Gara-gara pesewatnya dijatuhkan oleh Turki pada 24 November 2015 lalu, posisi Rusia malah di atas angin. .Posisi ini lebih mengokohkan Rusia di kawasan Suriah dalam perangnya melawan ISIS.Sebaliknya, Amerika dan sekutunya, termasuk Arab Saudi, dan Turki semakin tersisih. Posisi ini pastinya akan dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Rusia untuk menghajar pemberontak Suriah beserta pendukung-pendukungnya.
Di berbagai media sudah banyak yang mengungkapkan jika ISIS dimotori oleh Amerika dan sekutunya. Mantan karyawan NSA Edward Snowden-lah yang pertama kali mengungkapkannya. Terakhir, 16 November 2015, dalam forum G-20 yang digelar di Antalya, Turki, Presiden Rusia Vladimir Putin membocorkan ada 40 negara yang mendanai ISIS. Putin yang mengaku informasi tersebut bersumber dari dinas intelijen Rusia mengatakan beberapa di antara 40 negara tersebut tengah menghadiri G 20.
"Saya memiliki contoh berdasarkan data kami mengenai pendanaan beberapa unit berbeda ISIS oleh individu privat. Uang ini datang dari 40 negara dan ada beberapa anggota G20 di antaranya," ungkap Putin.
Sebelumnya diberitakan dukungan persenjataan dari Amerika dan sekutunya yang diterima oleh FSA (Tentara Pembebasan Suriah), oleh FSA diteruskan lagi ke kelompok-kelompok teroris yang beroperasi di Suriah. Memang antara FSA dan kelompok teroris yang berbasis di Suriah memiliki satu tujuan bersama yaitu menggulingkan Presiden Suriah Basyar Assad. Selain itu, penggulingan Assad ini juga yang sudah lama direncanakan oleh Amerika dan sekutunya. Jadi jelas, ketiga kelompok tersebut (FSA, ISIS dan kelompok teroris lainya, Amerika dan sekutunya) memiliki kepentingan yang sama.
Karena memiliki kepentingan yang sama itu, tidak mengherankan jika perang Amerika dan sekutunya melawan ISIS di Suriah hanya omong kosong belaka. Menariknya, meski digempur selama berbulan-bulan kekuatan ISIS bukannya melemah justru malah meningkat. Ribuan milisi dari berbagai negara malah berdatangkan ke Suriah untuk menjadi pasukan ISIS. Yang lebih lucu, alih-alih menyerang ISIS, Turki malah membombardir basis Suku Kurdi. Padahal Suku Kurdi pun termasuk ke dalam kelompok yang memerangi ISIS.
Karena adanya kepentingan itulah, menurut Putin, AS selalu menolak ajakan kerja sama dari Rusia.
"Kami menawarkan kerja sama (dengan AS) dalam upaya anti-ISIS. Sayangnya, rekan kami dari AS menolak. Mereka hanya mengirim nota tertulis dan mengatakan, 'Kami menolak tawaran Anda,'" kata Putin.
Sebaliknya, Rusia masuk ke Suriah dengan satu tekad yaitu melindungi Assad. Maka tidak heran jika hanya dalam hitungan hari pasukan Rusia yang masuk ke Suriah sejak awal Oktober 2015 sudah mampu membuat ISIS kocar-kacir. Kalau pun dituding juga menyerang FSA, Rusia tidak salah mengingat FSA-lah yang menjadi penyalur persejataan bagi ISIS. Jadi, serangan Rusia terhadap FSA atau pemberontak Suriah lainnya sama saja dengan menyerang ISIS. Demikian pula ketika 24 November 2015 lalu Rusia mengincar posisi pemberontak Turkmen yang berada dekat dengan perbatasan Suriah-Turki.
Dengan “legitimasi” kuat itu Rusia menghadapi insiden jatuhnya bomber SU-24 miliknya di perbatasan Suriah-Turki oleh jet tempur militer Turki. Karuan saja Rusia berang. Putin langsung menuding Turki sebagai antek teroris. Kemarahan Rusia tersebut mendorong NATO untuk menggelar rapat luar biasa. Selanjutnya Rusia mengirim kapal Moskwa ke Lakatia, lepas pantai Suriah. Sementara itu, kapal induk China, Lianoning, sudah mangkal di lepas pantai Suriah, dan siap meluncurkan pesawat tempur J-15 untuk melakukan serangan udara. China sendiri diketahui sebagai sekutu Rusia. Di sisi lain, Iran sudah mengizinkan Rusia untuk terbang di wilayah udaranya. Dua aliansi rival yang kuat sudah muncul di Timur Tengah Melihat situasi ini masyarakat internasional mulai mengkhawatirkan terjadinya perang dunia ketiga. Sampai WW III menjadi tranding topic dunia.
Sebenarnya, sebelum peristiwa ditembak jatuhnya SU-24, jet-jet AS kerap berpapasan dengan jet tempur Rusia. Bahkan pernah F-16 AS berada dalam jarak yang dekat dengan SU-34 Rusia. Komandan serangan udara AS, Letnan Jenderal Charles Brown, menyatakan, pesawat AS dan Rusia berada dalam jarak 20 mil (32,18 km). Dalam 20 detik, mereka bisa saling menyerang. Dalam situasi tersebut pesawat AS lebih memilih meninggalkan target, dan bahkan bertaruh nyawa demi menghindari jet-jet Rusia.
Sebelum Turki menembak jatuh SU-24, tercatat sepanjang tahun ini Rusia 50 kali melakukan pelanggaran udara di wilayah negara anggota NATO, khususnya dekat Ukraina. Dari seluruh catatan itu, tiga manuver pesawat Rusia dinilai 'ancaman', sedangkan 13 kejadian dianggap 'pelanggaran serius'. Tetapi, semua pelanggaran itu hanya melahirkan catatan. Sedangkan terakhir kali Amerika terlibat kontak senjata langsung dengan Rusia terjadi pada 1952, ketika jet AS menjatuhkan empat Migs-15 di sela-sela Perang Korea, tepatnya pada operasi penyerbuan Hoeryong. Jadi insiden 24 November lalu merupakan yang pertama kali sejak lebih dari setengah abad.