Ilustrasi| Ilustrasi | Antara Foto/Asep Fathulrahman
Jokowi membawa Indonesia terkesan lebih mesra dengan China. Sikap Jokowi ini jelas berbeda dengan yang ditunjukkan presiden sebelumnya, SBY. Tentu saja sikap politik Jokowi ini menimbulkan konsekuensi positif-negatif bagi Indonesia. Lantas, apa yang sebenarnya disasar Jokowi?
Konflik Laut China Selatan semakin memanas. Baru-baru ini pesawat mata-mata Amerika P8-A Poseidon terbang di atas ketinggian 4500 meter di atas pulau yang diklaim milik China. Angkatan Laut China pun memberi peringatan yang membuat Menteri Pertahanan Amerika berang. Untuk menghadang China, AS semakin getol mencari dukungan negara-negara Asean.
Sementara itu hubungan militer AS-China sudah dibekukan sejak AS mendanai militer Taiwan pada 2011 lalu. Jika dikemudian hari terjadi perang, wilayah Asia Pasifik akan menjadi medan tempur habis-habisan. Tidak mengherankan bila sampai 2020 nanti AS telah menggeser kekuatannya ke Asia pasifik.
Bisa diperkirakan Indonesia bakal jadi pesakitan bila perang yang menyeret banyak negara itu benar-benar terjadi. Posisi Indonesia diumpamakan mirip pelanduk di tengah-tengah dua gajah yang sedang berkelahi.
Situasi saat ini dua “gajah” belum berperang. Keduanya masih meningkatkan persenjataan sekaligus pengaruhnya kepada negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Di kawasan ini AS telah membangun 13 pangkalan militernya. Namun demikian, AS masih memiliki lubang besar di kawasan ini. Dan lubang besar itu adalah wilayah Indonesia. Sebaliknya lubang besar ini merupakan nilai tawar bagi Indonesia.
Dengan keluaswilayahannya Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi, baik kepada AS maupun kepada China. Di sinilah Jokowi membawa Indonesia bermanuver di atas Laut China Selatan. Jokowi mendekati China untuk mengusik kecemburuan Amerika dengan membuka peluang kerja sama kepada China. Tetapi Jokowi pun harus pandai, kapan harus mendekati kepada China, kapan harus mendekati kepada AS. Dan yang paling penting, apa yang harus didekati dari kedua negara tersebut demi kepentingan nasional.
Melihat kemesraan Indonesia dengan China, memaksa AS memasang mata dan telinganya lebar-lebar. AS tidak mau kehilangan Indonesia. Maka dalam perpanjangan izin Freeport, mau tidak mau perusahaan asal Amerika ini menuruti permintaan yang disodorkan Indonesia. Buntutnya Freeport melepas lahan garapan dari 212.950 hektar menjadi 90.360 hektar.
Sebenarnya Jokowi telah menunjukkan sikapnya kepada AS sejak sebelum masa kampanye Pilpres 2014. Jika pada 2003, setahun sebelum Pilpres 2004, SBY memberi isyarat mendukung AS dengan mengatakan "I Love United States with all its faults. I consider it my second country". Sementara pesaing SBY, Amien Rais mengaku mendapat tawaran dana dari Paul Wolfowitz.
Demikian juga dengan Prabowo. Lewat adik kandungnya Hashim Djojohadikusumo, Prabowo menyampaikan visi misi Prabowo dan Gerindra dalam acara acara USINDO Washington Special Open Forum Luncheon. Dalam pertemuan di USINDO Hashim dengan tegas mengatakan jika menjadi presiden, Prabowo tidak anti asing. Menurut Hashim, Prabowo adalah seorang capres yang pro-Amerika Serikat.
"Prabowo adalah lulusan dari sekolah Amerika. Prabowo pro-Amerika," kata Hashim.
Sebaliknya, Jokowi mendatangi semua duta besar yang ada di Indonesia. Mulai duta besar Amerika, duta besar negara-negara Timur Tengah, dan duta besar negara-negara lainnya. Jokowi telah menunjukkan sikap ketidakproannya kepada AS sebelum Pilpres 2014 berlangsung. Padahal Jokowi semestinya tahu jika ada banyak negara yang mendukung AS juga tidak senang dengan sikapnya. Tidak heran jika Budayawan Ridwan Saidi melihat Indonesia tengah diboikot oleh dunia internasional..
Tentu saja sikap ketidakproan kepada AS ini membuat Jokowi bagai duduk di kursi panas. Jika saja Jokowi salah dalam manuvernya, sebagaimana pemimpin-pemimpin negara lain yang tidak pro AS, Jokowi menjadi target untuk dijatuhkan kemudian diganti dengan pemimpin yang pro AS.
Jika diperhatikan, baik di dunia nyata maupun dunia maya, ada dua arus propaganda: propaganda anti-Jokowi dan propaganda anti-China. Kedua propagandan ini diserukan oleh kelompok-kelompok yang sama. Dalam propaganda anti-China disebut ada 10 juta warga China yang akan berimigrasi ke Indonesia.
Propaganda tersebut merupakan plintiran dari target Jokowi yang akan mendatangkan 10 juta turis asal China. Lagipula, logikanya, bagaimana mungkin ada orang China yang mau datang untuk bekerja dan bermukim di Indonesia, sementara kondisi ekonomi di China jauh lebih baik. Selain itu berita-berita lama yang ada kaitannya dengan China kembali digoreng seolah-olah baru terjadi di masa Jokowi Sementara propaganda Jokowi sebagai non-muslim, pro Syiah, keturunan China dan anak anggota PKI masih terus gencar disebarluaskan.
Menjadi pertanyaan, di manakah posisi AS dalam propaganda tersebut? Apakah AS sebagai otak dari propaganda? Atau, apakah AS hanya menunggangi kedua propaganda tersebut? Atau tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Tetapi apapun itu kedua propaganda tersebut harus diwaspadai.
Apakah propaganda anti-Jokowi dan anti-China ditukangi oleh AS atau terlepas dari AS dan kepentingannya, namun, kedua propaganda tersebut diserukan oleh kelompok-kelompok yang merupakan pendukung capres yang lewat adiknya mengatakan sebagai capres pro-AS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H