Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kalijodo Paper: 6 Sinyal Kiriman "Sang Brutus"

16 Mei 2016   13:00 Diperbarui: 16 Mei 2016   13:18 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalijodo Paper”, sebut saja demikian. Kalijodo Paper adalah dokumen yang ditemukan oleh penyidik KPK saat menggeledah kantor Dirut Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja pada 1 April 2016. Dokumen itu berupa memo permintaan Ahok kepada APL untuk membiayai penggusuran kawasan Kalijodo di Penjaringan, Jakarta.

Ariesman yang saat ini sudah berstatus tersangka dalam kasus suap raperda reklamasi mengaku perusahaannya telah menggelontorkan Rp 6 milyar atas permintaan Ahok. Katanya, uang itu sebagai tambahan biaya untuk mengerahkan 5.000 personel gabungan dari Satuan Polisi Pamong Praja, kepolisian, dan tentara untuk menggusur wilayah yang bersisian dengan Kanal Banjir Barat.

Yang menarik dari pengakuan Ariesman adalah uang Rp 6 M yang dikeluarkan Podomoro itu akan diganti pemerintah melalui pemotongan kontribusi tambahan pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Jadi, dana Rp 6 M itu bukan sumbangan atau bentu CSR Podomoro seperti yang berusaha diplintir oleh pihak-pihak tertentu. Uang Rp 6 M itu ternyata semacam “uang muka’ dari kotribusi tambahan pengembang proyek reklamasi teluk Jakarta.

Tetapi, “Kalijodo Paper” tidak hanya bicara tentang memo Ahok yang meminta DP Rp 6 M kepada Podomoro. Karena sebenarnya, sinyal yang dikirimkan oleh “Kalijodo Paper” lebih dari sekedar selembar memo yang sekarang sedang ramai diberitakan dan dikomentari oleh sejumlah tokoh dan pengamat.  

Apa saja sinyal-sinyal yang dikirim oleh “Kalijodo Paper”?

Pertama, dipilihnya Tempo sebagai media. “Kalijodo Paper” sudah pasti dibocorkan oleh orang dalam KPK. Pelaku pembocoran pastinya paham benar jika perbuatannya melanggar hukum. Karena itu ia ingin idetitasnya dirahasiakan. Jelas, Tempo dipilih karena ada kepercayaan dari si pembocor.

Tapi, Tempo dipilih bukan sekedar alasan kepercayaan melulu. Tempo dipilih karena sebagai media arus utama Tempo memilik tingkat akurasi berita yang layak dipercaya. Di samping itu Tempo memiliki jumlah pembaca yang cukup besar.

Bukankah Tempo dikenal sebagai media corong kampanye Ahok? Anggapan ini tidak seluruhnya benar. Coba perhatikan berita yang diangkat Tempo soal kasus Sumber Waras pada sekitar awal November sampai awal Desember 2015. Di situ Tempo mengankat berita tentang lobi Setya Novanto untuk menyelamatkan Ahok dari kasus SW.

Kalau pun Tempo memang menjadi corong kampanye Ahok. Justru dipilihnya Tempo memiliki arti strategis tersendiri. Daya getar dari bocornya “Kalijodo Paper” pasti berbeda jika diberitakan oleh media yang dikenal galak kepada Ahok, seperti media milik Ical atau media milik Tanoe.

Lewat Tempo yang dianggap pro-Ahok, “Kalijodo Paper” mengatakakan, apapun orientasi atau keberpihakan politiknya, tetapi kalau menyangkut upaya pemberantasan korupsi, media akan berada di barisan terdepan.

Kedua, “Kalijodo Paper” menggugah KPK untuk lebih berani dalam menuntaskan kasus-kasus yang menyangkut nama Ahok. Dalam kasus-kasus yang menyeret nama Ahok, KPK Jilid IV ini memang terlihat melempem. Misalnya, sejak 5 April 2016 KPK telah mengumumkan akan ada tersangka baru kasus suap raperda reklamasi. KPK kembali menegaskannya pada 25 April 2016. Tetapi sampai sekarang nama tersangka baru itu beum juga diumumkan.

Bukan hanya terlihat tidak berani, dalam kasus yang menyeret nama Ahok, KPK justru menutup informasi. Misalnya, ketika media menanyakan tentang surat permintaan pencegahan ke luar negeri atas Sunny Tanuwidjaja, KPK pada awalnya membantahnya. Tidak jelas untuk alasan apa KPK menutup-nutupi informasi yang bukan bersiat rahasia itu.

