"We need to remind many in the West that we have warned of such incidents since the beginning of the crisis in Syria," kata Presiden Suriah Basyar Assad pada 14 Januari 2015 lalu. Pernyataan tersebut dilontarkannya terkait dengan penyerangan kantor redaksi Charlie Hebdo oleh dua teroris yang menewaskan 12 orang pada 7 Januari 2015.
"We told the West that it should not support terrorism and give it political cover because it would all affect your countries and your people. They didn't listen to us," tegasnya.
Assad tidak sembarangan menuding Barat sebagai pihak yang bertanggung jawab atas berkembang dan menguatnya paham terorisme. Pejabat serta politisi Amerika pun telah mengakui bila pemerintahnya merupakan penggagas terbentuknya sekaligus donatur bagi kelompok teroris Al Qaeda. Belakangan, sekitar satu tahun yang lalu, mantan pegawai NSA, Edward Snowden membocorkan bila ISIS pun setali tida uang dengan Al Qaeda yang dibentuk serta didanai oleh Barat. .
Seperti yang dikatakan Assad, aliansi Barat tidak menggubris sarannya. Aliansi Barat yang didukung oleh Arab Saudi, Qatar, dan Turki masih saja bermain api dengan kelompok-kelompok teroris. Kemudian terjadilah serangan teroris di Paris, Perancis, yang menewaskan lebih dari 150 orang di Paris pada 13 November 2015. Menariknya, Amerika sempat mengingatkan Perancis akan meningkatnya serangan teroris pascaserangan Charlie Hebdo.
Bagaimana dengan Indonesia?
Tidak berbeda dengan negara-negara lainnya, Indonesia bukanlah negara yang aman dari serangan teroris. Dan, pengalaman sudah membuktikannya. Di Indonesia orang dengan bebas mengagung-agungkan Osama bin Laden, gembong teroris yang kelompoknya bersama kelompok Taliban bahu-membahu membantai Mujahidin di Afganistan. Mantan Presiden PKS Anis Matta, contohnya.
Dalam puisinya yang diberi judul “Surat Untuk Osama”, Anis menyanjung gembong teroris pembantai muslim Afganistan ini dengan serentetan kalimat, “Osama, Kamulah yang mengajar bangsa-bangsa yang bisu untuk bisa bicara. Maka mereka berteriak. Kamulah yang menanam bibit-bibit keberanian di ladang jiwa orang-orang penakut. Maka mereka melawan” Puisi karya mantan Presiden PKS ini disebarluaskan oleh kader-kadernya lewat berbagai situs online yang mereka kelola dan media sosial lainnya.
Pertanyaannya, apa yang diajarkan Osama? Lantas, apa bentuk perlawanan yang dilancarkan Osama?
Bukankah paham terorisme yang diajarkan Osama? Bukankah bentuk perlawanan yang dilakukan oleh Osama adalah teror dan pembantaian terhadap sesama manusia dan juga sesama muslim?
Tidak berlebihan kalau dikatakan ada kelompok, kalau tidak mau disebut partai secara keseluruhan, di parlemen Indonesia, mulai dari pusat sampai daerah, yang menganut paham terorisme. Tidak mengherankan bila ada kader/mantan kader PKS atau keluarganya yang terlibat dalam kejahatan terorisme. Sadullah Rozak yang ditangkap Densus 88 pada 2013, misalnya, menurut istri pertamanya pernah aktif berpolitik bersama PKS.
Jika diperhatikan, di Indonesia muncul gerakan-gerakan yang berupaya mengadu domba antar sesama anak bangsa. Ada beberapa modus yang mereka lakukan. Di antaranya, mengondisikan Islam di Indonesia sedang dalam posisi didzolimi, dibinasakan, disingkirkan. Metode ini tentu saja untuk membangkitkan perasaan senasib sepenanggungan dari sesama muslim di Indonesia untuk kemudian melakukan perlawanan. Bentuk propaganda ini bisa dilihat dalam puisi yang ditulis Nandang Burhanuddin yang salah satunya disebarluaskan oleh PKSpiyungan.org.
