauhnya. Modalnya, cuma uang jajan dan ongkos naik angkutan umum untuk pulang. Jadi, tidak banyak mengeluarkan banyak uang.
Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak masih duduk di bangku SMA. Di SMA Negeri 1 Cirebon ada aturan, kalau terlambat lebih dari tiga kali dalam satu bulan, orang tua akan dipanggil. Jadi, ketimbang terlambat lebih dari tiga kali dan nantinya orang tua dipanggil, saya mengambil keputusan untuk bolos sekolah. Dari situ saya baru sadar kalau saya ini sebenarnya decision makeryang hebat.
Berbeda dengan anak-anak lainnya yang memilih bolos dengan nongkrong-nongkrong di mal, saya memilih jalan-jalan menjauhi pusat-pusat keramaian. Itulah kenapa saya belum pernah kena razia Satpol PP. Dari situ saya baru sadar kalau saya ini sebenarnya memiliki kemampuan analisis intelijen yang baik.
Bukan saja jalan-jalan menjauhi keramaian, Setiap kali bolos, saya memilih brangsakan tidak jelas ke kampung-kampung. Kadang, saya naik angkot ke luar kota ke arah Sumber atau Kuningan. Di satu tempat saya turun, lalu dilanjutkan dengan jalan kaki melewati jalanan dan gang-gang desa. Pas, menemukan tempat yang cozy untuk nongkrong-nongkrong, barulah saya berhenti. Biasanya kali dengan bebatuan yang besar-besar atau sawah yang padinya masih menghijau. Gampangnya, kalau nemu yang seger-seger, langsung saja saya nongkorong bangkong di situ.
Barulah kalau sudah melewati tengah hari, saya pulang naik angkot ke rumah. Dan sampai ke rumah tepat waktu. Orang tua saya juga senang kalau melihat saya pulang tepat waktu. Dari situ saya baru sadar kalau sebenarnya saya ini anak yang mampu membahagiakan kedua orang tua. Mungkin sudah waktunya saya banting setir jadi motivator super menggantikan Mario Teguh.
Saya juga masih ingat kalau waktu itu tarif angkat masih Rp 75 untuk pelajar dan Rp 150 untuk umum. Dan, karena di sela-sela aktivitas bolos, kalau mendapati warung, biasanya saya mampir untuk membeli dan menenggak Coca Cola langsung dari botolnya. saya juga masih ingat kalau harga sebotol Coca Cola ukuran kecil saat itu Rp 150. Dan sekarang, setelah tarif angkot untuk umum dipatok Rp 4.000, harga sebotol Coca Cola ukuran kecil juga Rp 4.000. Artinya, harga sebotol Coca Cola dipengaruhi oleh variabel tarif angkot untuk umum. Kalau begitu, setiap tarif angkot naik 1 %, harga Coca Cola pun naik 1 %. Dari sini saya baru sadar kalau saya ini sebenarnya memiliki pengamatan ekonomi yang kelasnya tidak jauh berbeda dengan Faisal Basri, Rizal Ramli, atau Sri Mulyani sekalipun.
Soal jalan kaki ini, sampai sekarang masih saya lakoni. Bedanya kalau dulu saya masih bisa jalan mendaki gunung. Entah itu sampai atau tidak di puncak, yang penting hatinya sudah niat naik gunung. Sayangnya, sudah sekitar lima atau enam tahun yang lalu, saya sudah tidak sanggup lagi naik gunung. Gegaranya, lutut kanan saya sakit kalau dibawa nanjak. Tapi kalau untuk melintasi medan datar atau relatif datar, saya masih belum terlalu reyot untuk menjalaninya.
Terakhir kali jalan jauh pada Desember 2015 lalu.Selepas subuh saya berangkat dari rumah. Niatnya mau ke Linggarjati dan bermalam di sana. Bekal yang saya bawa tidak banyak. Hanya sepotong pakaian dan seperangkat alat mandi lengkap yang dibeli tunai. Selain itu saya membawa uang secukupnya, kartu ATM, dan smartphone yang siap dijual dalam kondisi darurat. Tapi, sebelum sampai di pertigaan Linggarjati, bayangan segarnya kolam renang Cibulan tiba-tiba melintas dalam pikiran. Gegara itu, pertigaan Linggarjati cuma dilirik. Kaki saya turus melangkah menuju Cibulan.
Sesampainya di Cibulan, langsung saja buka baju dan “byur” di kolam yang dingin airnya. Berenang dan menyelam ke sana kemari di antara kumpulan ikan Dewa yang dikeramatkan. Pegal-pegal yang mengelayuti badan seolah hanyut mengalir bersama segarnya air.
Sementara, kebiasaan memandangi persawahan atau perkebunan saat membolos waktu SMA masih juga kebawa-bawa sampai sekarang. Terbukti, saya lebih memilih duduk leyah-leyah di sawah ketimbang nongkrong bangkong di mal. Saking bahagianya kalau melihat sawah, beberapa kali saya turun dari bus hanya untuk menikmati suasana sawah atau kebun teh.
Ada pengalaman menarik di tahun 204. Waktu itu pas lagi leyeh-leyeh di persawahan di daerah Lembang, Bandung, saya melihat tiga bapak tani yang sedang makan siang di pinggir sawah. Kabita juga rasanya melihat mereka dengan lahap menyantap makan siangnya..
“Cep ... cep kadieu,” panggilnya sambil mengacung-acungkan piring yang dipegangnya..
Melihat piring yang diacung-acungkan itu, saya membacanya sebagai Isyarat untukmengajak saya makan bersama. Karuan saja, sambil cengar-cengir saya pun mengampiri ketiganya. Benar saja, belum juga sampai di dekat mereka, saya sudah ditawari makan. Ternyata saya ini pembaca isyarat yang baik.
Begitulah. Kalau bicara soal kesehatan dan kesenangan, bagi saya cuma muter-muter di sekitar wilayah “segar” saja. Kalau ingin sehat, tinggal donor darah segar. Dan untuk menikmati kesehatan pun cukup dengan jalan kaki mencari hawa segar dan memandangi petak-petak sawah dengan pepadiannya yang hijau segar.
Facebook: https://web.facebook.com/ga.swa.3150
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H