Ketiga, “Kalijodo Paper” yang hanya berupa selembar memo ini menjadi bukti adanya hubungan khusus antara Ahok dengan Podomoro. Dan, masyarakat lebih percaya pada bukti, meski bukti itu hanya berupa selembar kertas. Dengan demikian, “Kalijodo Paper” telah menampar pimpinan KPK Jilid IV yang menjadikan niat jahat sebagai dalih tidak ditingkatkannya kasus SW, meski bukti-bukti telah dikumpulkan sejak KPK masih dipimpin Taufiqurahman Ruki.

Pola pikir pimpinan KPK dalam kasus SW berbeda dengan Polri dalam pengusutan kasus “Kopi Sianida”. Dalam kasus “Kopi Sianida”, Polri mencari niat jahat karena kesulitan mengaitkan Jesica dengan kasus kematian Mirna. Dalam kasus itu, polisi hanya mengetahui Jesica berada di TKP pada saat kematian Mirna dan melakukan sesuatu yang mencurigakan sebagaimana yang terekam oleh CCTV. Tetapi, sesuatu yang mencurigakan itu belum tentu kalau Jesica tengah menaburkan sianida ke dalam gelas kopi yang akan dimunim Mirna.

Sementara, dalam kasus SW, BPK yang diminta melakukan audit investigasi oleh KPK menemukan 6 penyimpangan dalam 1 siklus transaksi jual-beli lahan SW. KPK yang saat itu masih dipimpin oleh Ruki pun telah melakukan pulbaket. Setidaknya, KPK pimpinan Ruki telah menemukan indikasi adanya dugaan tipikor dalam kasus SW. Tetapi, meski telah dilengkapi oleh audit BPK dan pemanggilan 50 saksi, KPK pimpinan Agus Rahardjo malah mengatakan belum ada indikasi tipikor. Alasannya karena belum ditemukannya niat jahat. Dan, sepanjang KPK berdiri, baru kali ini KPK mencari niat jahat untuk menilai sebuah kasus.

Keempat, “Kalijodo Paper” memberi sinyal adanya masalah serius dengan KPK Jilid IV. Pembocornya pasti orang dalam KPK yang memiiki akses ke dokumen yang menyangkut kasus suap raperda reklamasi. Dia bisa berasal dari tim penyidik. Bisa juga salah seorang dari pimpinan KPK. Siapa pun pembocornya, “Kalijodo Paper’ telah berhasil mengirimkan sinyal ada ketidakberesan di dalam tubuh KPK Jilid IV.

Ketidakberesan itu bisa berupa ketidakkompakan KPK dalam menangani kasus SW. Rumor tentang adanya silang pendapat di anatara petinggi KPK sempat mencuat pada awal Maret 2016 atau setelah gelar perkara kasus SW. Oleh Ketua KPK, rumor tersebut telah dibantah. Katanya, KPK tetap kompak. Tetapi, dengan beredarnya “Kalijodo Paper” bantahan itu menjadi layak untuk diragukan.

Kelima, “Kalijodo Paper” mengirim sinyal kalau di dalam gedung KPK berdiam seorang Brutus yang belum diketahui identitasnya. Brutus bukanlah seorang pengkhianat, ia membunuh Julius Caesar karena tidak ingin negaranya berantakan karena rajanya terpengaruh terpengaruh oleh bujuk rayu Cleopatra. Dengan demikian, Brutus adalah pengkhianat bagi Caesar. Ia juga pelanggar hukum. Tetapi, Brutus adalah pahlawan bagi Kekaisaran Roma. Demikian juga dengan pembocor “Kalijodo Paper”. Ia adalah pengkhianat bagi KPK, ia juga telah melanggar hukum. Tetapi, ia adalah pahlawan bagi pemberantasan korupsi. Brutus inilah yang akan menjadi mata dan telinga publik sebagai pengawas KPK.   

Keenam, informasi yang diterima oleh Tempo dari sumbernya di KPK termasuk informasi “pojokan” atau bukan informasi penting dalam kasus raperda reklamasi. Sebagai orang yang memiliki akses ke dokumen KPK, si pembocor pastinya bisa memberikan informasi lainnya yang lebih penting. Bisa saja suatu saat nanti akan ada bocoran baru yang lebih menggetarkan lagi. Dan, Tempo pun belum mengunggah foto memo Ahok yang dibocorkan itu. Mungkin Tempo tengah menunggu saat yang tepat untuk mengunggahnya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun