Syukurlah, tabligh akbar yang rencananya menghadirkan ulama asal Saudi Muhammad al Arifi di Istiqlal pada 17 Januari 2016 kemarin tidak jadi digelar. Tidak jelas, apakah karena dibatalkan atau ditunda. Namun 10 hari sebelumnya terselip kabar lewat Facebook sebuah rekaman video yang berisi pernyataan Khalid Basalamah yang mengaku kalau namanya dicatut dalam acara tersebut.
Arifi memang bukan pendukung ISIS sebagaimana yang dibantah oleh sejumlah pihak. Namun, menurut catatan BNPT, Arifi merupakan pendukung Jabhat al Nusra. Nusra tercatat sebagai organisasi sayap dari ISIS yang telah berbaiat kepada Al Qaeda. Sedang ISIS merupakan anak kandung dari Al Qaeda. Jadi bisa dikatakan Nusra sama berbahayanya dengan Al Qaeda dan ISIS. Tidak heran jika BNTP telah memantau perkembangan rencana tablgh akbar tersebut sejak November 2015.
Tetapi yang perlu dicermati, bagaimana Majelis Az Zikra pimpinan Arifin Ilham berani secara terbuka menghadirkan Arifi yang dikenal sebagai pendukung kelompok teroris. Demikian juga dengan sejumlah situs online dan akun-akun medsos yang secara terang-terangan mengkampanyekan kedatangan Arifi ke Indonesia. Apakah hal ini bisa dipandang sebagai semaikin terbukanya terhadap terorisme?
Pasca teror Sarinah, dukungan terhadap terorisme semakin terbuka. Salah satunya dengan menampik penyebutan ISIS sebagai kelompok teroris. Mereka menyatakan ISIS sebagai pejuang Islam. Tidak lupa mereka pun mengajak umat Islam untuk mendukung perjuangan ISIS. Bentuk dukungan lainnya adalah dengan balik menyerang balik aparat keamanan lewat serangkaian tudingan adanya rekayasa di balik serangan teror Sarinah. Tentu saja perlawanan tersebut dibaca oleh pelaku teror.
Dukungan rakyat yang meningkat ini sesuai dengan yang dibutuhkan oleh Bahrum Naim untuk melancarkan strategi gerilya kotanya. Dengan kekuatan yang dimilikinya saat ini, ISIS tidak mungkin menerapkan perang terbuka seperti di Suriah. Maka perang gerilya merupakan pilihan strategi yang paling tepat. Strategi yang sebenarnya sudah diterapkan oleh kelompok teroris sebelumnya, seperti Noordin M Top.
Dalam perang gerilyanya, ISIS akan melancarkan serangan secara mendadak lalu menghilang di tengah-tengah masyarakat. Kemudian menjalani kehidupan sebagaimana warga biasa sebelum akhirnya kembali melancarkan serangan. Karena strategi gerilyanya tersebut ISIS membutuhkan warga yang mau menampungnya selama dalam persembunyian. Selain itu ISIS juga membutuhkan sokongan dana, kendaraan, safety house, pekerjaan dan lainnya. Dan, pastinya ISIS membutuhkan partisipasi masyarakat untuk mengkampanyekan propagandanya.
Propaganda pendukung ISIS tersebut sudah menyebar lewat media sosial sejak beberapa menit setelah peristiwa teror. Pada menit-menit pertama disebarkan opini tentang serangan teror sebagai upaya pengalihan isu. Opini ini kemudian dikembangkan dengan menunjukkan potongan-potongan peristiwa foto, atau video yang seolah membuktikan bila aksi teror tersebut hanyalah sandiwara.
Salah satu contohnya adalah masalah kostum yang dikenakan anggota kepolisian. Mereka mempertanyakan kostum casual yang dikenakan anggota kepolisian ketika berhadapan dengan teroris. Tidak hanya itu mereka pun membandingkannya dengan 4 anggota Brimob yang berpakaian lengkap saat mendampingi petugas KPK menggeledah ruangan di gedung DPR.
Para pelancar propaganda ini sepertinya sengaja menutup-nutupi fakta tentang adanya beberapa regu kepolisian yang berseragam dan bersenjata lengkap. Mereka seolah tidak mau tahu jika sejak meletusnya bom pertama anggota kepolisian sudah datang secara bergelombang. Dan karena lebih mementingkan keselamatan masyarakat, sudah berang tentu pada anggota kepolisian yang paling awal datang ke TKP belum sempat menggenakan perlengkapan keselamatan dan lainnya.
Di satu sisi teroris bisa dikalahkan. Aparat keamanan dengan sigap dalam waktu relatif singkat mampu mengendalikan situasi. Rupiah yang sempat anjlok pun kembali stabil. Kawasan Thamrin yang sempat “tiarap” kembali bergerak. Namun, di sisi lain, teroris pun meraih kemenangannya. Dukungan terhadap pelaku teror meningkat dan diungkapkan secara terbuka tanpa ada rasa takut.
Pertanyaannya, kenapa?
Jawabannya, kerena Undang-Undang Terorisme tidak dapat menjerat orang-orang yang menyebarkan propaganda terorisme, kebencian dan permusuhan. Padahal, di hampir seluruh negara, diantaranya Inggris, orang-orang yang terbukti menyebarkan kebencian dapat dikenai pasal kriminal dengan hukuman berat. Karenanya UU Terorisme perlu segera direvisi atau pemerintah segera menerbitkan Perppu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H