[caption caption="Denah Sumber Waras Sumber arrahmahnews.com/2015/12/08/telak-dokumen-ini-mematahkan-tuduhan-bpk-kepada-ahok-terkait-sumber-waras/"][/caption]
Sebagai bukan siapa-siapa, saya hanya bisa mengikuti kasus Sumber Waras (SS) lewat pemberitaan media. Sayangnya, informasi yang didapat dari media sangat simpang siur. Selain simpang siur, kasus SW ini dipenuh dengan penyesatan informasi, bahkan ada juga yang terkesan sebagai pembodohan.
Contoh paling anyar soal penyesatan informasi adalah soal pembayaran tunai dari Pemprov DKI ke SW. Kata “tunai” kemudian diartikan sebagai pembayaran dengan menggunakan segepok uang. Tentu saja, informasi ini dengan mudah dipatahkan dengan menunjukkan dokumen bukti pembayarannya. Entah disengaja atau tidak, media arus utama pun ikut dalam permainan penyesatan informasi ini.
Masih soal pemberitaan media, sebelumnya hanya pihak Ahok yang mendominasi pemberitaan. Dalam pemeriksaan Ahok oleh KPK, misalnya, sampai sekarang KPK masih bungkam. Ini berbeda dengan Ahok yang kesana kemari memberi kesaksian dengan versinya sendiri..
Baru setelah Ahok dan kawanannya terus menyudutkan BPK, akhirnya dalam beberapa hari ini BPK mulai unjuk suara. Sayangnya, sudah cuma seumprit, informasi dari BPK pun tidak ada yang jos gandos. Mungkin karena BPK terikat pada kode etik untuk tidak mengungkapkan bukti-bukti yang masih dalam proses hukum di KPK.
Menurut media, BPK menyebut pemeriksaan keuangan pengadaan tanah RS Sumber Waras bermula dari temuan transaksi tak lazim atau janggal. Kejanggalan yang dimaksud BPK adalah transaksi transfer tunai sebesar Rp 755,69 miliar oleh Pemprov DKI dilakukan pada tanggal 31 Desember 2014 pukul 19.00 WIB malam. Selain itu, BPK pun menyebut adanya keterlibatan pohak ketiga. Namun, BPK belum mau membeberkan siapa pihak ketiga yang dimaksudnya dan apa perannya.
Soal ketidaklaziman, (SW) memang sudah tidak lazim sejak dari sono-nya. Lihat saja tanah yang digunakan sebagai Rumah Sakit SW itu ternyata memiliki 2 bidang tanah dengan 2 sertifikat, tetapi hanya memiliki 1 pembayaran PBB. Pertanyaannya, setelah salah satu bagian lahan dibeli oleh Pemprov DKI, siapa yang akan menanggung pembayaran PBB-nya?
Kemudian soal tanah yang dibeli Pemprov DKI. Ahok benar. Sesuai dengan sertifikat yang diterbitkan pada 27 Mei 1998 dengan status hak guna bangunan bernomor 2878 alamat lahan tercantum Jalan Kiai Tapa no 1, Kecamatan Grogol Petamburan, Tomang, Jakarta Barat. Tetapi, secara fisik tanah yang dibeli Pemprov DKI berada di Jalan Tomang.
Perbedaan posisi tanah ini tentunya berkaitan dengan penentuan NJOP. Karena posisinya berada di Jl Tomang dan sama sekali tidak bersentuhan dengan Jl Kyai Tapa, pastinya NJOP-nya lebih rendah dari NJOP lahan yang berhadapan langsung dengan Jl Kyai Tapa.
Perbedaan antara lokasi fisik dengan alamat yang tercantum pada sertifikat itulah yang dipersoalkan BPK. BPK mengibaratkan tanah di Kyai Tapa seperti Mercy, sedangkan tanah di Tomang seperti bajaj. Gampangnya, Ahok membeli bajaj bermerek Mercy dengan harga Mercy. Kemungkinan, angka Rp 191 milyar yang disebut BPK merugikan negara didapat dari selisih NJOP antara zona Kyai Tapa dan zona Tomang.
Dan, perlu dicatat, BPK tidak mempersoalkan masalah perubahan NJOP dari Rp 12 juta menjadi Rp 20.7 juta. Karena NJOP memang mengalami kenaikan ratusan persen pada 2014.
Kemudian soal transaksi yang disebut BPK tidak lazim. Pada hari itu, 31 Desember 2014 ada dua transaksi, Transaksi pertama dilakukan pada pukul 17.06 yaitu sebesar Rp 37.784.477. ke rekening bank DKI. Transaksi ini untuk pembayaran pajak atas pembelian sebagian lahan RS SW. Transaksi kedua dilakukan pukul 19.00 WIB dari rekening Dinas Kesehatan ke Yayasan Rumah Sakit Sumber Waras sebesar Rp 717.905.072. Transaksi kedua ini untuk pembayaran pelepasan hak atas tanah RS Sumber Waras.
