Yang menarik dari kasus “Papa Minta Saham” adalah bukti yang dibeberkan sepotong demi sepotong. Awalnya hanya transkrip rekaman “Papa Minta Saham” dipublikasikan. Jika dihitung transkrip itu berdurasi 11 menit. Kita pun bertanya-tanya, apa cuma itu isi percakapannya? Benar saja, durasi percakapan bukan hanya 11 menit, tetapi 120 menit. Wajar jika kemudian kita kembali bertanya, selain rekaman “Papa Minta Saham”, ada bukti apa lagi?
Kalau rekaman “Papa Minta Saham” sepertinya sudah full 120 menit. Tapi, sangat dimungkinkan masih ada bukti lain yang belum diungkap. Dari 2 kesaksian Maroef Sjamsoeddin dalam sidang MKD pada 3 Desember 2015 lalu, diduga mantan Wakil Kepala BIN ini masih menyimpan bukti lainnya.
Pertama, adanya perbedaan antara pengakuan Setya Novanto kepada Tempo dengan kesaksian Maroef Sjamsoeddin di hadapan MKD.
Ketika diwawancarai Tempo pada 19 November 2015, Novanto mengaku Maroef-lah yang aktif meminta bantuannya untuk membantu memperpanjang kontrak karya yang akan habis pada 2021 dan pertemuan kedua serta ketiga merupakan inisiatif Maroef. Novanto juga menyebut Muhammad Riza memiliki keingintahuan besar saat Maroef menawarkan saham untuk membantu perpanjangan kontrak.
Sebaliknya, di hadapan sidang MKD yang digelar pada 3 Desember 2015, Maroef menjelaskan bila permintaan pertemuan itu justru datang dari Novanto sejak Januari 2015. Masih menurut Maroef, ajakan pertemuan itu diajukan Novanto lewat salah satu Komisaris PT Freeport Indonesia, Marzuki Darusman sejak Januari 2015. Bahkan, ketika Maroef masih menjabat Wakil Kepala BIN, permintaan pertemuan itu sudah diterimanya. Saat itu pun, Novanto belum menjabat sebagai Ketua DPR.
Jelas antara pengakuan Novanto dengan kesaksian Maroef bertolak belakang. Jika hanya melihat isi pernyataan keduanya tidak jelas siapa yang benar siapa yang berbohong. Tetapi, jika melihat kronologinya, kesaksian Maroef diucapkan setengah bulan setelah pengakuan Novanto.Dengan asumsi Maroef sudah mengetahui pengakuan Novanto, maka kesaksian Maroef merupakan bantahan atas pengakuan Novanto. Terlebih, kesaksian Maroef diucapkan dalam forum resmi kenegaraan. Sedang pengakuan Novanto dikeluarkan kepada media.
Jika, dalam persidangan di MKD nanti, kesaksian Novanto berbeda dengan Maroef, maka keduanya akan dikonfrontir. Karenanya, kalau tidak memiliki bukti atau saksi, mana mungkin Maroef berani membantah pengakuan Novanto. Marzuki besar kemungkinan akan dihadirkan untuk menguatkan kesaksian Maroef.
Kita tahu penggagas kasus “Papa Minta Saham” sebenarnya bukan Sudirman Said, tapi Maroef. Ini adalah permainan Maroef. Ia juga yang memulainya. Maroef memulai permainannya dengan melaporkan pembicaraanya antara dirinya dengan Novanto dan Riza kepada Jim Robert Moffett selaku CEO Freeport. Maroef lebih dulu melapor kepada Moffett sebelum kepada Sudirman.
"Karena saya harus tegak lurus, jangan sampai lebih dulu lawan bicara saya yang melaporkan, karena mereka bisa berhubungan langsung dengan Jim Bob," kata Maroef
Jadi, Maroef curiga kalau Novanto dan Riza akan menghubungi Moffett tanpa melalui dirinya. Atas dasar apa Maroef curiga? Bukankah dalam rekaman “Papa Minta Saham” tidak terbaca adanya gelagat bila Novanto maupun Riza akan menemui Moffett secara langsung. Dari sini bisa diduga bila kecurigaan Maroef tersebut bukan berasal dari pertemuan di Hotel Ritz Carlton pada 8 Juni 2015, tapi dari luar pertemuan itu. Kecurigaan Maroef ini merupakan petunjuk kedua jika Maroef masih menyimpan bukti lainnya.
Bukti itu bisa berupa rekaman percakapan telepon (bukan penyadapan), pesan-pesan elektronik setelah pertemuan di Hotel Ritz Carlton pada 8 Juni 2015. Atau, bisa juga dalam bentuk lainnya. Sumbernya buktinya pun belum tentu dari Maroef sendiri sebagaimana rekaman “Papa Minta Saham”.
Sayangnya Yang Mulia MKD tidak menanyakan hal itu kepada Maroef. Sekalipun demikian, Yang Mulia MKD bisa mencecar Novanto dengan pertanyaan, “Apakah Saudara pernah mencoba bertemu langsung dengan Moffett?” “Kepada siapa permohonan pertemuan dengan Moffett itu disampaikan?” dst .. dst ...
Apa kira-kira seperti jawaban Novanto, “Tidak, Yang Mulia”, “Tidak ingat, Yang Mulia”, “Lupa, Yang Mulia”, atau “Yes, highly”.
Sumber: tempo.co & kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H