Belakangan ini di media sosial dengan mudah didapati teriakan-teriakan kebencian terhadap China, Syiah, dan komunis. Kalau diperhatikan, ketiga sasaran kebencian tersebut ternyata mewakili salah satu blok kekuatan di dunia, sebut saja Blok Timur. Menariknya, mereka yang meneriakan kebenciannya kepada China, Syiah (Iran & Suriah), dan komunis (China & Rusia) itu sebelumnya sering bersuara anti terhadap Amerika, Barat, Israel, dkk. Pertanyaannya kenapa mereka menggeser kebenciannya?
Tidak boleh ada matahari kembar, apalagi kembar tiga atau lebih. Di satu daerah tidak boleh ada dua atau lebih kelompok preman. Kalau ada, pasti sering terjadi keributan. Untungnya, alam semesta ini selalu mencari keseimbangan. Keseimbangan baru terjadi kalau kelompok preman yang satu bisa mengusir atau menguasai kelompok preman lainnya. Sayangnya, tidak jarang dalam mencapai keseimbangan itu harus terjadi benturan-benturan.
Sekarang ini di planet yang dihuni para manusia terbit “ matahari” baru. “Matahari” itu bernama China. Terbitnya “matahari” China ini tentu saja mengusik “matahari” lama, Amerika dan planet-planet yang mengelilinginya. Apalagi “matahari” China memiliki daya tarik gravitasi yang tidak bisa dipandang remeh. Sekalipun kualitasnya dipandang rendahan, barang-barang China membanjiri pasaran dunia. Belum lagi peningkatan kekuatan militernya yang mengancam kekuatan lama.
Dan, sebagai penghuni planet Bumi, mau tidak mau Indonesia terseret ke dalam pusaran persaingan antara dua kekuatan dunia. Dilalahnya, di bawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia lebih memilih condong ke Blok Timur yang didominasi kekuatan China. Memang sejak masih capres, Jokowi sudah menunjukkan sikap yang berbeda dengan capres-capres lainnya. Jokowi tidak menunjukkan sinyal akan merapat ke Amerika seperti yang dilakukan oleh capres Amien Rais, capres SBY, dan capres Prabowo.
Tentu saja sikap Jokowi yang tidak mau merapat ke Amerika menjadi sinyal tersendiri bagi negara adikuasa tersebut. Segala sesuatu tentang hubungan Indonesia dengan pesaingnya, khususnya China, dibesar-besarkan oleh sejumlah media. Kemudian diopinikan seolah kedekatan Indonesia dengan China menjadi ancaman bagi rakyat Indonesia. Contohnya, kedatangan pekerja asal China digembar-gemborkan sebagai eksodus.
Tidak ada asap kalau tidak ada api. Soal berita heboh masuknya TKA China, Menaker Hanif menduga karena Presiden Jokowi yang menyetujui kerjasama investasi dari China senilai US$ 60 miliar. Padahal investasi asal China pada tahun 2015 ini cuma menduduki peringkat 10. Pada kuartal I-2015 ini, China baru merealisasikan investasinya sebesar USD 75,1 juta dengan 200 proyek. Sementara menurut catatan BKPM, realisasi investasi di kuartal I-2015 peringkat pertama diduduki Singapura sebesar USD 1,23 miliar dengan 610 proyek, kedua Jepang USD1,2 miliar dengan 343 proyek, ketiga Korsel USD 634 juta dengan 372 proyek, keempat Inggris USD 357,3 juta dengan 55 proyek dan Kelima Amerika Serikat USD 292,1 juta dengan 42 proyek. Jadi semakin jelas, China belum apa-apa di negara ini.
Tetapi, biarpun masih belum apa-apa, hubungan RI dengan China yang semakin dekat ini pasti bikin Amerika termehek-mehek juga. Makanya, kebencian terhadap China pun digelorakan. Sialnya, etnis China di Indonesia pun disangkut-sangkutkan. Seolah etnis China yang sudah ribuan tahun mendiami tanah air ini menjadi bagian dari bangsa China. Dan, Ahok jauh lebih sial lagi karena seolah menjadi “maskot” dari etnis China Indonesia.