Nah, transaksi yang dilakukan pada 31 Desember 2014 pukul 19.00 itu yang dinilai tidak lazim oleh BPK. Menurut BPK, dalam sejarahnya baru kali itu terjadi ada pemda yang mengelontirkan ratusan milyar pada injury time pergantian tahun.
Masalahnya, pembayaran yang dinilai tidak lazim oleh BPK itu bukan berarti melanggar peraturan apalagi terindikasi tindak pidana korupsi. Ini mirip dengan bailout Bank Century yang dilakukan pada dini hari buta di waktu orang-orang sedang enek-enaknya keringkelan di kasur. Karenanya, sekalipun waktunya tidak lazim, tetapi tidak melanggar aturan apapun.
Demikian juga dengan besaran uang pembayaran yang dikatakan tidak lazim. Tidak ada satu pun aturan yang menyebut berapa batasan pembayaran yang boleh dilakukan pada saat injury time pergantian tahun.
Dalam proses auditnya, BPK tidak memilah-milah per case. Jadi tidak hanya masalah perbedaan harganya atau pengadaannya. Semua proses diselidiki mulai dari perencanaan, pembentukan harga, negosiasinya, sampai penyerahan aset dan lokasi. Dari proses penyelidikan itulah BPK menemukan pihak ketga yang terlibat dalam transaksi tersebut. Masalahnya, adanya pihak ketiga dalam sebuah transaksi adalah sebuah kewajaran, setidaknya notaris.
Apakah ada uang yang mengalir ke pihak ketiga? Kalau dari dokumen pembayaran, hanya ada aliran dari Pemprov DKI ke SW. Jelas tidak ada aliran uang ke pihak ketiga. Dan, kalau pun ada aliran dana dari SW ke pihak ketiga tentu saja hal ini bukan tindak pidana pencucian uang (TTPU).
Kenapa demikian? Karena uang yang dibayarkan Pemprov DKI sudah sesuai dengan NJOP. Jadi, tidak ada unsur mark up yang merugikan negara. Dengan demikian berapa pun uang yang dibayarkan ke notaris tidak bisa disebut sebagai TPPU. Sekali lagi, dasarnya adalah pembelian yang sesuai dengan NJOP. Dan kalau pun ada aliran uang ke pihak ketiga dari SW, maka hal itu bukan wewenang BPK, tetapi KPK.
Berikutnya adalah adanya pihak ketiga dalam proses transaksi. Banyak media yang menyebut kalau pihak ketiga yang dimaksud BPK adalah Jan Darmadi. Hal ini didasarkan pada laporan BPK tentang surat yang dikirim oleh Yayasan Sumber Waras ke Pemprov DKI di mana ditandatangani oleh Jan dan Kartini Mulyadi pada 7 Juli 2014. Kalau dilihat dari status Jan sebagai Ketua Umum Yayasan Sumber Waras, maka Jan bukanlah pihak ketiga yang dimaksud oleh BPK.
Tapi, di mana ketidaklazimannya? Sepertinya, ketidaklazimannya ada pada kecepatan proses transaksi yang terkesan diperlambat. Proses penawaran dari Yayasan Kesehatan SW terjadi sejak 7 Juli 2014. Keesokan harinya Ahok langsung merespon penawaran tersebut dengan mengirim disposisi ke Bapeda DKI. Kemudian terjadilah proses ini-itu lainnya. Sampai pada 17 Desember 2014 terjadi pelepasan tanah dari YKSW ke Dinas Kesehatan DKI. Nah, pada tanggal 16 Desember 2014, atau sehari sebelum pelepasan tanah, Dinas Kesehatan DKI mengirim surat permohonan kepada Dinas Pelayanan Pajak DKI tentang Keterangan NJOP Tanah YKSW. Permohonan tersebut baru dibalas pada 29 Desember 2014. Akibatnya, proses pembayaran baru terjadi pada 31 Desember 2014.
Setelah proses pembayaran, pada 2 Januari 2015 atau hanya berselang 2 hari (1 Januari 2015 hari libur tahun baru) Kepala Dinas Kesehatan DKI diganti dari Dien Ermawati yang menolak merekomendasaikan pembelian lahan SW kepada Kusmedi Priharto yang mengaku tidak tahu menahu soal urusan jual beli tanah SW. Tapi, tentu saja alasan pergantian pucuk pimpinan tersebut bukan ranah BPK untuk menginvestigasi.
