Lantas di mana lagi ketidaklazimannya (kalau memang mau disebut sebagai ketidaklaziman)?
Ketidaklazimannya ada pada kepemilihan lahan SW itu sendiri. Kenapa harus lahan SW. Kalau memang Ahok menganggap keberadaan rumah sakit kanker sangat dibutuhkan oleh warga DKI, bukankah DKI DKI baru memiliki RSUD Pasar Minggu yang dibangun pada masa Jokowi dan juga baru disahkan oleh Ahok pada Desember 2015 lalu. Selain cukup luas, RS itu pun memiliki fasilitas untuk kanker.
Okelah, katakan Ahok menilai RSUD Pasar Minggu masih kurang memadai dan membutuhkan rumah sakit baru. Tapi, kenapa harus di lahan SW, bukankah Dinkes DKI memiliki lahan di Sunter yang bisa dibangun RS kanker.
Dan, kalau pun pembangunan RS Kanker sangat mendesak, Pemprov DKI baru bisa menggunakan lahan SW pada Mei 2018 atau 3,5 tahun setelah proses pelepasan hak. Sebagai catatan, menurut Direktur Umum Rumah Sakit Sumber Waras Abraham Tedjanegara, perjanjian antara pengelola rumah sakit dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bukan akta jual-beli tetapi pengalihan hak atau pelepasan hak.
Jadi, terlihat jelas ada kengototan Ahok untuk memilih lahan SW. Kengototan Ahok ini lebih dipertegas jika memperhatikan Kepala Dinas Kesehatan DKI (saat itu), Dien Ermawati. Dien mengungkapkan kalau institusinya tidak merekomendasikan pembelian lahan SW. Â
Selain kengototan, Ahok juga terlihat terburu-buru dalam proses pengalihan hak lahan SW. Hal ini terlihat dari dikirimnya email oleh Ahok kepada Kemendagri hanya berselang satu hari setelah RAPBD-P 2014 disahkan pada 13 Agustus 2014.. Isi emailnya berupa keinginan Ahok untuk merubah nomenklatur pembelian lahan SW yang sebelumnya tidak ada pembahasan untuk membeli lahan SW pada APBD Perubahan 2014.
Dengan demikian semakin jelas jika ada kengototan Ahok dalam pengalihan hak atas tanah SW. Kengototan Ahok ini berbuah pada percepatan proses, tetapi, pada akhir proses terdapat perlambatan yang mengakibatkan pembayaran baru dilakukan pada tanggal 31 Desember 2014 pukul 19.00 WIB. Â Apakah perlambatan itu merupakan kesengajaan yang dianggap BPK tidak lazim?
Ini mirip-mirip dengan pem-bailout-an bank Century yang terkesan dipaksakan urgensinya. Sore tanggal 20 November 2008, Jusuf Kalla menerima laporan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, Gubernur BI, Boediono, dan beberapa menteri terkait Bank Century. Semua sepakat dan menjelaskan bahwa tidak ada krisis ekonomi. Namun, beberapa jam kemudian, ternyata Menkeu, Gubernur BI, dan beberapa menteri terkait menggelar rapat di Kementerian Keuangan hingga subuh. Mereka membahas adanya ancaman krisis ekonomi. Selanjutnya diputuskan untuk mem-bailout Bank Century.
Dan, ada lagi yang mirip-mirip skandal bank Century. Kalau dalam skandal bank Century, Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia adalah orang yang paling tahu dan berperan. Sementara dalam transaksi jula beli lahan SW, Heru Budi Hartono sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah DKI adalah salah seorang tahu dan berperan. Itulah kenapa KPK memeriksanya dalam kasus SW sebelum memeriksa Ahok selama 12 jam.. Kalau Boediono kemudian dipilih oleh SBY sebagai cawapres, maka Heru dipilih Ahok sebagai cawagub.
Terakhir, dalam skandal skandal bank Century, KPK belum juga kelar. Padaha; menurut laporan awal audit investigasi BPK atas Bank Century ditemukan banyak kelemahan dan kejanggalan serius dibalik bail out Bank Century yang menelan dana hingga Rp 6,7 triliun. Pertanyaannya, bagaimana dengan skandal Sumber Waras? Apakah KPK juga sama melempemnya?
Tapi, tunggu, siapa sebenarnya pihak ketiga dan apa perannya? Kalau yang ini angkat tangan.