Sama seperti puisi karya Anis yang menyemangati lagi konflik horizontal di Poso dan Ambon, puisi yang ditulis Nandang ini pun memropagandakan terjadinya konflik horizontal antara etnis China dengan etnis-etnis lainnya. “Akan kemana negeri 9 Wali diarahkan. Oleh kaum minoritas yang sok jagoan. Zaman Gusdur Gong Xi Fa Cai diresmikan. Kini penghancuran Islam ditargetkan” tulis Nandang. Puisi tersebut sejurus dengan teriakan “anti-asing, anti-aseng, dan anti-asong yang diteriakkan oleh KAMMI saat demo 20 Mei 2015 lalu. Keduanya semakin menguatkan bila ada kelompok yang terus-menerus berupaya menciptakan kerusuhan massal mirip peristiwa 1998.
Upaya memecah persatuan pun digencarkan ketika terjadi bencana asap. Ketika itu Jawa dan non-Jawa dibentur-benturkan. Mereka mengatakan kabut asap tidak akan dibiarkan pemerintah jika terjadi di pulau Jawa. Dan, upaya itu tidak hanya sekedar dilancarkan di dunia maya, tetapi juga di dunia nyata.
Dalam satu tulisan di Kompasiana dilaporkan pada saat kedatangan Jokowi di Padang, diceritakan seorang kader PKS bernama Sutan Mangkuto mengambil kesempatan untuk melancarkan propaganda adu dombanya. Kata kader PKS tersebut, “Jokowi tu sebenarnya tidak suka dengan Sumatera Barat. Pada Pilpres tahun lalu kita sudah sama-sama tahu, Jokowi kalah telak di Sumatera Barat. Nan menang di nagari awak ini kan Prabowo. Itu sebabnya Jokowi malas datang ke Sumbar. Coba bayangkan Aceh sampai ke Papua tiap sebentar didatangi Jokowi. Tapi ke sini, baru sekali ini dia datang.”
Kader PKS (bukan institusi partainya) bukan satu-satunya kelompok yang gencar mengadu domba anak bangsa. Ada banyak kelompok lainnya, tujuannya jelas untuk menghancurkan NKRI yang kerap mereka sebut sebagai negara thagut. Jika diamati ada empat “pasangan kutub” yang tengah diadudombakan. Pertama pemerintah dengan rakyatnya. Kedua, antar etnis dan suku bangsa, Ketiga, antar pemeluk agama satu dengan yang lainnya, Keempat, antar penganut Sunni dengan penganut Syiah. Bisa dibayangkan apa yang dialami bangsa ini jika salah satu saja dari “pasangan kutub” itu berhasil dibenturkan.
Celakanya, pemerintah Jokowi-JK terkesan lembek. Pemerintah sepertinya tinggal diam dengan maraknya upaya adu domba antar sesama anak bangsa ini. Tidak jelas apa alasan pemerintah yang belum juga menindaknya. Apakah pembiaran ini merupakan strategi intelijen ataukah bentuk dari ketidakberdayaan pemerintah? Tapi, apapun itu, apakah bagian dari strategi intelijen atau ketidakberdayaan pemerintah, tetap saja suatu saat akan datang suatu peristiwa yang menjadi titik baliknya.
Pertanyaannya, apa titik baliknya itu? Apakah kerusuhan seperti di Ambon atau Poso? Apakah kerusuhan yang mirip peristiwa 98? Apakah konflik antar etnis seperti perang antara Dayak dengan Madura? Atau seperti yang terjadi di Libya, di Suriah, dan di negara-negara Arab lainnya di mana kelompok teroris pada awalnya dibiarkan berkembang?
Okelah, katakan pemerintah membiarkannya karena alasan tertentu. Tetapi, apakah pemerintah mengamati jika sekarang ini semakin banyak warganya yang mendukung terorisme. Hal ini terlihat dari munculnya pernyataan-pernyataan dukungan terhadap aksi teror di Paris dengan menyebut pelakunya sebagai mujahid. Maka, jika suatu saat pemerintah akan secara terbuka memerangi kelompok ini, pemerintah akan mendapat perlawanan keras. Dan, siapa yang menjadi korbannya kalau bukan rakyat Indonesia sendiri.
Sebelum peristiwa buruk itu benar-benar terjadi, tidak ada salahnya bagi pemerintah Indonesia untuk menjadikan serangan teroris Paris sebagai pelajaran.
Sumber:
http://www.presstv.ir/Detail/2015/01/15/393145/Assad-blames-West-for-France-attacks
http://beritapks.com/keagungan-osama-bin-laden-dalam-puisi-anis-matta/
http://www.pkspiyungan.org/2015/04/islam-indonesia-dihancurkan.html
Sumber foto
http://news.liputan6.com/read/2365944/usai-teror-paris-isis-ancam-serang-3-negara-ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H