Menariknya, dalam aksnya, militer Turki menggunakan jet tempur. Untuk apa jet-jet tempur tersebut? Apa yang mau ditembaki oleh pesawat-pesawat tersebut? Pendukung Erdogan? Mungkin baru kali ini ada tentara yang menggunakan jet tempur dalam melancarkan aksi kudetanya. Biasanya, tentara hanya menggunakan kekuatan daratnya saja. Sementara untuk mengawasi situasi bukan jet tempur yang digunakan, tetapi helikopter. Jadi, berseliwerannya jet-jet tempur tersebut tidak jelas manfaatnya.
Satu lagi yang patut diperhatikan. Militer Turki tidak melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh penting. Dalam peristiwa kudeta yang terjadi minggu lalu, tokoh-tokoh Turki, khususnya dari partai AKP yang sedang berkuasa bisa berkomunikasi satu sama lainnya. Bahkan tokoh-tokoh itu, termasuk Presiden Erdogan tanpa halangan mampu memobilisasi massa. Bagaimana mau mengambil alih kekuasaan kalau para pejabat-pejabat top dibiarkan mengendalikan situasi?
Maka wajar saja kalau banyak yang menganggap kudeta di Turki cuma sekedar sandiwara rekaan Erdogan saja. Bukan saja karena kudeta itu gagal, tapi juga karena banyaknya kejanggalan. Menariknya lagi, kejanggalan itu terkesan disengaja.
Pertanyaannya, apakah mungkin aksi kudeta itu hanya sandiwara belaka?
Sejak insiden ditembak jatuhnya pesawat pembom milik Rusia oleh jet tempur milik Turki, posisi Presiden Erdogan memang semakin tersudut. Pasalnya, pihak intelijen Rusia membeberkan bukti-bukti adanya kerja sama antara Turki dengan ISIS. Â Salah satu di antaranya adalah keterlibatan putra Erdogan dalam bisnis minyak ilegal yang dicuri ISIS dari ladang-ladang minyak di Suriah. Tidak hanya Rusia, kubu oposisi di Turki pun mulai mengungkap sejumlah bukti adanya hubungan antara pemerintah Erdogan dengan ISIS.
Dalam konflik di Suriah, peran Turki mendapat dukungan penuh dari militer Turki. Dalam konflik yang sudah berlangsung sejak 2011 itu, Turki memanfaatkannya untuk menyerang suku Kurdi. Sementara, bersama NATO di mana Turki menjadi anggotanya, Turki turut menekan Presiden Suriah Basyar al Asad untuk turun dari jabatannya. Di sinilah terlihat adanya kesamaan kepentingan antara NATO, termasuk Turki, ISIS, dan pasukan pemberontak Suriah (FSA).
Di sisi lain, citra Erdogan semakin merosot setelah sejumlah media Turki acap kali menggambarkan Erdogan sebagai pemimpin tangan besi, otoriter, diktator, dan lain sebagainya. Karena memberitakan buruk tentang Erdogan, banyak media yang dibredel oleh pemerintah. Sementara, tidak sedikit rakyat Turki yang dipenjarakan hanya karena hal-hal sepele, seperti melambaikan tangan kepada Erdogan.
Sederhananya, posisi Erdogan tengah terjepit oleh kubu oposisi, media, Rusia, dan Suriah, tetapi bukan oleh rakyat Turki. Namun demikian, sampai kudeta itu dilancarkan belum terlihat adanya tanda-tanda gerakan rakyat Turki yang menuntut Erdogan untuk mengundurkan diri. Situasi Turki masih stabil, militer masih terlihat kompak dengan pemerintahnya.
Tetapi, situasi yang tengah dihadapi oleh Erdogan dan pemerintahannya ini akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan kekuasaan partainya. Selanjutnya, hal ini akan mempengaruhi peran Turki dalam kampanye penggulingan rezim penguasa Suriah. Padahal konflik Suriah yang semakin rumit itu diperkirakan akan berlangsung lebih lama.lagi.
Karena itu, Erdogan membutuhkan sebuah momentum untuk memutarbalikkan situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi dirinya, keluarganya, partainya, dan juga kampanye NATO di Suriah.
Pertanyaannya, apakah sandiwara kudeta yang diperagakan oleh militer Turki itu  menjadi pilihan Erdogan untuk menyelamatkan dirinya? Jawabannya, tidak. Erdogan tidak membutuhkan sandiwara kudeta untuk menguatkan kembali posisinya. Erdogan dengan tangan besinya bisa memenjarakan siapa saja rakyatnya yang dianggapnya berbahaya. Bahkan Erdogan mampu memenjarakan seorang guru hanya karena menganggap lambaian tangan guru tersebut menghina dirinya. Maka, tanpa perlu adanya kudeta pun Erdogan bisa menangkapi lawan-lawan politiknya, baik sipil maupun militer.