Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kalau Tidak Mau Jadi Uka-Uka, Ikuti Ritual Ini Saat Bermedsos

12 September 2016   23:21 Diperbarui: 17 Januari 2024   18:15 2479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya, caranya sangat mudah. Setidaknya ada tiga lelakon atau ritual yang bisa dilakukan oleh netizen agar tidak menjelma menjadi Uka-Uka.

Pertama, kalau mendapati penampakan informasi yang dirasa miring, jangan malas untuk googling. Cari informasi pembading terkait isu yang dirasa miring tersebut. Cukup dengan mengetikkan sejumlah kata kunci pada kotak pencarian Google, netizen akan mendapatkan sejumlah informasi alternatif sebagai bahan pembanding. Dengan cara itu, netizen bisa mengetahui apakah kebenaran dari informasi yang melintas di lini masanya. Dalam kasus 'menghormati yang tidak berpuasa' misalnya, netizen bisa meng-googling, kemudian mengklik akun Twitter @lukmansaifuddin. Dari akun milik Lukman itu, netizen bisa melihat secara langsung kicauan aslinya.

Kedua, buka mata lebar-lebar. Tidak diperlukan tingkat ketajaman penglihatan tertentu untuk melakukannya. Cukup amati beberapa titik tertentu. Dalam foto 'parodi persyaratan penerimaan calon pegawai BUMN', misalnya, dengan mudah kejanggalan-kejanggalan itu terlihat. Apalagi pada kata-kata konyol pada foto itu terlihat jelas karena dicetak dengan huruf-huruf tebal.

Ketiga, ini cara yang paling mudah. Bertanyalah.

(Sebenarnya masih ada tiga cara lainnya. Hanya saja karena mau tidak mau harus disertai contoh kasus, maka hasilnya akan membuat artikel ini menjadi panjang sepanjang jalan kenangan.)

Tiga cara di atas sudah bisa dikatakan sangat ampuh untuk membentengi diri sendiri dari penampakan informasi sesat. Tetapi, tidak cukup untuk melindungi netizen lainnya. Satu-satunya “ritual” agar netizen lainnya tidak terpengaruh oleh penyesatan informasi adalah dengan mengungkapkannya. Tuliskan saja sanggahan atas penyesatan informasi itu lewat akun-akun media sosial atau menuliskannya di Kompasiana.

Ini Tumpukan Bukti kalau Penyesatan Informasi itu bukan Didasari oleh Faktor Agama, tapi Politik
Selain itu, melawan penyesatan informasi yang berpotensi mengakibatkan benturan antar pemeluk agama tidak cukup hanya dengan melakoni ritual-ritual di atas. Netizen pun harus meyakini kalau penyesatan informasi yang beraroma menyebar kebencian itu bukan dilandasi oleh faktor agama, tetapi politik atau faktor lainnya.Ada sejumlah bukti kalauujaran kebencian itu tidak terkait dengan faktor agama?

Pertama, peningkatan penyebarannya meningkat tajam saat memasuki momen-momen politik, seperti putaran kedua Pilgub DKI 2012, Pemilu 2014, dan Pilgub DKI 2017. Ambil contoh putaran kedua Pilgub DKI 2012. Pada putaran pertama belum ada ujaran kebencian yang digelontorkan kepada pasangan Jokowi-Ahok. Serangan berbau SARA yang dilancarkan kepada pasangan yang diusung oleh PDIP dan Gerindra itu baru terjadi setelah putaran kedua. Dan, sudah menjadi rahasia umum kalau ujaran kebencian bermuatan SARA pada waktu itu banyak dilontarkan oleh akun-akun yang diduga sebagai kader dan simpatisan PKS.

Kalau ditelusuri lebih jauh, ternyata serangan berbau SARA yang banyak dilancarkan oleh akun-akun yang diduga sebagai kader dan simpatisan PKS itu terjadi setalah serangkaian pertemuan antara Jokowi dan HNW tidak menghasilkan kesepakatan. Menurut Tempo.cogagalnya kesepakatan tersebut dikarenakan mahar senilai Rp 50 milyar yang dimintakan HNW ditolak oleh Jokowi.

Seandainya keduanya mencapai kesepakatan alias mahar yang dimintakan HNW dibayarkan oleh Jokowi, apakah pada putaran kedua Pilgub DKI 2012 disemarakkan oleh ujaran-ujaran yang berbau SARA? Dari sini jelas, ujaran kebencian bukan hanya karena kepentingan politik, tapi juga uang, “It’s all about the money”. Selain itu, jumlah situs-situs penyebar propaganda terorisme yang juga berisikan konten-konten kebencian atas SARA pun meroket pada 2014. Tidak tanggung-tanggung jumlah situs-situs tersebut melonjak hampir hampir 400 % atau empat kali lipat dari tahun sebelumnya.

Kedua, pelaku-pelaku penyebar konten bermuatan bermuatan pun umumnya berlatar belakang dunia politik. Sasarannya pun tokoh-tokoh politik yang berseberangan posisi, seperti Lukman, Rini, Yuddy, dan pastinya Jokowi. Timbul pertanyaan, kalau penyesatan informasi itu didasari oleh faktor agama, kenapa sasarannya bukan tokoh-tokoh penganut agama lain? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun