Kemudian soal transaksi yang disebut BPK tidak lazim. Pada hari itu, 31 Desember 2014 ada dua transaksi, Transaksi pertama dilakukan pada pukul 17.06 yaitu sebesar Rp 37.784.477. ke rekening bank DKI. Transaksi ini untuk pembayaran pajak atas pembelian sebagian lahan RS SW. Transaksi kedua dilakukan pukul 19.00 WIB dari rekening Dinas Kesehatan ke Yayasan Rumah Sakit Sumber Waras sebesar Rp 717.905.072. Transaksi kedua ini untuk pembayaran pelepasan hak atas tanah RS Sumber Waras.
Nah, transaksi yang dilakukan pada 31 Desember 2014 pukul 19.00 itu yang dinilai tidak lazim oleh BPK. Menurut BPK, dalam sejarahnya baru kali itu terjadi ada pemda yang mengelontirkan ratusan milyar pada injury time pergantian tahun.
Masalahnya, pembayaran yang dinilai tidak lazim oleh BPK itu bukan berarti melanggar peraturan apalagi terindikasi tindak pidana korupsi. Ini mirip dengan bailout Bank Century yang dilakukan pada dini hari buta di waktu orang-orang sedang enek-enaknya keringkelan di kasur. Karenanya, sekalipun waktunya tidak lazim, tetapi tidak melanggar aturan apapun.
Demikian juga dengan besaran uang pembayaran yang dikatakan tidak lazim. Tidak ada satu pun aturan yang menyebut berapa batasan pembayaran yang boleh dilakukan pada saat injury time pergantian tahun.
Dalam proses auditnya, BPK tidak memilah-milah per case. Jadi tidak hanya masalah perbedaan harganya atau pengadaannya. Semua proses diselidiki mulai dari perencanaan, pembentukan harga, negosiasinya, sampai penyerahan aset dan lokasi. Dari proses penyelidikan itulah BPK menemukan pihak ketga yang terlibat dalam transaksi tersebut. Masalahnya, adanya pihak ketiga dalam sebuah transaksi adalah sebuah kewajaran, setidaknya notaris.
Apakah ada uang yang mengalir ke pihak ketiga? Kalau dari dokumen pembayaran, hanya ada aliran dari Pemprov DKI ke SW. Jelas tidak ada aliran uang ke pihak ketiga. Dan, kalau pun ada aliran dana dari SW ke pihak ketiga tentu saja hal ini bukan tindak pidana pencucian uang (TTPU).
Kenapa demikian? Karena uang yang dibayarkan Pemprov DKI sudah sesuai dengan NJOP. Jadi, tidak ada unsur mark up yang merugikan negara. Dengan demikian berapa pun uang yang dibayarkan ke notaris tidak bisa disebut sebagai TPPU. Sekali lagi, dasarnya adalah pembelian yang sesuai dengan NJOP. Dan kalau pun ada aliran uang ke pihak ketiga dari SW, maka hal itu bukan wewenang BPK, tetapi KPK.
Berikutnya adalah adanya pihak ketiga dalam proses transaksi. Banyak media yang menyebut kalau pihak ketiga yang dimaksud BPK adalah Jan Darmadi. Hal ini didasarkan pada laporan BPK tentang surat yang dikirim oleh Yayasan Sumber Waras ke Pemprov DKI di mana ditandatangani oleh Jan dan Kartini Mulyadi pada 7 Juli 2014. Kalau dilihat dari status Jan sebagai Ketua Umum Yayasan Sumber Waras, maka Jan bukanlah pihak ketiga yang dimaksud oleh BPK.
Tapi, di mana ketidaklazimannya? Sepertinya, ketidaklazimannya ada pada kecepatan proses transaksi yang terkesan diperlambat. Proses penawaran dari Yayasan Kesehatan SW terjadi sejak 7 Juli 2014. Keesokan harinya Ahok langsung merespon penawaran tersebut dengan mengirim disposisi ke Bapeda DKI. Kemudian terjadilah proses ini-itu lainnya. Sampai pada 17 Desember 2014 terjadi pelepasan tanah dari YKSW Â ke Dinas Kesehatan DKI. Nah, pada tanggal 16 Desember 2014, atau sehari sebelum pelepasan tanah, Â Dinas Kesehatan DKI mengirim surat permohonan kepada Dinas Pelayanan Pajak DKI tentang Keterangan NJOP Tanah YKSW. Permohonan tersebut baru dibalas pada 29 Desember 2014. Akibatnya, proses pembayaran baru terjadi pada 31 Desember 2014.
Setelah proses pembayaran, pada 2 Januari 2015 atau hanya berselang 2 hari (1 Januari 2015 hari libur tahun baru) Kepala Dinas Kesehatan DKI diganti dari Dien Ermawati yang menolak merekomendasaikan pembelian lahan SW kepada Kusmedi Priharto yang mengaku tidak tahu menahu soal urusan jual beli tanah SW. Tapi, tentu saja alasan pergantian pucuk pimpinan tersebut bukan ranah BPK untuk menginvestigasi.
Menariknya, dan boleh dicatat, soal waktu pembayaran ini, Ahok mengaku tidak tahu-menahu dan tidak memerintahkan jajarannya untuk membayar lahan pembelian SW pada 31 Desember 2014 pukul 19.00. Ketidaktahuan Ahok (DKI 1) ini mirip-mirip dengan pengakuan SBY (RI 1) dalam bailout Bank Century. Malah Ahok lebih parah lagi sebab sejak awal ia sudah terlibat dalam proses pembelian. Kok, mendadak Ahok mengaku tidak tahu menahu tentang waktu pembayaran dan mengaku tidak memerintahkan jajarannya untuk membayar pada waktu tersebut.