Sore hari tanggal 11 Maret 2013 Prabowo Subianto menyambangi SBY di Istana. Pada pertemuan yang berlangsung mulai pukul 15.30 hingga 17.15 WIB tersebut Prabowo didampingi Gerindra, Fadli Zon. Sementara SBY disertai oleh Sudi Silalahi dan Dipo Alam.
Kata Fadli, dalam pertemuan itu dibahas sejumlah isu strategis, seperti hubungan internasional, ekonomi, pertanian, perdagangan, investasi, pariwisata, birokrasi, energi dan politik.
Tetapi, seusai pertemuan Prabowo dan SBY meninggilkan peserta pertemuan lainnya. Keduanya berbicara empat mata selama 20 menit. Sampai saat ini belum terungkap apa isi pembicaraan rahasia antara keduanya.
Keesokan harinya, 12 Maret 2013, 7 Jenderal datang menemui SBY. Luhut Panjaitan yang hadir dalam pertemuan tersebut mengaku membahas pemilihan 2014, utamanya pemilihan presiden. Luhut datang bersama Subagyo H.S., Fahrul Rozi, Agus Widjojo, Johny Josephus Lumintang, Sumardi, dan Suaedy Marasabessy. Bisa dikatakan kalau para mantan jenderal yang datang pada hari itu merupakan kelompok anti-Prabowo.
Benar saja, sehari kemudian, atau 13 Maret 2013, dalam program “Apa Kabar Indonesia” dengan tegas Luhut mengatakan kriteria calon presiden 2014 adalah tokoh yang tidak memiliki beban masa lalu. Dari pernyataan Luhut yang ditayangkan oleh TV One tersebut jelas kalau ia dan kelompoknya menolak pencapresan Prabowo.
Serententan peristiwa yang terjadi pada pertengahan Maret 2013 itu sudah menggambarkan bakal terjadinya perang sengit antara para mantan jenderal “alumni 98” dal Pilpres 2014. Setahun kemudian Jokowi maju sebagai capres dengan berpasangan dengan Jusuf Kalla sebagai cawapresnya. Sementara Prabowo mencalonkan dirinya sebagai capres berpasangan dengan Cawapres Hatta Rajasa
Ketika itu Wiranto yang dikenal sebagai musuh bebuyutan Prabowo mendukung Jokowi-JK. Wiranto tidak sendiri, serombongan mantan jenderal lainnya berbaris mendukung pasangan Jokowi-JK Luhut, Sutiyoso, Hendropiyono dan sederet nama tenar lainnya berbaris rapat untuk kemenangan Jokowi-JK. Bukan hanya purnawirawan perwira tinggi TNI, sejumlah purnawirawan Pati Polri pun turut mendukung.
Di sisi lain, Prabowo mendapat dukungan dari mantan-mantan jenderal lainnya. Muchdi PR, Kivlan Zein, Johanes Suryo Prabowo, dan masih ada sejumlah 80-an purnawirawan perwira tinggi lainya. Sama seperti Jokowi-JK, Prabowo pun mendapat dukungan dari sejumlah purnawirawan Pati Polri.
Dalam Pilgub DKI 2017 nanti sepertinya perang bintang “alumni 98” atau yang berseteru pada tahun 1998 akan terulang kembali. Kedua kubu akan saling berhadapan lagi di medan tempur yang juga terbilang strategis.
Lewat Gerindra dan koalisinya, Prabowo tengah menyiapkan Sjafrie Sjamsoedding, sahabat dekatnya sejak di Akademi Militer. Saat peristiwa Mei 98 pun Sjafrie yang kala itu memegang tongkat komando Pangdam Jaya dan Prabowo sebagai Pangkostrad kerap nampak berada dalam satu lokasi.
Diajukannya Sjafrie sebaga vagub pastinya melekat nama Prabowo di situ. Inilah yang akan dilawan oleh kelompok mantan jenderal yang berseberangan dengan Prabowo. DPD Hanura DKI telah menyatakan dukungannya kepada Ahok. Sementara Luhut berulang kali memuji-muji Ahok.
Sayangnya, bagi para bintang peseteru Prabowo, Ahok bukanlah sosok yang tepat layak untuk didukung. Ingat, Wiranto mengatakan dukungan Hanura kepada Ahok bukan keinginannya, tetapi DPD Hanura DKI. Bahkan, gegara dukungannya kepada Ahok, DPD Hanura DKI terpecah.
Pencalonan Sjafrie pastinya membuat koalisi antara Gerindra dan PDIP terancam gagal. Gagalnya koalisi ini akan mendorong PDIP mengajukan jagoannya sendiri. Beruntung, PDIP dengan jumlah kursinya di DPRD DKI tidak membutuhkan koalisi dengan parpol lainnya. Dengan demikian PDIP dapat mengajukan calonnya sendiri. Calon dari PDIP inilah yang tengah ditunggu-tunggu oleh para mantan jenderal kelompok Wiranto. Bukan hanya menunggu, para mantan jenderal ini tengah melakukan sejumlah manuver agar PDIP menyetujui usulannya. Inilah salah satu sebab kenapa PDIP belum juga mengambil keputusan.
Gagalnya koalisi antara PDIP dengan Gerindra pastinya tidak diingankan oleh para bintang kelompok Prabowo. Mereka akan berusaha sebisa mungkin agar koalisi dua parpol besar ini berhasil. Kedekatan antara Megawati dan Prabowo, sekalipun sempat merenggang pascapresan Jokowi, akan menjadi nilai jual tersendiri.
Kalau PDIP jadi berkoalisi dengan Gerindra dan siapa pun sebagai cagubnya, maka perang bintang sudah tamat sampai di situ. Begitu juga kalau PDIP berbalik arah menduetkan Ahok-Djarot. Dengan dua skenario ini kubu Prabowo yang keluar sebagai pemenangnya. Tetapi, kalau PDIP maju dengan jagoannya sendiri, maka perang bintang akan terus berlanjut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H