Berita tentang perang antara suku Dayak dengan Madura, itu juga bukan SARA. Demikian juga dengan perang antara warga yang beragama Islam dengan warga yang beragama Kristen di Ambon, itu juga bukan SARA.
Penyerangan penganut Ahmadiyah di Cikeusik, Bogor, oleh sekelompok orang yang menyebut dirinya anggota ormas Islam. Itu juga bukan SARA.
Berita tentang sekelompok warga yang melarang pendirian masjid di Bali atau Papua, itu juga bukan SARA.
Media pun sudah cerdas dalam memberitakan peristiwa-peristiwa tersebut. Penyerangan gereja di Singkil, misalnya, media menyebut penyerangannya sebagai “warga” bukan “umat Islam”. Sekalipun dalam aksinya, penyerang meneriakkan “Allahu akbar” yang identik dengan “Islam, tetapi media tidak menyebut agama yang dianut penyerang.
Terus, menurut Aa, kalau yang SARA yang bagaimana? Eh, Memang ada yang tanya begitu ke Aa?
“Ahok menggusur warga pribumi di Kalijodo.” Itu termasuk SARA. Sebab karena ada upaya pembenturan etnis yang satu dengan etnis lainnya. Lagi pula penggusuran Kalijodo bukan dilakukan Ahok sebagai keturunan China, tetapi sebagai Gubernur DKI. Lagi pula yang dimaksud pribumi dan nonpribumi sangat tidak jelas, Lha, orang-orang dari segala penjuru dunia kan sudah berdatangan di Nusantara ini sebelum prasasti-prasasti berbahasa Sangsekerta dengan huruf Pahlawa itu dibuat.
Terus soal :”Saya Muslim, dan saya mendukung Ahok”. Ini bukan SARA. Demikian juga dengan “Saya Kristen, saya tidak mendukung Ahok”.Dua cara kampanye seperti itu kan tidak ada yang terdiskriminasi.
Lalu, bagaimana dengan, “Saya muslim, sesuai ayat di Al Quran, saya dilarang memilih Ahok yang kafir”? Ini juga bukan SARA, karena sesuai dengan pemahaman agama yang dianutnya. Sebaliknya, kalau ada yang bilang “Saya muslim, dan menurut agama yang saya anut, diperbolehkan memilih pemimpin non muslim” ini juga bukan SARA.
Tapi, ada tapinya, apakah situasi memungkinkan untuk kampanye-kampanye seperti itu? Kalau kampanye seperti itu menimbulkan potensi kerawanan keamanan, ya sebaiknya jangan dilakukan. Apalagi jelas sekarang ini ada upaya yang sangat masif untuk mengadu domba sesama anak bangsa.
Jadi, sekali pun itu bukan SARA, tapi karena berpotensi menimbulkan konflik lebih baik ditinggalkan.
Tapi, SARA itu kadang “yang penting hatinya”. Kalau saya bilang, “Koh Ahok, lo gimana sih, ngurus macet aja kagak becus?” Nah, “Koh Ahok” yang saya ucapkan itu maknanya apa? Bisa saja maksudnya, “China”. Kalau maksudnya “China” ya sudah pasti SARA. Kenapa? Ya, masa soal macet dihubung-hubungkan dengan etnis. Kalau yang ini soal hati. Kadang kita tidak bermaksud men-SARA-kan, tapi yang diajak ngomong malah merasa di-SARA-kan.