Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kalau Aturan Pencurian Start Kampanye Diberlakukan, Kasihan dengan "Wanita Emas"

21 April 2016   08:47 Diperbarui: 21 April 2016   08:59 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Gegara Ahok gencar meresmikan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di berbagai wilayah, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Muhammad Taufik menuduhnya mencuri start kampanye. Tudingan serupa juga diarahkan kepada Ahmad Dhani ketika menggelar 'Pengajian dan Kasidah Cinta Ahmad Dhani' pada 6 Feruari 2016 di Penjaringan, Jakarta.. Katanya lewat pengajian yang dihadiri oleh warga NU dan PKB tersebut, Dhani mencuri start kampanye, Sebelas-dua belas dengan Ahok dan Dhani, Yusril pun dituduh mencuri start kampanye karena mendatangi sejumlah wilayah dan komunitas di Jakarta.

Pertanyaannya sederhana, memangnya ada aturan tentang pencurian start kampanye? Kalau ada mana pasal-pasal yang mengaturnya?

Jawabannya belum ada. Itulah kenapa pada Februari 2016 lalu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengusulkan ke Komisi I DPR RI untuk merevisi Undang-Undang Pilkada yang bertujuan agar bakal calon kepala daerah dan juga parpol serta calegnya tidak mencuri start kampanye sebelum ditetapkan KPU.

Kalau begitu jelas, segala macam tuduhan adanya pencurian kampanye oleh satu pihak kepada pihak lainnya tidak lebih dari sekedar serangan politik kosong melompong. Dengan demikian tuduhan kepada Muhamad Idrus yang dianggap mencuri start kampanye karena menyosialisasikan dirinya sebagai calon Gubernur DKI Jakarta tidak lebih dari sekedar serangan tanpa dasar.

Ahok, Dhani, Yusril, Idrus, bahkan M Sanusi sekalipun berhak menyosialisasikan dirinya sebagai bakal calon gubernur. Sebagai balon gubernur, mereka tidak mempunyai ikatan hukum apapun dengan aturan-aturan pemilu. Lain hal kalau mereka sudah ditetapkan KPU sebagai calon Gubernur DKI Jakarta.

Karena aturan tentang pencurian start kampanye itu belum ada maka iklan Perindo yang bolak-balik di sejumlah stasiun TV tidak bisa dilarang. Demikian juga dengan billboard bergambar foto Hary Tanoesoedibjo yang bersebaran di sejumlah titik jalan.  

Setahun jelang pemilu, setiap parpol yang lolos verifikasi pemilu gencar mensosialisasi lambang partainya. Sosialisasi ini semakin menggila lagi setelah KPU mengundi nomor urut parpol peserta pemilu. Beragam atribut alat peraga parpol dan caleg bertebaran di sejumlah tempat sejauh mata memandang. Semua alat peraga kampanye itu boleh dipajang di mana saja kecuali di tempat-tempat yang dilarang, seperti tempat ibadah,fasilitas umum, sekolah, dan lainnya. Dan, soal waktu pun hanya dibatasi sampai datangnya masa tenang pemilu atau sekitar 5 hari jelang hari-H pencoblosan.

Nah, sekarang Bawaslu menghendaki adanya aturan yang melarang pencurian start kampanye. Kalau mau dipikir, aturan yang dikenhendaki Bawaslu ini justru berpotensi menimbulkan masalah baru. Masalah itu adalah ketidakadilan bagi peserta pilkada non petahana.

Bagi bakal calon petahana, bahkan setelah ditetapkan sebagai calon oleh KPU, ia bebas menyapa warganya dengan mengunjuinya di berbagai kesempatan. Tentu saja aktifitas itu dilakukan sebagai kepala daerah bukan sebagai calon kepala daerah. Tetapi bagi calon non petahana, baru mendatangi pos ronda tempat pemuda ngumpul saja sudah bisa dianggap sebagai kampanye terselubung.

Sebelum masa kampanye tiba, Ahok bisa meresmikan proyek ini-itu disejumlah daerah dengan dijubeli warga. Dhani bisa menggelar konser-konser musik yang digratiskan, Idrus bisa berceramah di sana-sini dengan dibanjiri ribuan jamaah. Yusril bisa mendatangi seminar-seminar yang dihadiri ratusan orang. Aktifitas-aktifitas tersebut sulit dituding sebagai pencurian start kampanye karena sulit dianggap sebagai kampanye terselubung, Demikian juga dengan “kahadiran” para balon/calon di sejumlah media. Karena itu Panwaslu tidak berwenang menjatuhkan tindakan hukum apapun.

Kalau sebelum tiba masa kampanye Ahok dan nama-nama di atas bisa menyosialisasikan dirinya tanpa bisa dianggap sebagai kampanye, bagaimana dengan balon atau calon yang bukan siapa-siapa? Hasnaeni Moein Si Wanita Emas, misalnya, sudah pasti gerakannya lebih terbatas ketimbang tokoh-tokoh di atas. Baru ikut nimbrung di arisan-arisan warga saja sudah bisa dituduh kampanye terselubung. Di situ letak ketidakadilannya.

Karena ketidakmungkinan dijatuhkannya sanksi dan adanya potensi ketidakadilan, maka revisi UU yang diusulkan oleh Bawaslu itu hanya akan menjadi macan ompong belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun