Artikel yang ditayangkan di Kompasiana pada 18 Desember 2014 itu kemudian tersebar lewat media sosial. Ada yang men-copas-nya dengan menautkan link. Ada pula yang men-copas-nya tanpa memberikan link. Sejumlah media online pun kemudian menuliskannya. Sebaliknya, ada juga media yang menghapus beritanya, contohnya Republika.co.id yang menghapus respon HNW.
Sekalipun banyak netizen yang menanyakan kebenaran soal foto kontroversial itu, @estiningsihdwi tidak meresponnya. Ia hanya mau menanggapi akun-akun yang mendukungnya, salah satunya @fahiraidris. Barulah pada 18 Desember 2014, pemilik akun @estiningsihdwi membeberkan penjelasannya. Kicaunya, “Foto itu asli, benar adanya yaitu form dan catatan untuk asesor (penilai). Bukan pengumuman. Saya ulangi bukan selebaran atau sejenisnya.”
Oke, foto itu merupakan penampakan form catatan untuk seorang penilai. Tetapi, bagaimana dengan sederet kata-kata konyol yang ada pada form tersebut? Wajarkah? Kemudian, kenapa setiap kata-kata konyol yang ada pada form tersebut dicetak tebal seperti sengaja menarik perhatian? Lantas, soal jerawat, kalau bukan untuk memancing tawa, bukannya cukup ditulis 'tidak berjerawat'. Dan, serentetan kata 'jerawat tidak menetap' pastinya hanya keluar dari pikiran yang diselimuti suasana penuh canda. Apa ada di dunia ini jerawat yang bisa berpindah-pindah tempat?
Selain itu, sekalipun banyak pengguna media sosial yang meminta diunggahkan foto lainnya, tapi baik akun @estiningsihdwi atau pun akun FB Dwi Estiningsih, tidak memenuhi permintaan itu. “Ini satu-satunya foto yang saya tweet. ....” Keengganan @estiningsih untuk mengunggah foto-foto lainnya semakin menguatkan dugaan kalau ia hanya menerima kiriman foto. Dan, foto yang diterimanya pun hanya satu.
Kerancuan lain dari penjelasan @estiningsihdwi adalah bantahannya kalau ia tidak menyasar Rini sebagai Menteri BUMN, tetapi di saat yang hampir bersamaan ia mengatakan rekrutmen pegawai tersebut terjadi pada pemerintahan baru di tahun 2014. Siapa Menteri BUMN di pemerintahan baru pada 2014 selain Rini Sumarno? (Penjelasan belibet @estiningsihdwi soal foto yang diunggahnya bisa dibaca di sini.
Sebagai catatan. Kasus konten parodi yang dipelintir sebagai muatan 'lurus' juga terjadi beberapa hari sebelum @estiningsihdwi mengunggah foto kontroversialnya. Ketika itu situs PKSpiyungan.org menayangkan “Hemat Air, MenPAN Diminta Hanya Perbolehkan PNS Mandi Seminggu Sekali”. Karuan saja, akibat dari tayangan itu, MenPAN-RB Yuddy Chrisnandi di-bully habis-habisan. Aneh bukan, padahal dari judulnya saja sudah terbaca 'diminta', artinya penghematan air yang ujung-ujungnya 'Mandi Seminggu Sekali' itu bukan gagasan Yuddy. Berbeda jauh kalau pada judulnya tertulis 'meminta'. Apapun itu, mandi seminggu sekali bagi masyarakat Indonesia terbilang sangat aneh.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Ternyata PKSpiyungan men-copas artikel tersebut dari Posronda.netyang dikenal sebagai situs satir. Dan sekalipun dalam sejumlah komentar netizen mengingatkan kalau artikel di Posronda.net itu hanyalah satir dan pengelola Posronda.net pun telah mencatumkan disclaimer di bawah artikel tersebut, tetapi pengelola situs PKSpiyungan.org tidak menggubrisnya apalagi sampai menghapus postingannya. (Artikel tentang mandi seminggu sekali bisa dibaca di sini.)
Kasus #ubahtwit dan kasus parodi persyaratan penerimaan calon pegawai BUMN hanyalah dua dari setumpuk kasus yang berpotensi merusak kebhinekaan bangsa Indonesia. Masih berentetan kasus lainnya yang berseliweran di lini masa. Jika diperhatikan, konten dengan muatan kebencian yang berbau SARA ini meningkat tajam sejak memasuki putaran kedua Pilgub DKI 2012. Tren ini terus meningkat saat mendekati masa Pemilu 2014. Tidak berhenti sampai di situ, begitu memasuki tahun 2015 konten berisi penyesatan ini semakin menjamur seiring dengan bertambahnya situs online baru.
Dari kedua contoh di atas, bisa dikatakan kalau bergentayangannya penampakan konten berisi penyesatan informasi di media sosial sudah memakan korban. Dan ini yang paling menarik. Ternyata korban, katakanlah demikian karena kita tidak tahu motif yang sebenarnya, tidak mengenal usia, tingkat pendidikan, dan status sosial. Buktinya, Mahfudz dan HNW. Keduanya berusia matang, sama-sama berpendidikan tinggi, bahkan HNW bergelar Doktor. Baik Mahfudz dan HNW sama-sama menduduki jabatan penting di negara ini. Selain itu, keduanya pun dikenal sebagai petinggi dari Partai Keadilan Sejahtera. Demikian juga dengan pemilik akun Twitter @estiningsihdwi dan akun FB Dwi Estiningsih yang diketahui berlatar pendidikan S2 dan pernah mencalonkan diri sebagai caleg lewat PKS.
Jika tidak dilawan, penyesatan informasi yang disebarluaskan lewat medos itu akan melahirkan Uka-Uka baru yang akan bergentayangan mencari mangsanya. Menariknya, menurut Direktur Penindakan BNPT Petrus Golose, untuk menjaring anak-anak muda, para pelaku terorisme pun memanfaatkan situs-situs porno.
Persoalannya, Bagaimana Cara Membentengi Netizen agar Tidak Menjelma Jadi 'Uka-uka'?