Kalau mengikuti perkembangan konflik Iran-KSA (Kerajaan Saudi Arabia) lewat sejumlah media dakwah, terkesan Iran ciut nyalinya menghadapi KSA. Mungkin pengelola media tersebut ogah melihat kenyataan betapa terseok-seoknya KSA dalam menghadapi pemberontak Houthi di Yaman. Padahal, KSA sudah mendapat bantuan dari Israel. Logikanya sederhana, kalau menghadapi pemberontak sekelas Houthi saja KSA sudah terengah-ngengah, bagaimana mungkin KSA memenangi perang melawan Iran.
Secara head to head, KSA memang tidak sanggup menghadapi Iran. Bahkan, menurut informasi sekutu KSA yang disampaikan Pangeran KSA Talal bin Abdul Aziz, Iran mampu menghancurkan KSA dalam hitungan kurang dari 24 jam, tapi Iran tidak mungkin menyerang KSA. Betapa lemahnya KSA dibanding Iran!
Namun demikian, Iran tidak mungkin gegabah menyerang KSA. Iran pasti akan memperhitungan banyak hal. Pertama menyerang KSA sama dengan menantang perang sahabat-sahabat karib Arab, seperti Amerika, Inggris, dan juga Israel. Kedua, Iran tidak mau negaranya distempel sebagai negara agresor yang berakibat pada jatuhnya hukuman internasional. Ketiga, Iran lebih memilih membantu Rusia dalam menghadapi kelompok-kelompok teroris di Suriah.
Dalam menghadapi KSA, posisi Iran mirip dengan Rusia dalam menghadapi Turki. Sekalipun secara head to head Rusia sanggup meluluhlantakkan Turki, tetapi Rusia tidak memilih untuk menyerang Turki, sebab menyerang Turki sama saja dengan menyerang NATO di mana Turki menjadi salah satu anggotanya. Bahkan, belakangan Rusia telah mengerucutkan sasarannya hanya tertuju kepada pemerintah yang sedang berkuasa di Turki. Untuk itu Rusia bertukar informasi intelijen dengan pihak oposisi Turki terkait keterlibatan pemerintah Turki dengan ISIS.
Iran juga demikian. Dalam perang pengaruhnya melawan KSA, Iran akan memanfaatkan situasi di KSA. Pertama, Iran akan memanfaatkan konflik para bangsawan KSA yang sedang memperebutkan tahta kerajaan. Di sini Iran bisa memilih siapa saja, bisa pihak yang sedang berkuasa atau pihak yang tengah mengincar kejatuhan kekuasaan. Yang panting bagi Iran pihak yang didukungnya itu dapat dipengaruhinya.
Kedua, Iran memanfaatkan potensi perlawanan rakyat KSA yang terpinggirkan. Di sini Iran akan mengarahkan dukungan perlawanan kepada bangsawan KSA yang didukungnya. Jika mendukung penguasa KSA, Iran akan meredam perlawanan. Tetapi, jika mendukung lawannya, Iran akan mengobarkan perlawanan.
Ketiga, Iran akan meningkatkan kekuatan militernya di Suriah. Tujuannya untuk mengusir milisi Al Qaeda, ISIS, dan Jabhat al-Nusra untuk mudik ke negaranya. Sebagaimana diketahui sebagian besar milisi teroris tersebut berasal dari KSA. Kembalinya milisi teroris ke KSA pastinya akan menurunkan tingkat keamanan di negara Petro Dollar tersebut. Menurunnya tingkat keamanan tentu saja akan berdampak pada perekonomian KSA yang tengah merosot.
Keempat Iran akan menggenjot bantuannya kepada pemberontak Houthi. Lewat genjotannya ini, Iran terus memancing Arab, yang tentu saja dibantu Israel, untuk terus bertempur di Yaman. Perang Yaman ini tentu saja berakibat pada membengkaknya defisit keuangan KSA. .
Serangan-serangan senyap Iran ini tentu akan mendapat respon dari KSA yang mendapat dukungan dari sahabatnya Amerika beserta sekutunya, termasuk Israel. Siapa yang bakal memenangi perang senyap ini akan terlihat beberapa tahun ke depan.
Sementara pemerintah Indonesia tidak perlu mengambil sikap untuk mendukung Iran atau KSA. Pemerintah Indonesia harus tetap bersikap netral. Hal ini sesuai dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Ogahnya pemerintah Indonesia untuk mendukung KSA atau Iran ini tidak ada kaitannya dengan isu Sunni Vs Syiah seperti yang didesas-desuskan oleh kelompok-kelompok tertentu yang kerap menuding pemerintah sebagai pro-Syiah.
Kenetralan Indonesia pun tidak ada kaitannya dengan sikap Indonesia yang menolak aliansi militer anti-teror bentukan KSA. Penolakan Indonesia untuk bergabung dengan aliansi militer bentukan KSA sudah tepat karena aliansi tersebut melibatkan militer. Aliansi militer berbeda dengan kerja sama militer. Dalam aliansi militer mau tidak mau setiap anggota harus terlibat jika salah satu anggotanya mendapat serangan.
Kalau pun sebelumnya Indonesia membangun kerja sama melawan terorisme dengan Iran, hal ini juga tidak ada kaitannya dengan masalah Sunni-Syiah. Karena wujud kerja sama melawan teroris antara Indonesia dengan Iran tidak melibatkan militer. Jadi, opini yang disebarluaskan oleh media dakwah yang menuliskan alasan penolakan Indonesia untuk bergabung dengan aliansi militer bentukan Arab karena sudah menjalin hubungan dengan Iran adalah salah besar. Opini ini dikembangkan dengan tujuan untuk menguatkan stempel jika pemerintah Jokowi sebagai pro-Syiah.
Dan ternyata alasan Indonesia menolak bergabung dengan aliansi militer "NATO" bentukan Arab sudah sangat tepat jika dikaitkan dengan situasi kekinian di Timur Tengah. Perhatikan bunyi pernyataan bersama yang diterbitkan oleh kantor berita SPA, dikutip dari Reuters pada 15 Desember 2015
"Menjadi kewajiban untuk melindungi negara Islam dari kejahatan semua kelompok teroris dan organisasi apa pun sekte dan nama mereka, yang menyerukan kematian dan membuat kerusakan di muka bumi dan bertujuan untuk meneror orang yang tidak bersalah." http://www.cnnindonesia.com/internasional/20151215074700-120-98260/saudi-umumkan-aliansi-militer-34-negara-islam-lawan-terorisme/
Bukan hanya itu, kemarin Negara-negara Liga Arab dalam pertemuan darurat di Kairo, Mesir, hari Minggu kompak mengutuk pembakaran dan penyerangan kantor Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran, Iran. Liga Arab juga memberi opsi tegas pada Iran untuk jadi tetangga baik atau tetangga pengacau.
“Iran harus memutuskan menjadi tetangga seperti apa, tetangga yang baik atau tetangga pengacau dan sejauh ini (Iran) berperilaku seperti yang terakhir.” http://international.sindonews.com/read/1075924/44/liga-arab-iran-putuskan-jadi-tetangga-baik-atau-pengacau-1452477328
Jika Indonesia tergabung dalam aliansi bentukan KSA, mau tidak mau Indonesia akan terjerumus untuk melawan Iran sebab Iran bisa diidentikkan dengan Syiah, dan Syiah bisa dipandang sebagai sekte. Tidak hanya itu, Iran pun bisa dituding sebagai negara pengacau yang membuat kerusakan di muka bumi.
Ilustrasi : di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H