Sebelum ketagihan menulis di Kompasiana, saya mengalami ketagihan yang bikin kepala pusing. Apalagi kalau bukan ditagih kawin sama janda seksi montok dari kampung sebelah. Ternyata, ditagih kawin itu lebih merontokkan jantung ketimbang digebrak-gebrak debt collector berwajah angker. Untung saja tagihan kawin itu tidak dilampiri test pack hasil uji kehamilan.
Waktu itu, sekitar tahun 2011, hidup saya sedang morat-marit tidak menentu. Nah, kalau hidup sendiri saja tidak menentu, bagaimana mau jadi mantu. Di tahun itu hampir setiap malam saya keluyuran. Jalan-jalan kemana saja mata ini melihat. Setiap keluar malam sedikitnya tiga lembar uang puluhan ribu rupiah keluar dari dompet. Duit segitu untuk ngopi, ngerokok, jajan, parkir, dan lainnya. Kadang lebih dari seratus ribu yang saya keluarkan untuk sekali keluyuran malam.
Untungnya, saya ini bukan penjudi, bukan pemabok, bukan pemadat, apalagi tukang main perempuan. Asal tahu saja, kalau urusan perempuan, bukan saya yang mengeluarkan duit. Tapi sebaliknya, sayalah yang dibayari. Biar begitu, bukan berarti saya ini lelaki bayaran. Bukan! Saya bukan gigolo. Saya juga bukan Casanova. Saya mah lelaki baik-baik yang suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Saya cuma lelaki biasa yang sedang bete tingkat dewa sembilan belas.
Kalau betenya sudah menggerung-gerung di ubun-ubun, saya langsung ngeloyor ke luar kota. Supaya ngirit ongkos, perginya pakai motor. Saya bawa motor sesukanya. tidak tentu arah, apalagi tujuan. Anehnya, saya tidak merasa seperti Bang Haji Rhoma yang sedang berkelana.
Kalau dalam perjalanan menemui pemandangan yang bikin mata adem, biasanya saya langsung mencari warung untuk menitipkan motor. Dari situ saya jalan kaki. Pas jalan kaki itu seringkali saya mendapati tempat yang cozy, entah itu sawah, entah itu bendungan, entah itu kebun, kali, atau apa saja. Di tempat itulah biasanya saya nongkrong berlama-lama.
Sebenarnya, waktu itu saya sedang bokek sebokek-bokeknya. Bukan cuma bokek, otak ini juga tidak jelas sedang mikiri apa. Saban waktu bawaannya kemrungsung terus. Memang lucu kalau diingat, lagi cekak malah tambah boros tidak karuan. Sampai kemudian saya termehek-mehek mendapati deretan angka pada struk ATM. “Gila, tinggal segini!”
Biarpun tahu cadangan “devisa” makin menipis, tapi belum juga merasa krisis. Tetap saja saya keluyuran. Jam terbang keluyuran sedikit berkurang begitu ramai berita soal Pilgub DKI 2012 saya jadi lebih sering mengakses internet lalu membuka Kompasiana. Di Kompasiana, awalnya hanya nulis di kotak komentar saja. Waktu itu saya sering komentar di lapak lapak milik Ninoy dan Daniel. Dari yang awalnya cuma komentar, akhirnya saya kegatelan juga untuk ikut menulis.
Sampailah pada dini hari 30 Januari 2013, waktu itu saya sedang di atas kereta api menuju Jakarta. Pas iseng akses berita di internet, saya mendapati breaking news tentang penggerebegan Ahmad Fathonah bersama PSK yang dibookingnya di Hotel Le Meridien, Jakarta. Saya pun klik sana klik sini mencari tahu siapa Fathanah ini. Sayangnya, kereta yang saya tumpangi tidak ada colokan listrik buat ngecas HP. Maklum, kereta kelas ekonomi yang harga tiketnya 40 –an ribu. Jadi, begitu baterai habis, saya tidak bisa akses internet lagi. Begitu sampai di Bandara Soeta dan ketemu tempat ngecas HP, langsung saja saya ngubek-ubek informasi soal Fathanah. Dari Google saya dapati kalau Fathanah ini punya kaitan dengan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI). “Eng ing eng!” Lantas, pada malam harinya saya lihat ada berita yang judulnya, ”Presiden PKS Dijemput Penyidik KPK di Kantor PKS”.
Awal Februari, sepulang dari keluyuran, saya buka laptop, lalu akses sana akses sini. Apalagi yang saya cari kalau bukan bukan kasus suap kuota impor daging sapi yang menjerat Presiden PKS. Gara-gara kasus ini Kompasiana jadi ramai dikerubuti netizen. Lebih lagi setelah pasukan khusus sosmed menyerbu masuk blog keroyokan ini. Tulisan dan komentar di Kompasiana jadi ramai, persis permen Nano Nano. Inilah awal yang membuat saya lebih betah di rumah ketimbang keluyuran malam.
