Pemerhati kontra terorisme Harits Abu Ulya meyakini teror Paris adalah analog kecil dari peristiwa runtuhnya WTC yang dianggap sebagai artikulasi penting dari akumulasi perlawanan sporadis kelompok Islam terhadap imperialisme Barat dan AS, yang menjadi representasi utamanya.
Kata Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) ini, teror Paris juga bisa dianggap sebagai representasi perlawanan di kandang musuh atas pilihannya terlibat konflik berdarah di Suriah. Dan, teror yang terjadi tidak bisa dinegasikan korelasinya dengan konteks perang dan bukan semata-mata terorisme.
"Hari ini kita juga menyaksikan konflik akut di dunia Islam, khususnya dikawasan Timur Tengah tidak bisa di katakan steril dari campur tangan dunia Barat," jelasnya.
Kemudian dijelaskannya, dengan mengikuti rational framework secara konsisten, disimpulkan benang merah mengapa Paris, Prancis menjadi sasaran target teror dari kelompok ISIS. Alasannya, karena Prancis terlibat dalam konflik Suriah bersama negara koalisi adalah jawabannya.
Sederhananya, Harits menyimpulkan serangan di Paris merupakan balas dendam ISIS karena Perancis menjadi salah satu negara yang menggempur Suriah.
Memang serangan ISIS ke Perancis itu telah menimbulkan keraguan. Ketidakkonsistenan pun timbul. Yang semula melihat ISIS sebagai kaki tangan Amerika dan sekutunya, kini berbalik arah. Logikanya, kalau ISIS buatan Amerika dan sekutunya, kenapa ISIS malah menyerang Perancis? Kalau ISIS bersama pemberontah Suriah atau Free Syrian Army (FSA) dan Al Qaeda sedang berjuang menggulingkan Presiden Suriah Basyhar al Assad, kenapa yang disikat bukan negara pendukung Assad seperti Iran atau Rusia? Dari situlah muncul kesimpulan jika ISIS bekerja untuk Assad, bukan sebaliknya memerangi Assad.
Pertanyaan di atas dilontarkan untuk menjungkirbalikkan berbagai pengakuan yang menyebut ISIS buatan dan didanai Amerika dan sekutunya. Buktinya lagi, Perancis langsung menghajar basis-basis ISIS di Suriah dengan pesawat-pesawat tempurnya.
Tapi, sebagai pengeber batik saya mencoba tetap konsisten dengan berbagai kesaksian dan pemberitaan media. ISIS tetap kaki tangan Amerika dan sekutunya yang digunakan untuk menjatuhkan Assad.
Perang saudara di Suriah mulai memanas sejak 2013 sebagai kelanjutan dari Arab Spring. Kedatangan Al Qaeda semakin memporak-porandakan situasi di Suriah. Selanjutnya, ISIS mulai menggeser pusat sasarannya, dari Irak ke Suriah. Ketika itu secara bergerilya pemberontak Suriah yang didukung Al Qaeda mulai menguasai beberapa wilayah strategis.
Sekalipun FSA menerima pasokan persenjataan dari Amerika, berserta sekutunya, termasuk Arab saudi. Namun, posisi Assad belum juga tergoyahkan. Bahkan, pasukan pemerintah Suriah berhasil menduduki kembali wilayah-wilayah yang semula direbut oleh para pemberontak.
Perlu dicatat perang antara pemerintah Suriah melawan FSA yang didukung Al Qaeda dan ISIS belum menimbulkan gelombang besar pengungsian. Gelombang pengungsian warga Suriah baru terjadi setelah Amerika dan sekutunya mulai melancarkan serangan yang ditujukan kepada kelompok teroris, dalam hal ini ISIS.
Menariknya, selama digempur kekuatan ISIS justru bertambah. Persenjataannya semakin lengkap. Milisi dari berbagai negara pun berdatangan setiap harinya. Kekuatan ISIS yang semakin meningkat secara otomatis mendesak posisi Assad.
Belakangan semakin terungkap keterkaitan antara FSA dengan Al Qaeda. Sedang ISIS merupakan anak kandung dari Al Qaeda. Selanjutnya bermunculan pengakuan yang mengatakan bahwa ISIS juga dibentuk dan didanai oleh Amerika dan sekutunya, termasuk Arab Saudi. Bahkan, informasi yang bersumber dari dinas intelijen Rusia yang disampaikan oleh Vladimir Putin menyebut ada 40 negara yang mendanai operasi ISIS. Informasi ini diungkapkan oleh Putin kemarin dalam Forum G20 di Turki.
Terdesaknya Assad membuat negara sekutu Suriah bertindak. Awal Oktober 2015 pasukan elit Rusia diterjunkan ke Suriah. Dan berbeda dengan pasukan Amerika dan sekutunya yang menggempur ISIS selama berbulan-bulan namun tanpa hasil, hanya dalam hitungan hari pasukan Rusia berhasil meluluhlantakkan ISIS. Keberhasilan serangan Rusia tersebut membuat sebagian pengungsi Suriah pulang kampung. Sejurus dengan itu posisi Assad kembali menguat.
Kembali menguatnya posisi Assad sudah barang tentu membuat Amerika dan sekutunya gusar. NATO menggertak. Turki mengecam serangan Rusia. Lewat ulamanya, Arab Saudi bahkan menyerukan jihad melawan Rusia di tanah Suriah.
Akhirnya, sebulan setelah serbuan tentara Rusia ke Suriah terjadilah serangan teroris di Paris, Perancis yang juga negara sekutu Amerika. Dunia marah atas aksi teror yang menewaskan seratus lebih warga sipil itu. Perancis membalas ISIS dengan mengirim jet-jet tempurnya. .
Menariknya serangan teror di Perancis ini justru mengancam posisi Assad. Pascaperistiwa Perancis, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir langsung menegaskan negaranya akan terus mendukung pemberontak jika Presiden Suriah Bashar al-Assad tidak bisa mundur melalui proses politik.
Di sisi lain, pascaserangan teror, terjadinya aksi penolakan terhadap pengungsi Suriah oleh masyarakat di berbagai negara Eropa. Masyarakat Eropa mencurigai masuknya teroris ke negaranya dengan menyusup di antara para pengungsi. Gara-gara aksi teror ISIS, dukungan terhadap pengungsi berbalik arah menjadi penolakan. Penolakan terhadap pengungsi tentu saja merupakan tekanan tersendiri bagi Assad. Ujung-ujungnya meningkatnya kemarahan rakyat Suriah yang disertai menguatnya tekanan kepada Assad untuk segera mundur. Â
Bukan saja di Eropa, di Amerika pun terjadi aksi penolakan terhadap masuknya pengungsi Suriah. Lebih dari 12 negara bagian Amerika Serikat mengatakan mereka tidak lagi menerima pengungsi Suriah karena kekhawatiran mengenai situasi keamanan setelah serangan Paris. Gubernur Michigan Rick Snyder menyatakan menangguhkan penerimaan pendatang baru.
Dengan demikian penolakan pengungsi Suriah menjadi front lain yang harus dihadapi Assad. Dan, front itu timbul pascaserangan teroris di Paris.Jadi jelas tidak bisa menyamakan serangan teror di Paris dengan peristiwa WTC.
Sumber: Â
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/11/151117_dunia_amrik_pengungsisuriah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H