Menariknya, dan boleh dicatat, soal waktu pembayaran ini, Ahok mengaku tidak tahu-menahu dan tidak memerintahkan jajarannya untuk membayar lahan pembelian SW pada 31 Desember 2014 pukul 19.00. Ketidaktahuan Ahok (DKI 1) ini mirip-mirip dengan pengakuan SBY (RI 1) dalam bailout Bank Century. Malah Ahok lebih parah lagi sebab sejak awal ia sudah terlibat dalam proses pembelian. Kok, mendadak Ahok mengaku tidak tahu menahu tentang waktu pembayaran dan mengaku tidak memerintahkan jajarannya untuk membayar pada waktu tersebut.
Lantas di mana lagi ketidaklazimannya (kalau memang mau disebut sebagai ketidaklaziman)?
Ketidaklazimannya ada pada kepemilihan lahan SW itu sendiri. Kenapa harus lahan SW. Kalau memang Ahok menganggap keberadaan rumah sakit kanker sangat dibutuhkan oleh warga DKI, bukankah DKI DKI baru memiliki RSUD Pasar Minggu yang dibangun pada masa Jokowi dan juga baru disahkan oleh Ahok pada Desember 2015 lalu. Selain cukup luas, RS itu pun memiliki fasilitas untuk kanker.
Okelah, katakan Ahok menilai RSUD Pasar Minggu masih kurang memadai dan membutuhkan rumah sakit baru. Tapi, kenapa harus di lahan SW, bukankah Dinkes DKI memiliki lahan di Sunter yang bisa dibangun RS kanker.
Dan, kalau pun pembangunan RS Kanker sangat mendesak, Pemprov DKI baru bisa menggunakan lahan SW pada Mei 2018 atau 3,5 tahun setelah proses pelepasan hak. Sebagai catatan, menurut Direktur Umum Rumah Sakit Sumber Waras Abraham Tedjanegara, perjanjian antara pengelola rumah sakit dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bukan akta jual-beli tetapi pengalihan hak atau pelepasan hak.
Jadi, terlihat jelas ada kengototan Ahok untuk memilih lahan SW. Kengototan Ahok ini lebih dipertegas jika memperhatikan Kepala Dinas Kesehatan DKI (saat itu), Dien Ermawati. Dien mengungkapkan kalau institusinya tidak merekomendasikan pembelian lahan SW.
Selain kengototan, Ahok juga terlihat terburu-buru dalam proses pengalihan hak lahan SW. Hal ini terlihat dari dikirimnya email oleh Ahok kepada Kemendagri hanya berselang satu hari setelah RAPBD-P 2014 disahkan pada 13 Agustus 2014.. Isi emailnya berupa keinginan Ahok untuk merubah nomenklatur pembelian lahan SW yang sebelumnya tidak ada pembahasan untuk membeli lahan SW pada APBD Perubahan 2014.
Dengan demikian semakin jelas jika ada kengototan Ahok dalam pengalihan hak atas tanah SW. Kengototan Ahok ini berbuah pada percepatan proses, tetapi, pada akhir proses terdapat perlambatan yang mengakibatkan pembayaran baru dilakukan pada tanggal 31 Desember 2014 pukul 19.00 WIB. Apakah perlambatan itu merupakan kesengajaan yang dianggap BPK tidak lazim?
Ini mirip-mirip dengan pem-bailout-an bank Century yang terkesan dipaksakan urgensinya. Sore tanggal 20 November 2008, Jusuf Kalla menerima laporan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, Gubernur BI, Boediono, dan beberapa menteri terkait Bank Century. Semua sepakat dan menjelaskan bahwa tidak ada krisis ekonomi. Namun, beberapa jam kemudian, ternyata Menkeu, Gubernur BI, dan beberapa menteri terkait menggelar rapat di Kementerian Keuangan hingga subuh. Mereka membahas adanya ancaman krisis ekonomi. Selanjutnya diputuskan untuk mem-bailout Bank Century.
Dan, ada lagi yang mirip-mirip skandal bank Century. Kalau dalam skandal bank Century, Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia adalah orang yang paling tahu dan berperan. Sementara dalam transaksi jula beli lahan SW, Heru Budi Hartono sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah DKI adalah salah seorang tahu dan berperan. Itulah kenapa KPK memeriksanya dalam kasus SW sebelum memeriksa Ahok selama 12 jam.. Kalau Boediono kemudian dipilih oleh SBY sebagai cawapres, maka Heru dipilih Ahok sebagai cawagub.
Terakhir, dalam skandal skandal bank Century, KPK belum juga kelar. Padaha; menurut laporan awal audit investigasi BPK atas Bank Century ditemukan banyak kelemahan dan kejanggalan serius dibalik bail out Bank Century yang menelan dana hingga Rp 6,7 triliun. Pertanyaannya, bagaimana dengan skandal Sumber Waras? Apakah KPK juga sama melempemnya?
Tapi, tunggu, siapa sebenarnya pihak ketiga dan apa perannya? Kalau yang ini angkat tangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H