Gara-gara kasus itu juga, saya yang dulunya malas nulis jadi gatal ingin nulis. Dulu, dalam rentang waktu waktu enam bulan saja belum tentu ada tulisan yang saya layangkan ke Kompasiana. Tapi, setelah kasus itu, dalam satu minggu saya bisa setor satu tulisan. Dan, entah bagaimana, lama-lama hampir tiap hari ada saja tulisan yang saya tayangkan. Malah tidak jarang satu hari posting dua tulisan.
Anehnya, sampai sekarang saya masih sering heran, “Kok bisa juga ya saya nulis.” Dulu, boro-boro menulis satu artikel sehari. Untuk mengerjakan paper tugas kuliah saja saya menyelesaikannya dengan cara membelinya di Shopping (tempat penjualan buku murah di sebelah timur Pasar Bringharjo, Yogyakarta, atau sebelah selatan Sarkem).
Belakangan saya baru sadar kalau sejak kecanduan menulis, kebiasaan saya berubah. Biar tidak 180 derajat, tetap saja saya anggap sudah berubah. Dulu kalau lagi sumpek bawaannya ingin keluar rumah. Setelah kecanduan menulis, bawaannya kalau dapet ide ingin cepet pulang terus menulis.
Pernah suatu waktu penyakit lama kumat lagi. Pikiran kemrungsung lagi. Saya mulai keluyuran lagi. Pas lagi sumpek-sumpeknya saya inbox Elde, “Dab, ada kerjaan apa di Jerman?” Seperti biasa, beberapa menit kemudian Elde langsung membalas, “Kalau di sini banyak, Dab. Datang saja. Nanti juga dapat kerjaan.” Sekian lama kemudian Elde tayangkan tulisan yang isinya tips untuk mendapatkan pekerjaan di Jerman. Katanya, asal punya surat nikah, gampang dapat kerja. Dan supaya dapat surat nikah, tinggal kawin kontrak saja.
Sayangnya, jangankan ngajak Fanie kawin kontrak, fitur add friend-nya saja tidak saya temukan. Saran Elde ini rencananya bakal saya coba lagi di lain waktu. Beruntung yang saya mintakan saran itu Elde, coba kalau Jati Kumoro, bisa-bisa sarannya begini, “Gampang Dab, datang saja ke Gunung Kemukus, cari pesugihan..”
Nah, itulah Kompasiana, bukan cuma sekedar tempat nulis gratis, tapi juga hubungan antar Kompasianer yang tidak kalah asyik. Di Kompasiana, kalau cuma melulu soal tulisan pastinya akan membosankan. Itu juga yang pernah saya alami. Dulu saya cuma menulis dan berkomentar. Ogah rasanya kirim-kiriman inbox. Tapi, ternyata kirim-kiriman inbox itu jadi bumbu yang menggurihkan. Tidak jarang saya membuka Kompasiana hanya untuk membuka inbox lalu membalasnya. Setelah selesai urusan inbox, saya tutup Kompasiana lalu pergi entah kemana..
Sempat juga kepikiran, saya ini ketagihan nulis atau kecanduan Kompasiana? Kemudian saya buat blog di Wordpress. Saya nulis di sana. Hasilnya, biarpun isi otak dikeluarkan dan tulisan ditayangkan, tetap saja ada sesuatu yang berbeda: yang baca tidak ada, apalagi yang komentar.
Makanya, kalau ada yang bilang, Kalau ada yang bilang, “Ngapain sih nulis di Kompasiana. Capek iya. Dapet duit kagak.” Saya mah cuek saja. Yang penting hatinya. yang penting sekarang dompet saya tidak kedodoran lagi. Sudah lama, keluyuran malam bisa dihitung dengan jari. Pergi jauh dan blusukan di daerah orang sudah jarang dilakoni. Kebiasaan merogoh isi dompet buat jalan-jalan sudah berganti dengan menarikan jemari di atas keybord laptop. Duit keluarnya duit dari dompet itu licin seperti belut keluar dari liangnya, sekarang rasanya jadi lengket.
Itulah manfaat Kompasiana yang mungkin belum terpikirkan oleh siapa pun, termasuk penggagasnya sendiri. Belum tentu Pepih Nugraha pernah memikirkan ini. Belum tentu juga Jakob Oetama. Apalagi PK Ojong.
Sumber ilustrasi:
http://www.verskans.com/2013/03/all-ett-nylon-wallet-review/all-ett-nylon-wallet-billfold-money-2/
dan foto layar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H