Kalau dipikir, siapa sih Ahok. Ahok cuma selevel gubernur. Dulu di masa Soeharto, gubernur itu selevel perwira bintang dua. Menarknya, hanya untuk menghadapi Ahok, sejumlah pensiunan jenderal dan aktivis bersekutu untuk menghadapinya. Mereka adalah mantan Panglima TNI Djoko Santoso, mantan Wakil Gubernur DKI yang juga pensiunan jenderal bintang dua Prijanto, Hariman Siregar, Maqdir Ismail, Iwan Piliang, Eggy Sudjana, Bursah Zarnubi, Muchtar Effendi Harahap, Syahganda, dkk. Di luar itu masih banyak lagi kelompok-kelompok penentang Ahok lainnya, seperti FPI, FUI, dkk.
Dan, menariknya, sebagian dari mereka merupakan mantan pendukung capres Prabowo.
Jika melihat Prabowo dalam persaingan antara China-Amerika Kita pasti teringat pada penyampaian visi misi Prabowo dan Gerindra dalam acara USINDO Washington Special Open Forum Luncheon. Diwakili oleh adik kandungnya Hashim Djojohadikusumo, Prabowo mengutarakan jika menjadi presiden, Prabowo tidak anti asing. Dalam forum tersebut Hashim menegaskan bahwa Prabowo adalah seorang capres yang pro-Amerika Serikat. Jadi, kalau mau dikait-kaitkan, jelas teriakan kebencian terhadap etnis China hanyalah imbas dari perseteruan geopolitik.
Sudah menjadi rahasia umum bila transisi di negara mana pun tidak akan lepas dari cawe-cawe negara lain. Negara asing itu cawe-cawe lewat agen-agennya. Konon menurut Ryamizard Ryacudu. Sewaktu masih menjabat KSAD, jumlah agen asing yang beroperasi di Indonesia mencapai 60 ribu Tentu saja jumlah sebanyak itu bukan cuma orang-orang bule, Arab, kulit hitam, atau bermata sipit, tetapi juga orang-orang yang ber-KTP Indonesia sendiri. Maka, tidak heran jika dalam Pilpres 2014 lalu pun negara-negara asing itu pun saling berlomba memenangkan capres pilihannya.
Kembali ke soal investasi China. China baru merealisasikan investasinya sebesar USD 75,1 juta untuk 200 proyek. Dan, proyek=proyek itu baru saja dimulai. Jadi ke depan investasi China akan lebih banyak lagi yang ditanamkan di Indonesia. Buah dari besarnya investasi China pastilah peningkatan hubungan bilateral antara RI dengan China. Dengan semakin meningkatnya hubungan RI-China, maka posisi Amerika pun menjadi terancam.
Untuk menjauhkan RI dengan China banyak cara yang bisa dilakukan, salah satunya merusak iklim investasi China di Indonesia. Pengkodisian adanya ancaman China digaungkan lewat isu eksodus TKA-nya bisa dibilang sebagai propaganda anti-investasi China di Indonesia. Pengkondisian ini lebih diperkeruh lagi dengan teriakan anti-etnis China oleh kelompok-kelompok anti-Jokowi yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Di sinilah dua atau lebih kepentingan bertemu.
Tapi, sekalipun dua kepentingan atau lebih bertemu bukan berarti para kepentingan-kepentingan itu sudah janjian lebih dulu. Bisa saja mereka jalan sendiri-sendiri tanpa komunikasi apapun. Bisa jadi mereka cuma saling dompleng, berkonspirasi. Sama halnya dengan sekawanan orang yang menentang Ahok, sekalipun sebagian besar dari mereka merupakan pendukung Prabowo, bukan berarti Prabowo ikut-ikutan.
---
Sumber:
Investasi China Bakal Kian Bertambah di Indonesia
Ilustrasi: kabel.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H