Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Senang dan Sehat Itu Cuma Butuh Segar

24 September 2016   09:09 Diperbarui: 25 September 2016   17:15 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbeda dengan anak-anak lainnya yang memilih bolos dengan nongkrong-nongkrong di mal, saya memilih jalan-jalan menjauhi pusat-pusat keramaian. Itulah kenapa saya belum pernah kena razia Satpol PP. Dari situ saya baru sadar kalau saya ini sebenarnya memiliki kemampuan analisis intelijen yang baik. 

Bukan saja jalan-jalan menjauhi keramaian, Setiap kali bolos, saya memilih brangsakan tidak jelas ke kampung-kampung. Kadang, saya naik angkot ke luar kota ke arah Sumber atau Kuningan. Di satu tempat saya turun, lalu dilanjutkan dengan jalan kaki melewati jalanan dan gang-gang desa. Pas, menemukan tempat yang cozy untuk nongkrong-nongkrong, barulah saya berhenti. Biasanya kali dengan bebatuan yang besar-besar atau sawah yang padinya masih menghijau. Gampangnya, kalau nemu yang seger-seger, langsung saja saya nongkorong bangkong di situ.

Barulah kalau sudah melewati tengah hari, saya pulang naik angkot ke rumah. Dan sampai ke rumah tepat waktu. Orang tua saya juga senang kalau melihat saya pulang tepat waktu. Dari situ saya baru sadar kalau sebenarnya saya ini anak yang mampu membahagiakan kedua orang tua. Mungkin sudah waktunya saya banting setir jadi motivator super menggantikan Mario Teguh.

Saya juga masih ingat kalau waktu itu tarif angkat masih Rp 75 untuk pelajar dan Rp 150 untuk umum. Dan, karena di sela-sela aktivitas bolos, kalau mendapati warung, biasanya saya mampir untuk membeli dan menenggak Coca Cola langsung dari botolnya. saya juga masih ingat  kalau harga sebotol Coca Cola ukuran kecil saat itu Rp 150. Dan sekarang, setelah tarif angkot untuk umum dipatok Rp 4.000, harga sebotol Coca Cola ukuran kecil juga Rp 4.000. Artinya, harga sebotol Coca Cola dipengaruhi oleh variabel tarif angkot untuk umum. Kalau begitu, setiap tarif angkot naik 1 %, harga Coca Cola pun naik 1 %. Dari sini saya baru sadar kalau saya ini sebenarnya memiliki pengamatan ekonomi yang kelasnya tidak jauh berbeda dengan Faisal Basri, Rizal Ramli, atau Sri Mulyani sekalipun.

Soal jalan kaki ini, sampai sekarang masih saya lakoni. Bedanya kalau dulu saya masih bisa jalan mendaki gunung. Entah itu sampai atau tidak di puncak, yang penting hatinya sudah niat naik gunung. Sayangnya, sudah sekitar lima atau enam tahun yang lalu, saya sudah tidak sanggup lagi naik gunung. Gegaranya, lutut kanan saya sakit kalau dibawa nanjak. Tapi kalau untuk melintasi medan datar atau relatif datar, saya masih belum terlalu reyot untuk menjalaninya.

Terakhir kali jalan jauh pada Desember 2015 lalu.Selepas subuh saya berangkat dari rumah. Niatnya mau ke Linggarjati dan bermalam di sana. Bekal yang saya bawa tidak banyak. Hanya sepotong pakaian dan seperangkat alat mandi lengkap yang dibeli tunai. Selain itu saya membawa uang secukupnya, kartu ATM, dan smartphone yang siap dijual dalam kondisi darurat. Tapi, sebelum sampai di pertigaan Linggarjati, bayangan segarnya kolam renang Cibulan tiba-tiba melintas dalam pikiran. Gegara itu, pertigaan Linggarjati cuma dilirik. Kaki saya turus melangkah menuju Cibulan.

Sesampainya di Cibulan, langsung saja buka baju dan “byur” di kolam yang dingin airnya. Berenang dan menyelam ke sana kemari di antara kumpulan ikan Dewa yang dikeramatkan. Pegal-pegal yang mengelayuti badan seolah hanyut mengalir bersama segarnya air.

Sementara, kebiasaan memandangi persawahan atau perkebunan saat membolos waktu SMA masih juga kebawa-bawa sampai sekarang. Terbukti, saya lebih memilih duduk leyah-leyah di sawah ketimbang nongkrong bangkong di mal. Saking bahagianya kalau melihat sawah, beberapa kali saya turun dari bus hanya untuk menikmati suasana sawah atau kebun teh.

Ada pengalaman menarik di tahun 204. Waktu itu pas lagi leyeh-leyeh di persawahan di daerah Lembang, Bandung, saya melihat tiga bapak tani yang sedang makan siang di pinggir sawah. Kabita juga rasanya melihat mereka dengan lahap menyantap makan siangnya..

Cep ... cep kadieu,” panggilnya sambil mengacung-acungkan piring yang dipegangnya..

Melihat piring yang diacung-acungkan itu, saya membacanya sebagai Isyarat untukmengajak saya makan bersama. Karuan saja, sambil cengar-cengir saya pun mengampiri ketiganya. Benar saja, belum juga sampai di dekat mereka, saya sudah ditawari makan. Ternyata saya ini pembaca isyarat yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun