Setelah Poltracking merilis hasil surveinya pada 16 September 2016 lalu, banyak yang berpendapat kalau Sandiaga Uno merupakan figur terkuat untuk mendampingi Tri Rismaharini. Malah, tidak sedikit juga yang mengatakan, kalau Risma tidak dicalonkan dalam kontestasi Pilgub DKI 2017, maka Sandi adalah figur cagub terkuat yang sanggup mengalahkan cagub petahana Ahok. Benarkah survei Poltracking itu “bicara” sebagaimana yang diberitakan oleh sejumlah media dan yang disampaikan oleh para pengamat politik.
Kalah membaca rilis survei yang digelar pada 6-9 September 2016 itu dengan menggunakan kacamata kuda, kesimpulan kalau Sandi merupakan sosok terkuat dalam konstestasi Pilgub DKI 2017 memang tidak bisa dibantahkan. Tetapi, kalau kacamata kuda itu dilepas, maka akan didapat kesimpulan yang sangat jauh berbeda.
Dari survei Poltracking tersebut jelas terbaca kalau pasangan Ahok-Heru (35,6 %) juga mengalami kekalahan kalau berhadapan langsung dengan pasangan Risma-Anies Baswedan (37,9 %). Dari sini jelas, baik dipasangkan dengan Sandi ataupun Anies, Risma tetap mengungguli pasangan Ahok-Heru.
Sementara, jika tidak dipasangkan dengan Risma, dengan siapa pun Sandi dipasangkan, kader Gerindra itu akan mengalami kekalahan melawan Basuki Tjahaja-Djarot atau yang akan populer dengan sebutan pasangan Batjot. Pasangan Sandi-Saefullah dilibas oleh Batjot dengan skor 27,2 %- 41,5 %. Demikian juga kalau Sandi maju mendampingi Yusril Ihza Mahendra. Pasangan Yusril-Sandi hanya mampu mengantongi 28,5 . Sementara lawannya, Batjot 44,6 %. Tetapi, ketika Sandi di-head to head-kan sebagai pendamping Anes, hasilnya pasangan Anies-Sandi mendapat 36,4 %. Kalah tipis dari pasangan Batjot yang meraih elektabilitas 37,9 %.
Dari survei itu jelas, apakah Sandi maju sebagai cagub atau cawagub, kalau lawannya adalah Batjot, tetap ia akan kalah. Elektabilitas Sandi dengan pasangannya pun terpaut jauh dibawah Batjot, kecuali kalau Sandi maju mendampingi Anies.
Elektabilitas Sandi menurut survei tersebut 9,23 %. Angka ini memang berada di posisi ketiga setelah Ahok (40,77 % dan Risma (13,85%). Dan, kalau nama Risma dicoret dari daftar Cagub, elektabilitas Sandi melompat menjadi 15,9 %. Di bawah Sandi, mengekor Anies dengan skor 8,92 %. Sedangkan Yusril dan para cagub lainnya berderet di bawah 5 %. Kalau hanya melihat angka-angka di atas, memang benar Sandi merupakan figur penantang Ahok terkuat. Kekuatan Sandi pun bisa dilihat dari skenario 3 cagub. Ahok (43,59 %), Sandi (21,28 %), Anies (19,64%). Ahok (41,03 %), Risma (25,13 %), Sandi (17,95 %).
Sayag bagi Sandi, membaca survei tidak bisa bisa hanya dengan membaca deretan angka-angka yang tersaji. Karena itu kacamata kuda harus dilepas agar pandangan bisa semakin luas.
Kalau diperhatikan, dari 20 figur cagub, hanya Ahok, Sandi, Yusril, Adhiyaksa Dault, Yusuf Mansur, dan Rizal Ramli yang benar-benar secara terang-terangan dan terbuka menyatakan dirinya akan maju sebagai cagub DKI. Sementara Anies, Lulung Lunggana, dan Boy Sadikin nyaris tidak pernah mengucapkan satu patah kata pun tentang kemauannya untuk nyagub. Sedangkan Risma menempati posisi yang unik. Walikota Surabaya ini belum sekalipun mengungkapkan niatnya untuk maju di DKI, bisa dikatakan nama Risma hanya diseret-seret dalam kontestasi Pilgub DKI 2017 ini.
Dan, dari ke-20 nama, baru Ahok dan Sandi yang telah mengantongi restu dari parpol. Sisanya, belum jelas. Belum satu pun parpol yang mendeklarasikan pencalonan Risma, Anies, Rizal, Boy, Lulung, dan yang lainnya.
Kalau diperhatikan lagi, dari keenam nama yang sudah menyatakan kesediannya untuk maju, hanya Ahok dan Sandi yang selama lebih dari setahun secara terus menerus menyosialisasikan pencagubannya. Adhiyaksa sudah lama tidak terdengar suaranya. Yusyuf hanya sekali nongol setelah itu tidak bersuara lagi. Yusril angin-anginan, kadang muncul kadang tenggelam. Sementara Rizal baru dua bulan ini menyatakan kesiapannya.
Jadi, dari tiga faktor di atas saja sudah bisa menjelaskan kenapa elektabilitas Sandi masuk dalam 3 besar cagub DKI. Pertanyaannya, kalau Anies, Yusril, Boy, Lulung, Yusuf, Rizal, dan yang lainnya memiliki faktor yang sama seperti yang dipunyai oleh Sandi, apakah elektabilitas mereka di bawah Sandi? Anies, misalnya. Kalau Anies sudah menyatakan dirinya siap untuk nyagub. Dan, Anies pun sudah mengantongi dukungan resmi parpol. Lantas, selama lebih dari setahun Anies menyosialisasikan pencagubannya. Apakah elektabilitas Anies hanya di angka 8,92 %.
Anies sudah mengantongi elektabilitas 8,92 %, hanya terpaut 0,31 % di bawah Sandi. Padahal ia belum pernah menyatakan keinginannya untuk nyagub dan belum satu pun parpol yang mendeklarasikan dukungannya, apalagi wara-wiri memasarkan dirinya. Dari perbandingan antara Sandi dan Anis, rilis survei ini sudah membuktikan kalau Sandi bukanlah figur terkuat bagi Ahok. Sandi malah bisa dikatakan sebagai figur terlemah.
Jadi, kalau banyak media, pengamat, dan pendukung Sandi mengatakan survei Poltracking tersebut membuktikan kalau Sandi merupakan figur terkuat untuk menyaingi Ahok, justru salah besar. Survei Poltracking tersebut justru membuktikan sebaliknya.
Ini mirip dengan sambutan media, pengamat, dan pendukung Ahok ketika CSIS merlis surveinya pada Januari 2016 lalu. Ketika itu banyak yang mengatakan Ahok bakal memenangi Pilgub DKI dengan mudah. Padahal, tanpa membuka kacamata kuda alias masih dengan membaca rilis survei yang sama, survei CSIS itu menunjukkan data yang sebaliknya. Dari survei CSIS itu disebutkan elektabilitas Ahok yang paling mengangkasa ketimbang sosok lainnya. Tetapi, dari survei itu juga jelas terbaca kalau tingkat kesukaan Ahok di bawah Risma dan Ridwan Kamil seperti yang ditulis di Siapa Bilang Ahok Bakal Menang Mudah dalam Pilgub DKI 2017 Nanti?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI