Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Pak Jokowi, Kapan Kenakan Batik Cerbonannya (Karena Sekarang Saya Pengeber Batik)?

28 Oktober 2015   19:19 Diperbarui: 20 April 2017   12:21 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang membedakan Pak SBY dan Pak Jokowi dalam soal batik? Jawabannya, Pak SBY kerap tertangkap kamera menggenakan motif batik Cerbonan, sedang Pak Jokowi belum pernah sama sekali? Padahal, baik Pak SBY dan Pak Jokowi sama-sama pernah mengunjungi Sentra Batik Trusmi di Kabupaten Cirebon. Skor 1-0 untuk Pak SBY.

Sabtu kemarin saya mampir makan di rumah makan Amarta. Di rumah makan yang menyajikan kuliner khas Cirebon, seperti empal gentong, empal asem, dan tentu saja nasi lengko, ini dipajang foto-foto Pak Jokowi yang tengah mengunjungi rumah makan yang berlokasi di daerah Panembahan, Kabupaten Cirebon. Begitu duduk, saya lihat di belakang kertas nomor meja ada cetakan tulisan tangan Pak Jokowi.

Pada kertas seukuran kartu nama itu, Pak Jokowi menuliskan, kira-kira bunyinya seperti ini, “Batik Cirebon mengandung nilai-nilai budaya; Batik Cirebon harus dikembangkan, harus dipromosikan, harus dipasarkan.” Pertanyaannya saya, kapan Bapak mulai mempromosikan batik Cirebonan dengan cara mengenakannya seperti yang dilakukan oleh Pak SBY? Tapi, anggap saja tu bukan pertanyaan, karena lebih tepatnya sebagai tagihan.

Batik Cirebonan atau batik Cerbonan itu ada dua ragam, motif Pesisiran dan motif Keratonan. Biasanya motif Pesisiran menggambarkan alam semesta. Ada yang menggambarkan ikan, kura-kura. ganggang, teratai, ayam, dan masih banyak yang lainnya. Motif batif Pesisiran umumnya berwarna cerah atau mencolok. Motif batik ini dipengaruhi oleh budaya China, Eropa, dan Jawa.. Dan, motif Megamendung yang menjadi ikon batik Cerbonan termasuk kedalam ragam motif Pesisiran. Motif batik Megamendung inilah yang kerap dikenakan oleh Pak SBY dan jajaran kebinetnya dalam berbagai kesempatan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Batik tulis Cerbonan motif Ayam Alas (Foto Dok penulis) 

Sementara, motif Keratonan terinspirasi dari lingkungan keraton yang ada di wilayah Cirebon, yaitu Keraton Kesepuhan, Keraton, Kanoman, Keraton Keprabonan, dan Keraton Kecirebonan. Warna motif batik ini biasanya coklat sagan atau keemasan. Batik Keratonan bermotifkan Paksi Naga Liman, Singobarong, Nagaseba, Taman Arum, dan masih banyak lagi yang lainnya. Berdeda dengan motif batik Pesisiran yang banyak ditemui di pasaran, motif batik Keratonan masih jarang ditemui. Hal ini tidak lepas dari unsur-unsur kesakralan yang masih melingkupi motif Keratonan.

Motif batik Paksinagaliman (Foto Dok. Penulis)

Motif batik keratonan pada mulanya hanya dikenakan pada acara-acaran keraton tertentu. Namun, belakangan motif batik Keratonan mulai dikembangkan. Berbagai motif Keratonan mulai dijajaran di sentra batik Trusmi. Kalau Pak Jokowi mau menggenakan motif ini, maka motif batik Keratonan pun akan terpromosikan dengan sendirinya.

Sebagaimana motif-motif batik klasik lainnya, setiap motif batik Cerbonan pun memiliki nilai-nilai filosofi, atau kisah-kisah tertentu. Misalnya, motif Paksi Naga Liman, menggambar motif salah  satu kereta kencana di keraton Kesepuhan yang berwujud gabungan gabungan dari paksi (garuda), naga (ular naga) dan liman (gajah). Kereta kencana ini menyimbolkan kekuatan udara (paksi), laut (naga), dan darat (liman).

Bukan hanya itu, dalam mengulas cantingnya pun, pengrajin batik Cerbonan wajib taat pada tradisi. Ketika membatik motif Megamendung, misalnya, pengrajin harus memulainya dari lengkungan kecil terdalam, kemudian melengkung melebar dan membesar keluar. Selanjutnya kembali pada lengkungan kecil tanpa boleh terputus.

Motif batik Megamendung (Foto Dok. penulis)

Konon, ketrampilan membatik warga desa diturunkan oleh Ki Gede Trusmi. Di sela-sela kegiatan dakwahnya, santri Sunan Gunung Jati ini menularkan teknik membatik kepada warga sekitar. Untuk menghargai jasa-jasa Ki Gede Trusmi, setiap tahunnya  masyarakat mengadakan upacara Ganti Welit (atap rumput) pada makamnya, dan setiap empat tahun sekali diadakan upacara Ganti Sirap untuk mengganti atap sirap pada makam. Di tangan generasi penerusnya, kain batik dibuat semenarik mungkin tanpa meninggalkan nilai budaya yang dikandungnya.

Soal harga. Sebelum membicarakan soal harga, saya mau mengaku dulu. Saya menayangkan artikel ini karena saya sekarang sudah jadi pengeber batik. Secara tradisional, sistem penjualan batik di Cirebon, mungkin juga di daerah lainnya, menggunakan jasa pengeber. Pengeber datang ke pengrajin pengusaha batik untuk mengambil beberapa helai batik. Kain batik yang dibawa tersebut kemudian dijajakan oleh pengeber ke berbagai daerah, toko, rumah, dan lainnya. Uang yang didapat dari hasil penjualan kemudian dibayarkan oleh pengeber kepada pengrajin atau pengusaha batik sesuai kesepakatan sebelumnya.

Nah, kembali ke soal harga. Batik Cerbonan yang ditawarkan dengan harga bervariasi, tergantung motif, cara pembuatan, lama pengerjaan, dan bahan pewarnanya, tingkat kehalusan, dan lainnya. Untuk batik tulis motif Nagasebo dengan bahan pewarna alami, yang diselesaikan selama 3 bulan, misalnya, ditawarkan dengan harga mulai Rp 850.000. Untuk bahan perwarna alamaminya sendiri didapat dari batang pohon mangga yang dikunci dengan tunjung.

Harga yang ditawarkan sangat wajar, selain karena tingkat kesulitan dan lamanya proses pembuatan, batik tulis berbahan pewarna alami juga tidak akan ada kembarannya. Pertama, karena batik tulis tidak memiliki pola yang tercetak yang membuat pengrajinnya tinggal mengikuti pola yang sudah jadi. Kedua, Warna yang dihasilkan oleh bahan perwarna alami tergantung banyak faktor, contohya, bahan baku pewarna itu sendiri, proses pembuatan bahan pewarnanya, banyak sedikitnya proses pencelupan, dan yang tidak kalah menentukan adalah intensitas terik matahari.

Selain faktor-faktor di atas, faktor pengrajin pun menentukan kualitas dan warna batik. Menurut salah seorang pengrajin batik di Desa Kalitengah Sri Agustina, pikiran dan hati yang tidak tenang ketika membuat batik dapat mempengaruhi kualitas batik. Misalnya, bahan pewarna yang tidak meresap pada kain. Lantas, apa jadinya batik kalau pengrajinnya cengar-cengir setelah membaca status saya di FB ini, “Keturunan Isac Newton hari ini mengungkapkan surat wasiat yang ditulis moyangnya. Di dalam surat wasiatnya, Newton mengaku kalau apel jatuh ke bumi bukan karena gravitasi, tetapi karena kesalahan Jokowi.”

Harga yang ditawarkan di atas tentu saja sangat bersaing. Makanya, belum lama saya promosikan, sudah ada teman yang memesan. Itu karena karena strategi dagang yang saya terapkan berbeda dengan penjual batik lainnya. Kalau di Sentra Batik Trusmi banyak didapati toko yang memajang papan bertuliskan “Langsung dari Pengrajin”. Maka saya membuat perbedaan dengan memasang papan bertuliskan “Langsung dari Jemuran Pengrajin”.

Berhubung dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, sebenarnya batik pun mewakili kesatuan dalam kebhinekaan bangsa Indonesia. Orang Sumatera mempunyai batik dengan motifnya sendiri. Begitu pula dengan orang Sunda, orang Jawa, orang Cirebon, orang Bali. Bahkan, orang Papua pun mempunyai batik khasnya sendiri dengan motif burung cendrawasihnya. Jadi sangat tepat jika kita mengatakan batik sebagai salah satu Pesona Indonesia.  Atau lebih tegasnya lagi batik adalah Indonesia.

Yang tidak kalah penting, jangan sampai batik kembali diklaim oleh bangsa lain. Seperti beberapa bulan yang lalu di mana ramai dibicarakan tentang batik motif Megemendung diklaim oleh orang Turki. Ini sangat lucu. Memangnya ada foto atau dokumen yang menggambarkan nenek moyang Erdogan duduk di atas dingklik sambil membatik?

Karyawan toko batik di Trusmi menolak batik motif Megamendung diklaim oleh warga Turki. (Foto dari  http://www.cirebontrust.com/karyawan-batik-trusmi-kampanye-save-megamendung-upaya-pertahankan-batik-cirebon.html

Saking khasnya Megamendung sebagai motif batik Cerbonan, sampai-sampai pada poster pengunjuk rasa pun ditulis “dake”. “Dake”, atau biasa juga diucapkan “deke”, ini jangankan orang di luar Cirebon, orang yang tinggal di Cirebon saja belum tentu tahu artinya, sebab kata itu biasa digunakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah Plered, Kabupaten Cirebon. Sementara orang Cirebon biasanya menggunakan kata “duwe” yang dalam bahasa Indonesia berarti punya. Sedang dalam bahasa Jerman, “dake” berarti terima kasih.

Nah, terakhir, kalau Pak Jokowi mau menggenakan batik motif Keratonan, maka skor antara Pak Jokowi dengan Pak SBY jadi satu sama. Tetapi, kalau Pak Jokowi memesan batik dari saya, skor nya jadi 2-1 untuk Pak Jokowi.

*) Keterangan Gambar Utama: Batik Cirebonan: Ragam batik tulis motif Keratonan (Foto Dok. Penulis)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun