Pilgub DKI 2017 bakal game over sebelum hari pencoblosan, kalau yang menjadi lawan Ahok adalah Risma atau Ridwan Kamil. Sayangnya, Risma lebih memilih Surabaya ketimbang Surabaya. Sementara Ridwan sudah diminta Jokowi untuk tidak turun di Jakarta. Tetapi, justru dengan tidak turunnya dua senjata sakti mandraguna itu, Pilgub DKI bakal hidup sampai hari pencoblosan. Malah, besar kemungkinan berlangsung alot sampai dua putaran. Dengan catatan, ada 3 pasangan calon yang tampil.
Sama dengan pilpres, pileg, dalam pilkada pun ketokohan calon akan lebih menentukan ketimbang parpol. Fungsi parpol bisa dikatakan hanya sebagai agen penyalur kandidat atau calon saja. Terbukti dalam sejumlah pilkada banyak parpol yang mengusung calon non kader. Sementara dalam pileg tidak sedikit anggota parpol yang baru kemaren sore daftar bisa ikut nyaleg. Begitu juga dengan pilpres, Jusuf Kalla bisa menduduki posisi wakil presiden meski pencalonannya tidak didukung oleh partainya.
Demikian juga dengan Pilgub DKI 2019. Pemilih PDIP belum tentu memilih Ahok. Pemilih Gerindra pun belum tentu mencoblos gambar pasangan yang diajukan oleh Gerindra. Demikian juga dengan PKS. PKS hanya solid di tingkat kader dan simpatisan. Tetapi, pemilih PKS tidak otomatis bakal memilih pasangan yang didukung oleh PKS.
Meski demikian, ada sesuatu yang menarik dari Pilgub DKI 2017. Pada pilgub yang digelar di ibu kota negara ini terjadi polarisasi yang sulit untuk dicairkan. Bukan polarisasi parpol, tetapi polarisasi Jokowi dan non-Jokowi. Polarisasi ini sudah terbentuk sejak putaran kedua Pilgub DKI 2012. Polarisasi ini kembali mengkristasl pada Pilpres 2014.
Sepertinya, polarisasi ini sengaja diawetkan. Tujuannya sudah pasti, Pemilu 2019. Dan cara pengawetannya pun terbilang sederhana. Misalnya, dengan terus mengopinikan adanya kecurangan dalam Pilpres 2014. Kemudian, di saat-saat tertentu dilontarkan pernyataan kalau Prabowo akan maju untuk Pilpres 2019. Dengan demikian kondisi polarisasi saat Pipres 2014 dapat terus terjaga. Dan, tidak perlu diuraikan lebih jauh lagi kalau situasi Pilpres 2014 berbeda jauh dengan Pilpres 2009 dan Pilpres 2004. Kondisi psikologis gagal move on inilah yang akan terus dipertahankan.
Dengan memolarisasikan Jokowi dan non-Jokowi. Dan Ahok diposisikan sebagai perwujudan Jokowi sedang lawannya adalan non-Jokowi. Maka, hasil Pilgub 2012 dan Pilpres 2014 bisa dijadikan acuannya. Hasil Pilgub DKI 2012 menunjukkan Jokowi-Ahok menang tipis 53,8 % atas Foke yang meraih 48,18 %. Sementara, hasil Pilpres 2014 untuk DKI Jakarta menunjukkan hasil yang hampir sama. Jokowi-JK mendapatkan 53 % suara. Sedangkan Prabowo-Hatta dipilih oleh 47 % warga Jakarta. Perolehan suara yang hampir mirip ini membuktikan kalau polarisasi yang terbangun sejak putaran kedua Pilgub 2012 antara pemilih Jokowi dan non-Jokowi sanggup dipertahankan sampai Pilpres 2014.
Dengan mengacu pada data di atas, Ahok yang digambarkan sebagai wujud Jokowi seharusnya dapat memanangi Pilgub DKI 2017. Tetapi, sayangnya, tidak semua pemilih Jokowi mendukung Ahok. Bahkan, sebagaimana yang diberitakan, kantong-kantong suara Jokowi saat Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014 secara terang-terangan menolak mencalonan Ahok. Mereka menilai karakter kepemimpinan Ahok berbeda jauh, bahkan bertolak belakang dengan Jokowi. Dari sini bisa dibaca, akan ada pergeseran suara besar-besaran dari kutub Jokowi ke kutub lawannya atau “kutub” golput.
Kemungkinan bergesernya suara kutub Jokowi ke “kutub” ketiga alias golput sangat mungkin terjadi kalau lawan Ahok nantinya dinilai memiliki sejumlah masalah. Alasannya, pemilih menganggap baik Ahok dan lawannya podo wae alias sami mawon aka sama saja.
Memang benar, ada pemilih Foke dan Prabowo yang pada Pilgub DKI 2017 nanti akan memilih Ahok-Djarot. Tetapi, jumlahnya pasti tidak akan sebesar pergeseran pemilih Jokowi. Kembali lagi ke data perolehan suara Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014 yang menunjukkan tingkat kesolidan pendukung non-Jokowi.
Di samping itu, ada sejumlah pemilih yang menggunakan rasionalitasnya saat menentukan pilihan. Ketika Jokowi dihadapkan dengan Foke atau Prabowo, mereka menilai Jokowi lebih baik dari keduanya. Kelompok ini pun pasti akan menggunakan nalarnya untuk memilih antara Ahok atau lawannya.
Dengan demikian, untuk memenangkan Pilgub DKI 2017, seruan “Asal Bukan Ahok” tidak bisa dijadikan modal. Kualitas calon lawan tetap harus menjadi pertimbangan utama. Kualitas calon ini pastinya bukan hanya dilihat dari elektabilitasnya. Sebab sebelum pendaftaran ke KPU tingkat elektabilitas tidak bisa dijadikan sebagai patokan. Buktinya dalam sejumlah pilkada, calon yang sebelum pendaftaran hanya memiliki elektabilitas rendah dapat keluar sebagai pemenang. Jokowi dan Ganjar Pranowo, misalnya.