Selain “Rupiah”, masalah lain pun ikut nimbrung. Masalah yang nimbrung ini terbilang klasik: Tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Persoalan ini diungkapkan oleh Rinaldy. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) ini mencontohkan kejadian di mana pemerintah pusat memberikan alat yang tidak sesuai dengan kondisi geografi desa sasaran. Sampai-sampai ada sebuah desa yang ingin mengembangkan ethanol dari tanaman singkong, tetapi pemerintah pusat malah memberikannya traktor.
"Akhirnya traktornya tidak bisa bekerja, karena di perbukitan," pungkas Rinaldy.
Dengan demikian, setidaknya, ada tiga masalah dalam pelaksanaan program DME. Pertama, rendahnya harga hasil panen yang menyebabkan petani bangkrut. Kedua, minimnya anggaran. Dan ketiga, tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sebenarnya, ada masalah lain dalam pelaksanaan program DME. Masalah tersebut adalah dialihfungsikannya lahan pangan menjadi lahan “energi”.. Masalah ini dan solusi sederhananya bisa dibaca di artikel “Jangan Kaget kalau Nanti dari Kuburan Menyembur Minyak”.
Apa regulasi yang dibutuhkan?
Menarik untuk mengetahui, kenapa harga jual biji jarak pagar hasil panen petani hanya separuh dari yang semula dijanjikan? Sayangnya jawaban atas pertanyaan tersebut tidak ada dalam berbagai pemberitaan media. Namun demikian, secara teori, setidaknya ada dua kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
Kemungkinan pertama, pabrik pengolah BBN berusaha menekan biaya produksi agar produk yang dihasilkannya dapat bersaing di pasar. Kalau memang harga jual BBN tidak mampu bersaing dengan BBM fosil, sudah barang tentu salah satu solusinya adalah dengan menambah subsidi bagi BBN. Dan, penambahan subsidi tersebut sudah dianggarkan dalam RAPBN 2015. Dalam RAPBN tersebut, subsidi untuk BBM dialihkan ke BBN. Dengan penambahan subsidi ini harga BBN dapat bersaing dengan harga BBM.
Kemungkinan kedua, pabrik pengolah membeli bahan baku dengan harga rendah untuk menekan ongkos produksi guna meningkatkan laba. Dalam kasus BBN, wajar jika hal ini terjadi mengingat pasar yang terbentuk antara petani penghasil bahan baku BBN dengan industri pengolahnya berjenis monopsoni. Dalam kasus ini, pabrik bisa memainkan harga sesuai dengan keinginannya. Sebaliknya, petani tidak memiliki daya untuk menentukan harga hasil panennya.
Tetapi, dalam kasus BBN terbentuknya pasar monopsoni bukan pelanggaran atas UU UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jenis pasar ini terbentuk karena industri pengolahan BBN belum mampu menarik minat investor. Karenanya, sengketa harga hanya bisa diselesaikan dengan turun tangannya pemerintah dalam menetapkan regulasi terkait harga jual komoditi bahan baku BBN.
Masalah kedua adalah soal minimnya dana yang dialokasikan pemerintah untuk program DME. Kalau melihat angka yang dikemukakan oleh mantan Wakil Menteri Pertanian yang mengatakan setiap desa membutuhkan dana Rp 1 milyar..Maka kebutuhan tersebut sangat berat untuk dicukupi. Sebaliknya, jika berkaca pada bantuann dana dari pemerintah untuk program DME di Kabupaten Sleman yaitu sebesar Rp 12 juta hingga Rp 15 juta per kecamatan, maka dana yang dibutuhkan per desanya tidak sebesar yang dikemukankan oleh mantan Menteri Pertanian.
Kebutuhan dana setiap desa untuk melaksanakan program DME memang berbeda-beda, tergantung dari beragamnya sumber energi yang bisa dihasilkan dan kuantitasnya. Kebutuhan dana bagi desa yang memiliki sumber energi air pembangkit listrik berbeda dengan desa yang hanya memiliki lahan untuk ditanami tanaman penghasil bahan baku BBN. Tetapi, berapa pun dana yang dibutuhkannya, bebannya bisa diringankan dengan mengalokasikan sebagian dari dana desa yang rata-rata Rp 1 milyar per desanya. Dari sini pemerintah tinggal menetapkan regulasi agar setiap desa wajib mengalokasikan dana desa yang diterimanya guna keberhasilan program DME.