Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"People Power" untuk Gulingkan Jokowi, Memangnya Bisa?

16 Juni 2016   23:02 Diperbarui: 17 Juni 2016   14:26 11423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo usai mengungkapkan kemarahannya saat menjawab pertanyaan wartawan terkait pencatutan nama Presiden dalam permintaan saham Freeport di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/12/2015). Presiden menilai bahwa tindakan itu melanggar kepatutan, kepantasan, moralitas dan wibawa negara. (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)

Apalagi sekarang ini masyarakat sudah muak melihat aksi-aksi unjuk rasa. Demonstrasi 20 Mei 2016 nyaris tidak terdengar bunyinya. Demikian juga yang terjadi setahun sebelumnya, di sekitar Istana dan Monas terlihat lebih banyak aparat kepolisian ketimbang pengunjuk rasa. Sejumlah aparat kedapatan sedang duduk-duduk di pekarangan Monas. 

Hanya sedikit yang terlihat berada di sekitar lokasi unjuk rasa. (saya melihat sendiri karena kebetulan sehari sebelumnya saya diundang makan siang di istana). Padahal, sebelum aksi 20 Mei 2015, beragam isu diembuskan, mulai dari beras plastik impor asal China, masuknya 10 juta tenaga kerja asal China, dll.

Kalau people power tidak akan terjadi karena dipicu kasus kasus SW. Maka, kudeta militer pun demikian. Sama seperti people power, kudeta militer membutuhkan pemicunya. Militer tidak akan tergerak untuk melancarkan aksi kudeta atas kasus yang tidak menarik bagi sebagaian besar rakyat. Militer baru bergerak kalau terjadi situasi krisis yang luar biasa di mana pemerintah pusat dinilai gagal mengatasinya.

Dalam situasi krisis yang luar biasa sekali pun, militer tidak bisa sembarangan melancarkan aksi kudeta. Aksi kudeta membutuhkan soliditas. Tanpa soliditas, kudeta akan dilawan dan ditumbangkan oleh kudeta lainnya. Beberapa negara mengalami hal ini. TNI pun pastinya akan berhitung secara matang setiap sikap yang diambilnya atas situasi dan kondisi.

Tetapi, bagaimana pun itu pemerintah Jokowi harus tetap mewaspadai seruan people power yang mencoba masuk lewat kasus SW. Memang, kasus SW tidak mampu menjadi pemicunya, tetapi bisa saja kasus ini menjadi awal dari gerakan membuka mata rakyat atas adanya ketidakadilan.

Jokowi sebenarnya tidak ada kaitannya dalam kasus SW. Namanya hanya diseret-seret oleh lawan politik Ahok. Sialnya, para pendukung Jokowi yang juga pendukung Ahok mengopinikan seolah Jokowi dan Ahok adalah dwi-tunggal. Bahkan ada menyuarakan dukungan Jokowi RI 1- Ahok RI 2 untuk Pilpres 2019. Terlebih, setelah Ahok mengaku sebagai orang dekat Jokowi. 

Gegara stempel dekat dengan Ahok, nama Jokowi selalu diseret di setiap masalah yang ditimbulkan oleh Ahok. Contohnya, saat penggusuran Luar Batang. Dalam peristiwa itu, Jokowi dianggap melakukan pembiaran. Jelas saja, anggapan kalau Jokowi dan Ahok adalah dwi-tunggal sangat merugikan bagi Jokowi. 

Sebenarnya, kalau tujuannya untuk melawan pemerintah Jokowi yang dianggap sebagai bagian dari ketidakadilan, para pendukung gerakan people power itu bisa melakukannya dengan menyerukan untuk tidak memilih Ahok pada Pilgub DKI 2017. Kekalahan Ahok pada pemilu secara langsung akan dianggap sebagai kekalahan Jokowi yang dianggap sebagai dwi-tunggalnya. Dan, hal ini tentu akan meringankan jalan untuk mengalahkan Jokowi dalam Pilpres 2019. Tiga tahun adalah waktu yang singkat dibanding dengan risiko yang ditimbulkan kalau people power berhasil digerakkan.

Mengajak warga Jakarta untuk tidak memilih Ahok adalah salah satu cara yang paling efektif adalah dengan melancarkan propaganda lewat media sosial. Ingat, menurut penelitian, 70% lebih penduduk Jakarta menggunakan internet. Sekalipun saat ini pendukung Ahok dan bon-Ahok sudah stagnan. 

Tetapi, ada sekian persen calon pemilih yang belum menentukan pilihannya. Dan di antara mereka yang belum menentukan pilihannya tersebut adalah pengguna internet. Dan jumlah mereka ini sangat besar, menurut berbagai survei, angkanya bisa mencapai 40%. Dan, kasus SW yang menimbulkan kontroversi ini menjadi amunisi untuk melawan Ahok. Kasus ini bisa diopinikan sebagai bentuk dari praktek ketidakadilan.

Setelah Gerindra mengatakan Prabowo akan kembali nyapres, menurut pengamatan, pendukung Prabowo kembali aktif di grup-grup Facebook. Mereka terlihat sangat antusias. Dan, begitu mendengar pernyataan KPK soal kasus SW, mereka melampiaskan kemarahannya ke dalam grup-grup tersebut. Semangat para pendukung Prabowo ini bisa dimanfaatkan untuk melancarkan perang propaganda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun